Tuesday, April 29, 2008

KANON (5)

Perjanjian Baru

1. Situasi sebelum terjadinya kanonisasi PB:

a. Bertumbuhnya suatu penghormatan dan penghargaan terhadap tulisan para rasul yang dipelihara dan dianggap bernilai. Sebelumnya hanya PL dan perkataan Yesus yang tertulis yang dianggap berotoritas, sedangkan yang lain hanya sebagai tulisan suci. Sekali lagi di sini nyata penguasaan dan pengarahan Roh Kudus atas umat-Nya untuk mengenali inspirasi-Nya.

b. Bertumbuhnya gereja menimbulkan kebutuhan adanya standar iman dan perbuatan yang lengkap, atau dengan kata lain, kebutuhan teologi dan etika. Bagaimanakah cara gereja memecahkan suatu persoalan teologis dan praktis?

c. Waktu itu biasanya kepada jemaat dibacakan surat dari para rasul yang disampaikan kepada mereka secara bergilir (1Tes. 5:27; Kol. 4:16). Sampai di sini mereka menemukan sedikit permasalahan, karena kutipan-kutipan yang dibuat oleh bapa-bapa gereja untuk mendukung penjelasan mereka dalam menangani kasus ternyata ada yang merupakan campuran kitab kanon dan Apokrifa (mis. Tatian dalam “Diatessaron” dan Justin Martir dalam “Memoris”).

d. Timbulnya ketidaksamaan sikap penerimaan terhadap tulisan-tulisan apostolic oleh beberapa bapa gereja, misalnya:
Ø Teofilus dari Antiokhia mengutip dari kitab Markus dan Yohanes dengan catatan sebagai yang dibawa oleh Roh (Spirit Bearers). Tetapi waktu mengutip dari surat-surat Paulus, ia tidak menunjukkan sikap sebagai seorang pengutip yang mengutip dari tulisan kudus.
Ø Tatian dalam mempersiapkan “harmoni dari Injil-Injil”-nya, “The Diatessaron” (ca. 170) hanya memasukkan ke-4 injil dan kemudian juga menerima pengaruh surat-surat Paulus. Tetapi kemudian Jerome menolak beberapa kitab/surat Paulus.

e. Timbulnya bidat-bidat:
ü Pada 140 AD, Marcion mengajarkan suatu ajaran tentang perbedaan Allah PL dan PB. Ia menolak PL dan dalam kanonnya ia hanya mengakui beberapa kitab tertentu sebagai firman Allah (mis. Hanya injil Lukas).
ü Efek dari konflik dengan gnostisisme. Gnostisisme yang mulai berkembang sejak abad kedua merasa perlu memiliki literature yang kudus dan mereka menolak PL. Mereka menciptakan kitab-kitab Injil yang baru untuk menjadi dasar bagi doktrin, pengajaran, dan kepercayaan mereka, misalnya injil Petrus, injil Tomas, injil Filipus, Injil kebenaran, dan lain-lain.

f. Rangsangan misi
Injil sudah mulai tersebar ke mana-mana sehingga dibutuhkan Kitab Suci bagi umat percaya dari suku dan bahasa yang berbeda. Untuk itu perlu dilakukan penerjemahan Kitab Suci, dan dengan demikian perlu dikenali dan disusun suatu kanon yang sah dan lengkap.
Semua ini merupakan suatu situasi atau rangsangan yang secara tidak langsung menimbulkan suatu kebutuhan untuk mengumpulkan dan menyatukan kitab-kitab kanonikal dan mengkonfrontasikannya sebagai kanon Alkitab yang menjadi dasar dan standar iman kepercayaan dan perbuatan umat Kristen. Kendati demikian, di balik semua itu, sebenarnya peranan Roh Kuduslah yang telah mengarahkan dan mewujudkan kebutuhan kanonisasi kitab-kitab yang diinspirasikan Allah pada umat-Nya itu. Dengan demikian timbulnya kanon Alkitab sama sekali bukan karena keinginan dan situasi yang bersifat manusiawi, melainkan berasal dari ketetapan dan rencana Allah Tritunggal yang sempurna di dalam dan melalui sejarah manusia.

2. Proses kanonisasi[1]

Secara singkat proses kanonisasi berlangsung melalui beberapa tahap:

a. Selecting Procedure, dilakukan oleh para rasul atau di antara para rasul/penulis kitab kanonikal itu sendiri.
v Yohanes 20:30 Ia menyeleksi apa yang ditulisnya.
v Lukas 1:1-4 Menunjukkan ada banyak tulisan/sumber lain, sebelum Lukas menyelidiki dan menyeleksinya untuk menyusun tulisannya.

b. Reading Procedure. Ciri kitab kanon adalah adanya suatu perintah untuk membacakannya berulang kali di gereja atau perkumpulan umat percaya. Ini menunjukkan adanya otoritas dalam tulisan itu yang melalui proses pembacaan dapat dikenali (1Tes. 5:27; Why. 1:3).

c. Circulating Procedure. Tulisan-tulisan yang dibacakan sebagai suatu karya tulis yang berotoritas di hadapan gereja-gereja itu diedarkan dan dikumpulkan oleh gereja-gereja (Why. 1:11; yang diedarkan di sekitar gereja-gereja di Asia kecil).

d. Collecting Procedure. Prosedur ketiga (Circulating) akan membawa pada suatu kebiasaan/tindakan untuk mengumpulkan tulisan-tulisan profetik dan apostolik itu. Misalnya, pada waktu surat 2 Petrus ditulis (66 AD), surat-surat Paulus sudah dipandang sebagai kanon dan sudah dikumpulkan (2Ptr. 3:15-16).

