Siapa Pilatus? Kalau Yohanes Pembaptis adalah tokoh penting pada kelahiran Yesus, maka Pilatus juga adalah tokoh penting di dalam penyaliban Yesus. Yohanes Pembaptis mempersiapkan jalan bagi kedatangan Yesus, maka Pilatus juga “mempersiapkan” jalan bagi kematian Yesus. Di dalam Alkitab, Pilatus hanya disebutkan sebagai wali negeri artinya pemerintah tertinggi Romawi yang menjabat di Yerusalem. Keputusan tertinggi di Yerusalem adalah di tangan Pilatus. Bagaimana sih sebenarnya Pilatus menyikapi tuduhan atas Yesus? Sebuah komentari menuliskan bahwa Pilatus sebenarnya adalah a man in need, seorang manusia yang sedang membutuhkan. Membutuhkan apa? Membutuhkan kebenaran. Sepanjang percakapan dengan Tuhan Yesus (dan para orang Yahudi), yang dia butuhkan adalah penjelasan mengapa Yesus harus dihukum padahal tidak ada dosa yang ditemukan olehnya. Pilatus diberi kesempatan yang sedemikian berharga oleh Tuhan untuk bertatap muka dan berbicara langsung dengan kebenaran itu, tetapi ironisnya dia tidak mengenal kebenaran itu karena hatinya lebih condong kepada menyenangkan manusia daripada menyenangkan Tuhan.
Waktu saya membaca mengenai Pilatus, saya kasihan dengan Pilatus. Dia memiliki kekuasaan yang sangat besar tetapi tidak berdaya terhadap People Power. Kemarin di dalam khotbah SKI, Pdt. Samuel Fu mengatakan bahwa zaman sekarang adalah zaman civil society/people power (Bibit-Chandra, Bank Century dan Koin Prita didukung oleh rakyat banyak), ini memang baik tetapi people power/civil society dapat juga menyesatkan kebenaran. Karena terlihat mayoritas maka kebenaran dapat diatur dan diputarbalikkan, seperti yang terjadi pada Pilatus.
Pilatus sebenarnya dia memiliki kuasa untuk membebaskan/menyalibkan Yesus. Pilatus berkata kepada Yesus 19:10, “Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?” Tetapi pada ayat berikutnya, menarik sekali Yesus menjawab, “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. . . “ Apa maksudnya? Maksudnya adalah kekuasaan Pilatus adalah di tangan Allah. Allah yang mengatur kekuasaan dan pilihan dia. Ini memang salah satu paradox di dalam Alkitab di mana Allah yang mengatur jalan salib, tetapi Pilatus dan orang banyak itu juga hatinya condong untuk menyalibkan Kristus. Yang mana yang benar? Dua-duanya benar. Dua-duanya berjalan bersama-sama.
Allah memang merencanakan jalan salib. Kalau kita membaca di dalam 18:28-32, “Maka mereka membawa Yesus dari Kayafas ke gedung pengadilan. Ketika itu hari masih pagi. Mereka sendiri tidak masuk ke gedung pengadilan itu, supaya jangan menajiskan diri, sebab mereka hendak makan Paskah. Sebab itu Pilatus keluar mendapatkan mereka dan berkata: "Apakah tuduhan kamu terhadap orang ini?" nah, ini biasa ditanyakan oleh pejabat Negara. Jawab mereka kepadanya: "Jikalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu!" Kata Pilatus kepada mereka: "Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut hukum Tauratmu." SS, Pilatus sebenarnya tahu bahwa dia tidak boleh bekerja sama bila itu menyangkut urusan agama Yahudi, kecuali bila hal itu sudah diluar kendali. Karena itu, dia menyerahkan Yesus kembali kepada mereka supaya Yesus diadili. Kata orang-orang Yahudi itu: "Kami tidak diperbolehkan membunuh seseorang." Jadi, kita melihat bahwa orang Yahudi memang sudah berniat membunuh Yesus tetapi karena mereka tidak mau mencemari tangan mereka menjelang Paskah, mereka minta Pilatus yang menghukum. Demikian hendaknya supaya genaplah firman Yesus, yang dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati.” Nah, apa maksudnya? Kalau dibunuh di tangan orang-orang Yahudi, maka hukumannya adalah rajam/lempar batu sampai mati, sedangkan kalau diserahkan kepada pemerintah Romawi, maka hukuman tertinggi adalah disalib. Nah, keinginan daripada orang-orang Yahudi ini akan menggenapi rencana Allah yaitu Yesus disalib, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Gal. 3:13). Allah merencanakan jalan salib melalui keinginan hati mereka. Mungkin ada yang ingin menyanggah saya dan berkata, “jahat banget Allah memanfaatkan mereka?” Tidak, Allah tidak memanfaatkan mereka, karena di dalam hati sudah ada kegelapan dosa. Firman Tuhan menuliskan, Pilatus akhirnya mengetahui bahwa Yesus diserahkan kepada dia karena dengki, “Ia memang mengetahui, bahwa mereka telah menyerahkan Yesus karena dengki.” (Mat. 27:18) Rencana Allah dan keinginan hati manusia berjalan bersama-sama.
