Saturday, September 27, 2008

Tanggung Jawab dalam pernikahan


Pernikahan adalah perjalanan yang baru menuju kedewasaan. Beberapa kali saya mengamati orang yang dulunya saya kenal nakal tetapi setelah menikah maka ia mengalami perubahan (memang tidak semua). Apakah diperlukan pernikahan terlebih dahulu, baru orang menyadari arti sebuah tanggung jawab?

Saya rasa tidak seharusnya demikian. Tetapi kalau memang di situlah momen Tuhan bekerja, maka apa kata, Tuhan yang berkuasa.

Ngomong soal ngomong, bukan berarti saya sendiri bukan tipe yang di atas. Saya bukannya tidak menyadari arti tanggung jawab, melainkan saya baru menyadari bagaimana memegang teguh apa itu tanggung jawab. Ya! Melalui pernikahan pulalah saya disadarkan demikian. Tidak cukup ternyata hanya menyadari arti tanggung jawab dan kemudian melakukannya. Perlu sekali sebenarnya apa itu memegang teguh tanggung jawab. Memang di dalam pernikahan yang dini ini saya belum bisa membuktikan apa-apa kepada dunia, tetapi kok ada keyakinan di dalam hati saya bahwa memegang tanggung jawab itu tidaklah sesulit yang saya pikirkan ketika sebelum menikah. Boro-boro memegang tanggung jawab, melakukannya pun sulit. Dan boro-boro juga melakukan tanggung jawab, sadar bahwa harus bertanggung jawab pun sulit. Trus apalagi?

Saya mencatat ada beberapa perubahan yang juga dini di dalam saya memegang tanggung jawab:

  1. Menjaga istri saya sampai tetes darah penghabisan. Membaca Efesus 5:25 membuat saya miris dan bergidik. Yang tadinya bangga kalo harus dihormati istri, eh, kita malah dituntut firman untuk mati bagi istri. Jadi, mana yang lebih susah tanggung jawabnya untuk dipertahankan? Yah engkau kaum Adam dan gue! Susah gak? Kaga juga kelihatannya karena yah emang belum ada bahayanya (jadi belum teruji) dan kedua yah emang kaga susah karena saya mendapati betapa diri saya sangat mencintai istri saya meskipun tidak secinta Tuhan kepada kita yang berdosa. Tapi kalo bahaya itu datang dan kita disuruh mati bagi istri, kira-kira cukup gak yah dengan cinta? Terlalu dini memang menyimpulkannya. Tapi kalo urusan angkat berat-berat agar istri tidak mati kecapean, mati kelelahan, mati ketiban, maka saya sudah lulus.
  2. Menerima dia apa adanya secara fisik dan kebiasaan. Istri saya tidak cantik-cantik buanget kayak Angelina Jolie (bibirnya mirip-mirip setelah saya teliti) tetapi dia juga tidak biasa-biasa buanget. Kalo kata dosen pembimbing kami, dia adalah wanita di atas rata-rata wanita pada umumnya. Hm…..jawaban yang tepat! setiap ada kesempatan memandangnya, maka saya mendapati ada gerakan-gerakan, mimik muka, bagian-bagian di dalam dirinya yang kurang pas dengan irama penerimaan saya. Tetapi eits….nanti dulu, ini dia namanya perubahan untuk bertanggung jawab menerima segala perubahan. Bingung bingung luh! Tetapi bukan berarti ini adalah perubahan yang terpaksa karena sebuah komitmen tetapi saya menamakan ini adalah perubahan yang lahir dari sebuah cinta yang dalam karena pengenalan akan Tuhan. Saya yakin seyakin-yakinnya ini tidak hanya sementara tetapi long lasting karena Tuhan yang menjaga. Ya iya lah, kalo kaga percaya Tuhan lagi, dengan kata lain, bukan orang pilihan Tuhan, maka saya sangat besar kemungkinan tidak memiliki cinta yang demikian. Yang ketiga,
  3. Menerima dicintai dengan sangat oleh istri.

Tidak pernah saya dicintai dan dikasihi orang selain daripada mama yang merawat saya, papa yang cool tapi dengan ekor matanya memperhatikan, link yang cuek tetapi sesekali dekat buanget. Kali ini yang mencintaiku dan mengasihiku adalah istriku yang begitu menunjukkan cinta dan kasih seperti yang keluarga saya lakukan. Saya tidak akan melanjutkan bagian ini karena ada banyak rahasia dapur keluarga sendiri yang masih mengepul. Bisa-bisa gara-gara artikel ini istriku tidak lagi mencintaiku seperti dahulu. Peace istriku!