e. Quatation Procedure. Ketika Yudas dalam suratnya mengutip dari surat Petrus (Yud. 17-18; 2Ptr. 3:3), ia bukan hanya menerima tulisan Petrus sebagai karangan/tulisan biasa, melainkan sebagai suatu tulisan yang berotoritas, yaitu yang bersifat kanon. Begitu juga ketika Paulus mengutip tulisan Lukas (Luk. 10:7) dalam suratnya kepada Timotius (1Tim. 5:18).

f. Pengakuan oleh para tokoh gereja dan konsili-konsili:
· Antar abad 3-4 AD sebenarnya sudah ada tokoh/bapa gereja yang menerima dan menyusun tulisan/kitab yang sudah melalui prosedur di atas secara utuh, seperti yang kita miliki sekarang.
· Berdekatan dengan waktu itu juga susunan kanon itu dikonformasikan melalui konsili-konsili gerejawi, misalnya: Nicea (325-340), Hippo (393), dan Kartago (397 dan 419).

[1]Geisler dan Nix, General Introduction 184-186.

Thursday, April 17, 2008

KANON (4)

PROSEDUR KANONISASI KITAB-KITAB KANON PL DAN PB

Hal pengumpulan dan pemeliharaan kitab-kitab kanonikal oleh umat Allah merupakan bagian dari langkah kanonisasi. Berbeda dengan hal pengumpulan tulisan-tulisan agamawi lainnya, proses kanonisasi Nampak berjalan wajar bahkan agak “tersendat,” karena keragu-raguan yang timbul pada beberapa orang, seperti yang sudah dibahas di atas. Pengumpulan dilakukan/terjadi secara bertahap di mana kitab-kitab kanonikal itu ditambahkan pada kumpulan kitab kanonikal yang terdahulu yang sudah dikenali, sampai akhirnya lengkaplah seluruh kanon Alkitab. Melalui semuanya itu tampaklah adanya campur tangan yang tidak terlihat oleh mata lahiriah dari Sang Pemberi inspirasi. Untuk itu pada bagian terakhir ini kita akan membahas mengenai prosedur kanonisasi secara ringkas.

Perjanjian Lama

Kanonisasi PL dilakukan melalui beberapa orang yang memegang peranan penting di tengah bangsa Israel bersama dengan umat Allah secara global. Mereka inilah yang mempunyai role penting dalam hal kanonisasi PL, di antaranya adalah:

o Para nabi Allah (mis. 2Raj. 22:14-16).
o Para raja bersama dengan rakyat Yahudi (2Raj. 23:2-3); Klerus bersama dengan umat Allah (Neh. 10:28-29).
o Ezra, sebagai ahli Taurat, merupakan orang terakhir yang diperkirakan mengumpulkan semua kitab kanonikal PL dan menyatukannya (Ez. 7:6, 10, 14). Ini terjadi kira-kira abad 5 BC, yaitu pada masa Arthasasta I (465-424 BC). Pada waktu itu Hagai dan Zakharia yang mencatat tahun pelayanan mereka, dan juga Maleakhi (yang walau tidak jelas tahun pelayanannya, namun besar kemungkinan hidup dan menulis kitabnya ± 450 BC); mereka merupakan penulis kitab kanonikal terakhir.

Data pengakuan terhadap kanon PL terpagi didapati dalam:
1. Fakta penerjamahan PL ke dalam bahasa Yunani di Aleksandria yang dilakukan atas perintah Ptolemy Philadelpus (285-247 BC). Penerjemahan ini dilakukan oleh 72 orang Yahudi selama 70 hari, sehingga dikenal dengan sebuatan LXX (Septuaginta). Fakta ini mengindikasikan bahwa waktu itu (sekitar abad 3 BC) PL telah berakhir.

2. Kesaksian Yesus bin Sirakh (± 170 BC) dalam karangannya yang terkenal, The Ecclus, menunjukkan bahwa ia sudah mengenal seluruh PL dan menghormatinya sebagai tulisan suci dan berotoritas dari para nabi yang mendapat inspirasi Roh Allah.

3. Philo (13 BC- 50 AD), sejarawan dan filsuf Yahudi yang walaupun tidak menerima inspirasi Allah (yang khusus atas orang tertentu), tetapi kutipan-kutipan yang dibuatnya (dari kitab Taurat) menunjukkan bahwa ia amat menghormati kitab itu sebagai sumber hikmat. Ia tidak pernah mengutip dari kitab-kitab Apokrifa yang waktu itu banyak didapati. Hal ini jelas memperlihatkan adanya suatu pengenalan akan otoritas yang berbeda dalam PL.

4. Catatan yang ditemukan dan ditulis oleh bapa-bapa gereja beberapa waktu kemudian menunjukkan sudah terjadinya kanon PL (walaupun ada satu atau dua kitab yang “diragukan” misalnya Ester, Ratapan).
5. Kanon PL secara lengkap dinyatakan sah dan diterima ketika Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya menerima dan mengenali kitab kanon PL itu (Luk. 24:44-45; Gal. 3:6-13; 2Kor. 6:16-17; Rm. 14:11; 1Ptr. 1:24-25; Kis. 4:25-26). Juga Yohanes dalam kitab Wahyu yang ditulisnya banyak mengutip PL dan menyatakan bahwa semua itu akan digenapi. Jadi kanon PL bukan hasil penurunan tradisi baik dari/oleh umat Yahudi maupun oleh para bapa gereja (Origen, Athanasius, Jerome).

Monday, April 14, 2008

KANON (3)

KRITERIA PENGUJIAN

Karena itu mengenali suatu kitab sebagai tulisan yang kanonikal berarti mengenali asal usul kitab yang bersangkutan secara ketat sebagai kitab yang berotoritas, yang diinspirasikan. Untuk itu ada beberapa cirri yang perlu diperhatikan di dalam mengenali kitab-kitab kanonikal tersebut.

Pendekatan Secara Negatif (Negative Approach)[1]
1. Kriteria pertama adalah bukan karena sebuah kitab berusia tua (kuno) yang dikenali sebagai kanon. Pada waktu itu terdapat cukup banyak kitab kuno, bahkan lebih kuno dari kanon yang ada, tetapi tidak termasuk kanon, seperti misalnya kitab “peperangan Tuhan” (Bil. 21:14), Kitab Orang Jujur (Kitab Yasar, Yos. 10:13). Selain itu ada kitab-kitab yang ternyata usianya tidak terlalu tua, tetapi justru termasuk kanon, seperti misalnya tulisan Musa yang ditulis ketika ia masih hidup, sudah diterima dan diakui sebagai kanon (Ul. 31:24-26). Daniel, seorang nabi yang sezaman dengan Yeremia, mengakui tulisan Yeremia sebagai tulisan yang berotoritas atau kanonikal (bdk. Dan. 9:2). Jadi usia kitab tidak menentukan dan tidak menjadi factor pengenal yang baik/tepat atas kitab kanonikal.

2. Kriteria berikutnya bukan karena sebuah kitab yang berbahasa Ibrani yang dikenali sebagai kanon. Seperti halnya argument di atas, ada kitab/tulisan yang lain yang juga berbahasa Ibrani, tetapi tidak termasuk kanon, misalnya kitab-kitab Ecclesiasticus dan Apokrifa. Sebaliknya, justru ada bagian kitab PL yang tidak menggunakan bahasa Ibrani, melainkan Aramaik, tetapi termasuk kanon (Dan. 2:4b-7:28; Ez. 4:8-6:18; 7:12-26).

3. Kriteria selanjutnya yang dikatakan “tidak bertentangan dengan hokum Taurat” juga tidak merupakan penguji yang akurat. Hal ini dikarenakan pada umumnya orang-orang Yahudi yang saleh bila menulis kitab-kitab, khususnya yang bersifat religious, selalu bersesuaian dengan kitab Taurat, yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh kaum Yahudi sebagai standar utama dari semua doktrin dan pengajaran serta kehidupan etis mereka (lih. Mis. Talmud dan Midrash; karangan Iddo, pelihat raja; 2Taw. 12:15).
Untuk kanon PB, criteria “yang dikarang oleh Paulus” juga tidak berarti semua surat/tulisan Paulus termasuk kanon, karena ternyata ada surat-surat Paulus yang tidak termasuk kanon (surat Laodikia, Kol. 4:16; surat Korintus yang hilang [1Kor. 5:9]).

4. Kriteria “yang bernilai dan bersifat religious” juga tidak merupakan penguji yang tepat. Hal ini pun tidak dapat dijadikan patokan karena pada waktu itu (zaman Alkitab) ternyata sudah ada literature agama yang tidak sedikit, namun tidak termasuk kanon karena umat Allah tidak mengenali adanya otoritas di dalamnya (misalnya, kitab-kitab Apokrifa dan Ecclesiasticus; bdk. Yohanes dan Lukas yang menyaksikan adanya literature agama pada zaman mereka; Yoh. 21:25; Luk. 1:1-4).

Pendekatan secara positif:[2]
1. Kriteria yang benar yang perlu dijadikan ukuran adalah: Apakah kitab/tulisan tersebut berotoritas ilahi?
Apakah yang dikatakan dalam kitab itu mempunyai bobot otoritas Allah? (bandingkan kutipan Yesus atas Yesaya dalam Markus 1:22; orang-orang yang mendengar, melihat dan mengenali adanya otoritas di dalam perkataan/pembacaan Tuhan Yesus atas bagian PL itu.) Kitab Kanonikal memiliki penunjuk diri yang jelas dan biasanya ada dalam bentuk pengkalimatan: “Maka berfirmanlah Allah . . .; Maka Allah berkata kepada . . .; Firman Allah pun sampai kepada . . .”
Paulus dengan tegas dan berani mengklaim bahwa tulisannya bukanlah karena keinginan/maksud manusia, melainkan karena Yesus. Ia menekankan otoritas yang ada di dalam tulisannya itu (Gal. 1:1, 12).

2. Kriteria benar berikutnya adalah: Apakah kitab itu bersifat prophetic/apostolic?
Firman yang diinspirasikan Allah dalam Roh-Nya terjadi melalui orang-orang pilihan Allah yang sudah dipersiapkan-Nya. Tidak sembarang orang/umat yang menuliskan wahyu khusus Allah itu (2Ptr. 1:20-21; Ibr. 1:1).