Akhir kata. Pernikahan itu indah. pernikahan itu mulia. Pernikahan itu mendamaikan jiwa. Pernikahan itu kalau disertai Allah maka akan seperti di surga. Dan terakhir, Pernikahan itu mengajarkan perubahan di dalam tanggung jawab.

Salam pernikahan kudus 7 September 2008!

Monday, September 15, 2008

Heroes (4)

Pahlawan Iman

Setelah mengetahui mengenai Pahlawan Sejati, masih ada yang saya namakan pahlawan iman. Pahlawan iman adalah mereka yang memuliakan nama Tuhan dengan memperjuangkan dan mengorbankan diri mereka menjadi martir. Martir kedua (yang pertama tentu Tuhan Yesus yang tidak sekedar menjadi martir pertama, melainkan menjadi sumber dari segala kemartiran yang ada di sepanjang sejarah) yang dicatat di dalam Alkitab adalah Stefanus (Kis. 7:54-60). Ia dirajam dengan batu sampai mati. Kemudian kita melihat satu persatu para Rasul (murid Tuhan Yesus) dihukum mati secara mengenaskan oleh pemerintah Roma. Sebut saja Yakobus (Kis. 12:2) yang dihukum mati sekitar tahun 44 M oleh perintah Raja Herodes Agrippa I dari Yudea. Kemartirannya menjadi penggenapan dari hal yang diramalkan Yesus tentang ia dan saudaranya Yohanes (Mrk. 10:39). Penulis terkenal, Clemens Alexandrinus, menulis bahwa ketika Yakobus dibawa menuju tempat eksekusinya, keberaniannya yang luar biasa menimbulkan kesan yang mendalam pada satu orang yang menangkapnya, sehingga ia jatuh bertelut di depan rasul itu, meminta ampun kepadanya dan mengaku bahwa ia adalah orang Kristen juga. Ia berkata bahwa Yakobus jangan mati sendiri, akibatnya mereka berdua dipenggal kepalanya. Masih banyak lagi para martir sampai pada abad 21 sekarang ini yang terus mencucurkan darahnya untuk menyirami jalan salib seperti lagu yang diciptakan Pdt. Stephen Tong dan C. M. Yu berjudul Api Zaman—“Darah kaum martir yang belum kering, yang menyirami jalan salib. . .” (Kidung Puji-Pujian Kristen no. 382). Mereka sungguh para pahlawan iman (informasi lebih banyak di www.hrionline.ac.uk atau www.ccel.org atau www.the-tribulation-network.com atau search di Goggle dan Yahoo untuk website martir Indonesia). Apakah kamu dan saya berani melakukan hal yang sama seperti mereka ini bila berada di dalam tekanan? Boro-boro martir, diejek sama teman saja karena kita tidak mau ikut nyontek, ngerokok, atau perbuatan dosa lainnya, kita sudah merasa malu. Well, my friend, is it you?

So, what gitu loh?

Apa yang harus ku lakukan setelah membaca artikel ini? Apa efeknya bagiku? Kalau kamu sudah bertanya demikian, puji Tuhan! Berarti kamu tidak sekadar membaca, melainkan rindu artikel ini mengubahkan hidupmu. Pada hari kemerdekaan Republik kita, Indonesia, kita perlu mengucap syukur atas pengorbanan pahlawan sejati kita—Yesus Kristus—bagi kemerdekaan hidup kita. Tanpa Dia, maka kita tidak akan pernah merasakan kemerdekaan dari dosa kita. Bersyukurlah atas pengorbanan pahlawan-pahlawan yang selama ini sudah mengorbankan dirinya bagi hak hidup orang banyak, yang tidak mementingkan dirinya sendiri dan sudah memberikan suri teladan bagi kita. Bersyukurlah dan hormatilah pahlawan-pahlawan yang masih hidup sekarang (seperti orang tua, guru, dan para pendidikmu). Dan terakhir, jadilah “pahlawan” yang mementingkan kepentingan orang banyak, mengasihi, rela memberikan waktu, tenaga, pikiran bagi pekerjaan Tuhan. Start now, ending never! Soli deo gloria.