Catatan:
· Tulisan yang kemudian juga diajarkan oleh rasul[3] Palsu ditolak oleh otoritas rasuli Paulus (Gal. 1:6-7; 2:4).
· Kadang Alkitab memang mencatat ucapan, kritikan, nubuat yang dikeluarkan oleh orang yang diragukan kenabiannya, atau bahkan dari luar umat Allah, misalnya nubuat Bileam (Bil. 24:17); kutipan dari orang kafir atau sasta Yunani (Yoh. 11:49-50; Kis. 17:28; 1Kor. 15:33; Tit. 1:12). Untuk ini perlu dipahami bahwa semua itu tetap dicatat oleh para penulis ke dalam kanon, dan ini tentunya terjadi di bawah control Roh Kudus serta dapat dipertanggungjawabkan argumentasinya.
· Tulisan asli dari men of God itulah yang diterima, jika tidak, maka ditolak. Misalnya, dalam 2 Tesalonika 2:2-3, ada tulisan yang seolah-olah ditulis men of God, tetapi ternyata bukan. Tulisan Koheleth tentang riwayat Salomo yang juga ditolak. Di sini kita dapat melihat bahwa Roh yang menginspirasikan adalah juga Roh yang menolong umat Allah untuk mengenali karya asli dari men of God yang mendapat inspirasi, sehingga manipulasi dan kekeliruan yang mungkin dibuat manusia dapat terhindarkan.

3. Kriteria benar selanjutnya mengacu ukuran: Apakah kitab itu otentik/orisinil?
Pertanyaannya di sini adalah: Apakah kitab itu mengatakan hal yang benar tentang Allah, manusia dan lain-lain, sehingga terdapat persesuaian atau keselrasan dengan kanon yang terdahulu? Kuncinya adalah sebuah kitab tidak boleh memiliki kontradiksi dengan kebenaran yang standar secara keseluruhan. Itulah sebabnya kita lihat misalnya:
§ Kisah Para Rasul 17:11, orang Kristen Berea menguji penalaran Paulus apakah memang itu sesuai dengan kitab suci (PL) yang waktu itu sudah mereka miliki.
§ Penolakan terhadap kitab Apokrifa karena ada hal yang kurang logis, tidak konsekuen dengan apa yang sebenarnya, baik dalam hal lokasi geografis, moral, Allah, dan lain-lain.
Pada prinsipnya, firman Allah yang diinspirasikan itu tentunya haruslah logis dan konsekuen dengan kebenaran Allah sendiri.

4. Kriteria benar lainnya adalah: Adakah suatu kuasa yang dinamis di dalamnya?
Yang dimaksud ialah kuasa yang hidup dan aktif di dalam tulisan itu (bdk. Ibr. 4:12), sehingga memiliki suatu daya gerak/mobilisasi yang mendorong manusia untuk berbuat/melakukannya, untuk pengajaran, penginjilan (2Tim. 3:16). Bagi mereka yang menaati berita kanon itu sungguh melihat serta mengalami perubahan atau pembaharuan di dalam hidupnya.

5. Kriteria benar lainnya adalah: Apakah kitab itu secara umum diterima umat Allah?
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pengenalan kanon PB adalah melalui suatu jangka waktu dan itu menunjukkan bahwa hal diterimanya kitab-kitab kanonikal itu merupakan suatu kesaksian tersendiri dari siding-sidang gereja, melainkan merupakan suatu kesaksian bersama atas suatu fakta bahwa semua kanon itu sudah diterima oleh bapa-bapa gereja terdahulu.[4]

[1]Ibid. 130-132.
[2]Ibid. 138-143.
[3]Kualifikasi Rasul:
1. Rasul adalah seorang yang telah melihat Tuhan Yesus setelah kebangkitan dengan mata kepalanya sendiri (Kis. 1:2-3, 22; 4:33).
2. Rasul adalah seorang yang secara khusus diutus oleh Tuhan Yesus, dengan demikian Paulus di jalan menuju Damsyik melalui wahyu diutus oleh Kristus termasuk di dalamnya (Kis. 26:15-18; 1Kor. 9:1; 15:7-9).
3. Rasul diutus dengan tugas khusus yaitu untuk melakukan penginjilan (Mat. 10:1-7), menjadi saksi (Kis. 1:8), dan mengajar.
[4]Bagaimana halnya dengan kasus seperti kitab-kitab Wahyu, 2 Petrus, Ester, Yudas, yang pada mulanya mengalami pertentangan yang besar untuk dapat diterima sebagai bagian dari kanon? Untuk ini ada beberapa prinsip yang perlu kita pegang: Pertama, Roh Kudus yang menginspirasikan akan menerangi umat Allah untuk mengenali karya-Nya. Kedua, umat Allah yang terdahulu, yang sezaman merekalah yang umumnya lebih dulu mengenali (kitab Musa oleh Yosua; surat Paulus oleh rasul Petrus). Keragu-raguan baru timbul kemudian dari beberapa/sekelompok kecil orang Kristen dengan alasan masing-masing. Ketiga, pada akhir penggalan sejarah ternyata terjadi penerimaan universal terhadap kitab-kitab kanonikal tersebut walaupun melalui waktu yang bertahap.

KANON (2)

PENETAPAN KANON ALKITAB

Pengertian Dasar

Ada perbedaan besar antara patokan yang ditetapkan Allah dan pengenalan manusia terhadap kitab-kitab yang ditetapkan Allah sebagai kanon. Yang menjadikan suatu kitab itu kanonikal dan berotoritas adalah inspirasi Allah, bukannya pengenalan dan pengakuan manusia serta konsili gerejawi yang mengesahkan kanon tersebut. Justru karena sifat kanon yang dikandung dalam kitab yang diinspirasikan itulah yang menjadikan kitab itu berotoritas serta memiliki ciri-ciri sebagai kanon yang dapat diuji, dikenali dan ditemukan oleh umat percaya. Inilah pengertian dasar yang perlu diterapkan dan apa criteria yang harus dikenakan untuk menemukan kanon kitab tersebut di antara kitab-kitab ataupun tulisan-tulisan lainnya.
Catatan:
- Gereja bukanlah penetap kanon, tetapi penemu kanon.
- Gereja bukan ibu (yang menghasilkan) kanon, tetapi anak (atau hasil) dari keberadaan kanon.
- Gereja bukanlah yang menghakimi kanon, melainkan melayani kanon.
- Gereja bukanlah pengatur (regulator) kanon, melainkan yang mengenali kanon (recognizer).

Saturday, April 12, 2008

KANON (1)

PENGERTIAN TENTANG KANON

A. Secara hurufiah
Kata “kanon” berasal dari kata Yunani kuno, kanon, yang dilatinkan dengan arti “tongkat yang lurus” (reed), sebagai alat pengukur, penguji kelurusan; penggaris (ruler), yang biasa dipakai oleh tukang kayu. Istilah ini juga diperkirakan dimiliki oleh bahasa Ibrani, “qaneh,” yakni semacam buluh. Dalam PL, istilah ini dipakai dengan pengertian sebagai tombak pengukur (Yeh. 40:3; 42:16).

B. Secara Metafora
Konsep hurufiah istilah “kanon” kemudian berkembang dan menjadi konsep dasar pengertian metafora (yaitu: standar, norma, criteria untuk menguji sesuatu). Dalam masa pra-Kristen (zaman Yunani) pengertian metafora ini sudah umum dipakai, misalnya untuk menggambarkan standar di bidang seni, sastra/literature, etika dan lain-lain. Dalam PB Paulus juga sudah memakai pengertian metafora ini yang sebenarnya sudah mendekati pengertian teologis (Gal. 6:16, “ . . . semua orang, yang member dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera dan rahmat atas mereka. . .”).

C. Secara Teologis
Istilah “kanon” terus berkembang pengertiannya. Di kalangan Kristen abad permulaan kata ini kemudian mengandung pengertian “patokan iman,” “tulisan-tulisan normatif atau otoritatif” (misalnya, bapa-bapa gereja sejak Irenaeus memakai sebutan “Canon of the Church,” “Canon of the Truth,” dan “Canon of the Faith” untuk menunjuk pada pengajaran yang normatif). Namun pemakaian yang dengan jelas mempunyai hubungan dengan Alkitab baru muncul pertama kali sekitar tahun 350 AD oleh Athanasius yang didalamnya mengandung pengertian baik secara aktif (yaitu sebagai standar) maupun secara pasif (yaitu yang dikenali gereja sebagai kanonikal). Dengan demikian kanon merupakan kitab-kitab yang diterima, dikenali oleh gereja sebagai kitab yang mempunyai sebagaimana seharusnya firman Allah.[1]

Taken from Dr. Daniel Lukas Lukito's Lecture


[1]Lih. Norman Geisler & William E. Nix, A General Introduction to the Bible (Chicago: Moody, 1982) 127-128.

Thursday, April 10, 2008

Ringkasan Buku Doktrin yang Sulit Mengenai Kasih Allah (4)

KASIH ALLAH DAN MURKA ALLAH
A. Kasih Allah dan murka Allah
Jika Impasibilitas didefinisikan sebagai ketiadaan “perasaan-perasaan” secara total, maka anda tidak hanya mengabaikan bukti-bukti alkitabiah, tetapi anda juga akan jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan kekudusan Allah. Alasannya, kekudusan Allah berkaitan dengan murka Allah (perasaan). Akibat dari mengabaikan murka Allah adalah mengurangi kekudusan Allah. Allah memiliki afeksi yang kuat akan murka-Nya akan dosa, sehingga gagasan yang keliru akan impasibilitas Allah akan segera melawan kekudusan Allah sendiri. Jika demikian, bagaimana seharusnya kasih Allah dan murka Allah dipahami dan dihubungkan satu sama lainnya?

Satu gagasan klise dari kaum Injili mengatakan bahwa Allah membenci dosa tetapi mengasihi orang berdosa. Memang kelihatannya benar, tetapi kita tidak dapat pungkiri bahwa empat belas kali dalam lima puluh Mazmur pertama dikatakan Allah membenci para pendosa (bdk. Yoh. 3:36). Tetapi Allah bukanlah murka yang buta dan tidak dapat ditenangkan. Betapapun emosionalnya murka Allah, murka itu sepenuhnya merupakan respons yang beralasan dan dikehendaki terhadap pelanggaran-pelanggaran yang melawan kekudusan-Nya. Allah dalam kesempurnaan-Nya harus murka terhadap para penyandang gambar-Nya yang memberontak, karena mereka telah menyakiti hati-Nya; Allah dalam kesempurnaan-Nya harus mengasihi para penyandang gambar-Nya yang memberontak, karena Dia adalah Allah yang mengasihi. Apakah anda ingin melihat kasih Allah? Lihatlah Salib! Apakah anda ingin melihat murka Allah? Lihatlah Salib!

Tetapi hal ini akan membawa kita kepada gagasan keliru yang kedua yaitu Allah digambarkan sebagai musuh kita yang tidak dapat didamaikan dan penuh murka, tetapi ditenangkan oleh Yesus, yang mengasihi kita (berdasarkan surat Ibrani). Namun, kita harus melihat bagian lain yang dengan jelas menunjukkan betapa Allah sendiri yang mengutus Anak-Nya (Yoh. 3:16). Dia tidak segan mengirim Anak-Nya. Sang Bapa yang penuh murka yang adil terhadap kita, tetap begitu mengasihi kita sehingga Dia mengutus Anak-Nya. Sang Anak, yang dengan sempurna mencerminkan perkataan dan perbuatan Bapa-Nya, berdiri di hadapan kita dalam murka—murka Allah. Allah sudah menjadi subjek dan objek propisiasi. Dia yang menjadi korban (subjek), dan Dia sendiri menerima korban propisiasi itu (objek) (Rm. 3:21-26). Inilah kemuliaan salib!

B. Kasih Allah dan tujuan penebusan (Atonement)
Konsep penebusan terbatas menurut Carson sangat tidak menguntungkan karena bersifat defensif dan bisa menyesatkan. Alasannya adalah ada bagian-bagian dari firman Tuhan pula yang mengemukakan betapa Allah mengasihi dunia ini. Tetapi Carson juga tidak menutup mata terhadap penebusan Allah bagi umat-Nya (berdasarkan bagian firman Tuhan lainnya). Karena itu, Carson melihat bahwa penebusan itu cukup untuk semua orang dan efektif bagi umat pilihan. Berdasarkan 1 Yohanes 2:2, ia menyatakan bahwa Rasul Yohanes sebenarnya memaksudkan penebusan Kristus memiliki makna “secara potensial untuk semua orang tanpa pembedaan” daripada “secara efektif untuk semua orang tanpa pengecualian.” Hal ini mengingat konteks sejarah waktu itu di mana Rasul Yohanes sedang menghadapi kaum Protognostik yang memiliki pemikiran bahwa mereka sendiri adalah kelompok elit ontologis yang menikmati hubungan khusus dengan Allah karena pemahaman khusus yang telah mereka terima.

Karena itu untuk menjembatani pemahaman Calvinis dan Arminian, Carson menyatakan bahwa Kristus mati untuk semua orang, dalam pengertian bahwa kematian Kristus cukup untuk semua orang dan bahwa Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai Allah yang mengundang, memerintahkan, dan menginginkan keselamatan semua orang semata-mata karena kasih (dalam pengertian ketiga yang dikembangkan pada bab awal). Selain itu, semua orang Kristen juga harus mengakui bahwa, dalam pengertian yang berbeda, Yesus Kristus, menurut tujuan Allah, mati secara efektif hanya untuk umat pilihan-Nya semata, sesuai dengan cara yang digunakan Alkitab dalam membicarakan mengenai kasih Allah yang khusus dan selektif kepada umat pilihan-Nya (dalam pengertian keempat yang dikembangkan di bab awal).

Carson memberikan implikasi pastoral dari topik ini yaitu:
1. Setiap pengkhotbah (dalam konteks bukunya ini, pengkhotbah muda Reformed) harus berani memberitakan dan menyatakan kepada orang yang tidak percaya bahwa “Tuhan mengasihi mereka” (ungkapan ini tidak hanya berlaku kepada orang yang sudah percaya).
2. Memelihara konsep penebusan khusus (Carson menghindari pemakaian kata “terbatas”) dapat mencegah manusia memegahkan diri. Anugerah keselamatan semata-mata berasal dari Allah, bukan keputusan manusia.

C. Kasih Allah kepada dunia ini
Kasih Allah kepada dunia ini patut dipuji karena memanifestasikan pengorbanan diri yang mengagumkan; sedangkan kasih kita kepada dunia ini menjijikkan ketika kasih tersebut bernafsu untuk ikut dalam kejahatan. Kasih Allah kepada dunia ini pantas mendapat pujian karena kasih tersebut membawa Injil untuk mentransformasi dunia; sedangkan kasih kita kepada dunia ini buruk karena kita berusaha untuk serupa dengan dunia.

D. Kasih Allah dan umat Allah
Carson memberikan tiga renungan singkat:
1. Kita tidak boleh lupa untuk bertanggung jawab memelihara diri kita dalam kasih Allah (Yud. 21), mengingat bahwa Allah itu mengasihi dan berbelas kasihan kepada mereka yang mengasihi-Nya dan yang berpegang pada perintah-perintah-Nya (Kel. 20:6).
2. Kasih Allah harus diterima, diserap, dan dirasakan. Sesering mungkin renungkan doa Paulus dalam Efesus 3:14-21. Paulus menghubungkan pengalaman orang Kristen akan kasih Allah itu dengan kedewasaan Kristen (3:19). Sangatlah sulit untuk dipahami apabila seseorang dapat menjadi seorang Kristen yang dewasa tetapi tidak berjalan dalam jalan ini.
3. Jangan sekali-kali meremehkan kuasa kasih Allah untuk meluluhkan dan mentransformasi individu-individu yang paling keras sekalipun. Tentu Tuhan memakai kita menjadi alat-Nya. Karena kasih Allah mentransformasi kita sehingga kita memerantainya juga kepada orang lain. Kita mengasihi karena Dia telah terlebih dahulu mengasihi kita, kita mengampuni karena kita telah diampuni.

The Clue: Dosa yang terutama dan pertama adalah tidak mengasihi Allah dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Untuk hal ini tidak ada cara untuk memperbaikinya, selain apa yang telah Allah sendiri berikan—yaitu di dalam kasih.

Tuesday, April 8, 2008

Ringkasan Buku Doktrin yang Sulit Mengenai Kasih Allah (3)

KASIH ALLAH DAN KEDAULATAN ALLAH

A. Elemen afektif dalam kasih Allah
Allah memiliki elemen afektif seperti yang ditunjukkan-Nya di dalam Hosea 11. Tetapi ketika Ia berkata bahwa hati-Nya berbalik dalam diri-Nya, belas kasihan-Nya bangkit serentak, bukan berarti bahwa Dia telah berubah pikiran, sebaliknya, ini berarti bahwa ancaman jangka panjang dari hukuman yang permanen pasti dikesampingkan. Dengan kata lain, secara praktis, kita harus membatasi pikiran kita terhadap elemen afektif Allah yang terkesan Allah berubah-ubah dan dapat hanyut menurut perasaan manusia. Kasih Allah jauh lebih kaya daripada kasih kita.

B. Kedaulatan dan transendensi Allah
Kedaulatan Allah tidaklah bersifat fatalisme. Alur sentral dari tradisi Kristen tidak mengorbankan kedaulatan Allah yang mutlak dan juga tidak mengurangi tanggung jawab para penyandang gambar-Nya. Ini namanya kompatibilisme. Artinya, kedaulatan Allah yang tidak bersyarat dan tanggung jawab manusia dapat saling kompatibel. Beberapa bukti yang Carson berikan adalah: Saudara Yusuf bekerja, Allah juga bekerja, tetapi beda motivasi (Kej. 50:19-20). Asyur merasa diri kuat padahal Asyur hanya alat di tangan Tuhan (Yes. 10:5 dst.). Ada konspirasi jahat yang mengikutsertakan Herodes, Pilatus, para penguasa non Yahudi, dan para pemimpin Yahudi; tetapi mereka melaksanakan segala sesuatu yang telah Allah tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak Allah (Kis. 4:23-29). Dan terakhir, lihatlah kepada penyaliban Kristus?

Carson sangat berhati-hati sekali mengemukakan konsep ini agar tidak terjebak ke dalam pemahaman open theism. Ketika berbicara imutabilitas Allah (ketidakberubahan-Nya), Dia tidak berubah dalam keberadaan-Nya, tujuan-tujuan-Nya, dan kesempurnaan-Nya. Tetapi ini tidak berarti bahwa Dia tidak dapat berinteraksi dengan para penyandang gambar-Nya di dalam waktu mereka. Tujuan Allah sejak kekekalan adalah mengutus Anak-Nya, tetapi pada saat yang telah ditetapkan dalam kontinum waktu-ruang kita, Sang Anak berinkarnasi.

Yang perlu kita saluti dari konsep Carson adalah ia tetap memegang teguh akan kedaulatan Allah atas segala sesuatu, dan tujuan-tujuan-Nya baik. Manusia kadang melakukan hal-hal yang baik, yang didorong oleh anugerah Allah, dan Dia memperoleh penghargaan; kita seringkali melakukan hal-hal yang jahat, dan meskipun kita tidak pernah bisa lari dari kedaulatan Allah, kita sendirilah yang harus bertanggung jawab dan harus disalahkan. Great statement! Transendensi Allah yang berdaulat dan kepribadian-Nya terdapat di dalam Alkitab. Kedua-duanya adalah aspek-aspek terberi (given). Jangan coba-coba angkat kedua hal ini ketika berbicara tentang Allah. Hasilnya Open Theism! Dan Carson jelas menolak dengan tegas konsep ini!

C. Impasibilitas (bebas dari perasaan dan penderitaan) yang dibatasi dengan tepat
Impasibilitas yang tepat adalah ketika melihat seluruh emosi Allah, termasuk kasih-Nya–dalam semua aspeknya—tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan Allah, kuasa Allah, dan kehendak Allah. Jika Allah mengasihi, itu karena Dia memilih untuk mengasihi; jika Dia menderita, itu karena Dia memilih untuk menderita. Perasaan-perasaan Alah tidak seperti perasaan kita yang secara tiba-tiba meluap keluar kendali, tetapi perasaan Allah seperti segala sesuatu lainnya dalam Allah, ditunjukkan bersama-sama dengan kepenuhan dari seluruh kesempurnaan-Nya yang lain. Allah tidak “jatuh cinta” dengan umat pilihan-Nya, Dia tidak “jatuh cinta” dengan kita; Dia memberikan afeksi-Nya kepada kita. Dia tidak mempredestinasikan kita karena ingin membuat lelucon; sebaliknya, dalam kasih Dia menentukan kita dari semula untuk menjadi anak-anak-Nya (Ef. 1:4-5).

Kesimpulan:
(1) Allah menyatakan kasih ini bersama-sama dengan seluruh kesempurnaan-Nya yang lain, tetapi ini tidak menjadikan kasih-Nya kalah dari semuanya itu.
(2) Kasih-Nya berasal dari karakter-Nya sendiri; tidak tergantung kepada keindahan orang-orang yang dikasihi yang berada di luar diri-Nya sendiri. Karena itulah kita seharusnya mengasihi orang bukan karena apa yang ada di dalam diri orang tersebut, melainkan karena kita sudah diubahkan oleh Injil, kasih kita seharusnya berasal dari diri kita sendiri, bukan didapat dari keindahan orang-orang yang dikasihi. Karena itulah cara Allah. Dia mengasihi karena kasih merupakan salah satu kesempurnaan-Nya, dalam harmoni yang sempurna dengan semua kesempurnaan-Nya yang lain.

“Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1Yoh. 4:10)

Ringkasan Buku Doktrin yang Sulit Mengenai Kasih Allah (2)

ALLAH ADALAH KASIH
A. Cara yang tidak tepat untuk memulainya.
Pemahaman Allah adalah kasih biasanya menempatkan kasih Allah dalam kata agapao. Namun apakah kata ini memang dapat menunjukkan secara jelas akan kasih Allah? Carson membuktikan secara sederhana bahwa kata agapao tidak bisa serta merta menggambarkan kasih Allah karena secara studi kata, kata ini juga dipakai di bagian lain secara jahat—bukan dalam bentuk kasih yang “lebih tinggi” (lih. 2Sam. 13, kisah Amnon dan Tamar). Poin utama dari maksud Carson ini adalah kita tidak dapat memahami natur kasih Allah hanya dengan studi kata yang cacat secara metodologi.

B. Bagaimana untuk memulainya: Ayat dalam konteksnya.
Carson memberikan contoh dari Yohanes 5:16-30, bagaimana melihat kasih Allah di dalam konteksnya ayatnya. Ada 2 hal yang menjadi latar belakang dari implikasi ucapan Yesus yang mengotorisasi aktivitas sabat-Nya sendiri (ay. 17): (1) “Keanakan” (Sonship) sangat sering merupakan sebuah kategori fungsional di dalam Alkitab. Artinya, Yesus secara implisit mengklaim diri-Nya sebagai Anak Allah, dengan hak untuk mengikuti pola pekerjaan Allah sendiri tetapkan, dan (2) Yesus memang berhak “bekerja” pada hari sabat karena Ia adalah Allah yang “bekerja” bahkan pada hari sabat (sehingga pemeliharaan-Nya tetap berlangsung), tetapi Dia tidak “bekerja” dengan cara yang melanggar hari sabat. Tentu saja, ini merupakan jalan keluar yang hanya berlaku bagi Allah saja. Klaim Yesus sebagai Anak Allah yang menyerupai Allah dalam segala hal (prinsip anak seperti bapanya) membenarkan pekerjaan sabat-Nya sendiri.

Berdasarkan latar belakang di atas, ada 5 poin yang Carson simpulkan pada bagian Yohanes 5:16-30:
1. Yesus menyangkal bahwa Dia melawan Allah dengan menempatkan diri-Nya sebagai pengganti Allah. Justru sebaliknya: Ia bergantung sepenuhnya pada Bapa dan tunduk kepada Bapa → Dia dapat mengerjakan hanya apa yang Dia lihat Bapa kerjakan (subordinasi) sebab Dia mengerjakan apapun yang dikerjakan Bapa (tindakan yang koekstensif).
2. Yesus adalah Anak Allah yang begitu unik dan tidak terbatas sehingga Bapa menunjukkan kepada-Nya semua yang Dia kerjakan, karena kasih kepada-Nya, dan Anak bergantung pada Bapa-Nya dan mengerjakan segala sesuatu yang dikerjakan Bapa.
3. Hubungan antara Bapa dan Anak merupakan standar bagi semua hubungan kasih yang lain. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal memberikan alasan bahwa: jika Allah tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, bagaimanakah mungkin Dia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia (Rm. 8:32)?
4. Kesempurnaan ketaatan Anak (melakukan segala yang diperintahkan Bapa) didasarkan kepada kasih-Nya kepada Bapa (14:31).
5. Ayat 20 menjelaskan bahwa Anak akan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti Bapa yaitu membangkitkan orang mati. Yesus berbeda dengan misalnya Elia—perantara untuk menghidupkan orang mati. Dia juga memiliki hak prerogatif karena Bapa telah “menunjukkan” kepada-Nya.

C. Beberapa refleksi sintesis penutup
1. Kasih Bapa kepada Anak, dan kasih Anak kepada Bapa, tidak dapat dibatasi hanya pada hubungan Kristus yang terjadi mulai dari Inkarnasi saja, tetapi secara intrinsik hubungan ini bersifat intra-Trinitarian. Hal ini membuat kita paham bahwa Allah adalah kasih karena selalu terdapat orientasi kepada pribadi yang lain dalam kasih Allah. Seluruh manifestasi kasih Allah itu muncul dari realitas yang lebih dalam dan lebih fundamental: kasih terjadi di dalam natur Allah itu sendiri. Allah adalah kasih.
2. Pola kasih Bapa kepada Anak dan sebaliknya menjadi model dan insentif bagi relasi kita dengan Yesus. Jika kita mengasihi Dia, kita akan menuruti segala perintah-Nya (14:15); di sini, jika kita menuruti segala perintah-Nya, kita tetap berada di dalam kasih-Nya. Karena itu, relasi kita dengan Yesus mencerminkan relasi Yesus dengan Bapa-Nya yang di Sorga—tentu saja, merupakan tema utama dalam Yohanes 17.

“Kita bukan lagi budak tetapi sahabat. Apa yang telah membuat perubahan ini adalah bahwa dalam kegenapan waktu, Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, dan Anak taat; bahwa Bapa mengasihi Anak dan memutuskan bahwa semua orang harus menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa; dan Bapa dan Anak, dalam harmoni rencana dan visi yang sempurna, pada waktu yang telah Allah tentukan, memainkan peranan mereka—Bapa mengutus, memberi mandat, “menunjukkan,” dan Anak datang, mengungkapkan, menyingkapkan apa yang telah “ditunjukkan” kepada-Nya, dan dalam ketaatan berjalan menuju Salib. Dan kita, ahli waris kovenan yang baru, telah mendapatkan hak istimewa untuk ikut masuk ke dalam rencana yang gemilang ini. Kita adalah sahabat Allah. . . . Dan kita telah mendapatkan hak istimewa yang tak ternilai, tidak hanya diselamatkan oleh kasih Allah, tetapi juga ditunjukkan kasih itu, diberitahu tentang-Nya, dan diizinkan untuk ikut di dalam pikiran Allah.” (Carson)