SS, kalau Allah tidak berencana sengaja datang ke dalam dunia di dalam kelahiran Yesus dan berencana menebus dosa manusia lewat kayu salib, maka tidak akan ada keselamatan. Keinginan hati manusia tidak berjasa atas penebusan Kristus (cth: Yudas Iskariot yang disebut pahlawan di dalam Injil Yudas) melainkan itu adalah dosa yang menjijikkan di mata Tuhan.
SS, Kembali kepada Pilatus, inilah a man in need, manusia yang mencari kebenaran tetapi lari daripada kebenaran itu sendiri. Dia lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah.
Tuhan Yesus berkata 18:37, “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku." Kristus datang ke dalam dunia untuk menjadi Raja di hati kita. Dan siapakah yang dapat mendengarkan suara-Nya dan mengerti kebenaran daripada-Nya? Mereka yang berasal dari kebenaran. Artinya, mereka yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk mendengar dan mengerti kebenaran. Apa kebenaran itu? Kristus lahir menjadi manusia dan mati di kayu Salib untuk menebus dosa manusia.
Apakah saudara memahami kebenaran ini? Apakah saudara juga berasal dari kebenaran? Kalau Roh Kudus berbicara di dalam hati saudara dan saudara mampu mendengarkan dan mengerti firman Tuhan hari ini, buka hatimu dan terimalah Yesus sebagai Raja di hatimu yang akan memimpin langkahmu di dalam hidup ini. Maukah saudara?
Bila saudara sudah memahami kebenaran ini sekian lama, pertanyaan saya, apakah Kristus sudah menjadi Raja yang bertahta di hatimu? Sudahkah Dia menjadi yang terutama? Sudahkah hidup kita memuliakan nama-Nya? Rendahkanlah hatimu dihadapan-Nya. Melihat kepada rencana Allah yang agung dan kebebalan dosa manusia, maka sudah sepatutnya kita merendahkan diri di hadapan Allah dan menghargai hidup baru yang Dia sudah berikan. Maukah saudara?
Khotbah komisi Pemuda GKKB jemaat Pontianak tgl 20 Desember 2009
Kian Guan
Monday, December 28, 2009
Tuesday, December 22, 2009
Dilahirkan untuk menderita (1)
Yohanes 18:36-38a; 19:8-11
Yohanes Pembaptis adalah tokoh yang penting di dalam kelahiran Tuhan Yesus ke dalam dunia karena dia mempersiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan di dunia. Kita belajar 2 hal dari Yohanes Pembaptis:
1. Yohanes tidak menganggap dirinya penting di saat orang-orang membutuhkan. Dia begitu merendahkan diri di hadapan Allah. Dia tidak memenuhi keinginan orang-orang Yahudi yang hendak mengangkat dia menjadi Juruselamat mereka. Dia menolak keinginan mereka karena dia tahu yang harus dipandang penting adalah Tuhan Yesus bukan dirinya.
2. Yohanes tahu betul apa yang menjadi tugas dia dan dia melaksanakannya. Dia tahu apa itu kebenaran firman Allah dan dia memberitakan kebenaran itu. “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu.”
Bila saya mau ringkas bagaimana sikap hati daripada Yohanes Pembaptis, maka ada satu lagu yang dapat melukiskan isi hati daripada Yohanes Pembaptis. Pujian ini diciptakan oleh Lenny LeBlanc dengan judul no Higher Calling (tidak ada panggilan yang lebih tinggi). Dalam lagu ini dikatakan tidak ada panggilan yang lebih tinggi daripada membungkuk dan berlutut di hadapan Tuhan. Justru di tempat itulah, manusia mendapatkan tempatnya yang paling tinggi.
see http://www.youtube.com/watch?v=EpTjqmjXB9Q
No higher calling
Down at your feet Oh Lord
Is the most high place
In your presence Lord,
I Seek your face
I Seek your face
Down at your feet Oh Lord
Is the most high place
In your presence Lord,
We Seek your face
We Seek your face
There is no higher calling
No greater honor
Than to bow and kneel before your throne
I am amazed at your glory
Embraced by your mercy
Oh Lord, I live to worship you
(Berlutut di bawah kaki-Mu Tuhan, adalah tempat yang paling tinggi
Di hadirat-Mu Tuhan, aku mencari wajah-Mu, aku mencari wajah-Mu
Berlutut di bawah kaki-Mu Tuhan, adalah tempat yang paling tinggi
Di hadirat-Mu Tuhan, kami mencari wajah-Mu, kami mencari wajah-Mu
Tidak ada panggilan yang lebih tinggi, tidak ada kehormatan yang paling besar
Daripada membungkuk dan berlutut di tahta-Mu
Aku terkagum akan kemuliaan-Mu, dirangkul oleh anugerah-Mu
Oh Tuhanku, aku hidup untuk menyembah-Mu)
Apakah saudara sudah memenuhi panggilan Tuhan ini?
SS, Kelahiran Tuhan Yesus tidak akan berarti apa-apa tanpa pengorbanan-Nya di atas kayu salib. Palungan tanpa salib, maka hanya peristiwa yang sia-sia. Palungan tanpa salib maka tidak jauh berbeda dengan apa yang diajarkan oleh agama-agama. Mengapa demikian? karena keselamatan manusia hanya bisa diperoleh dengan syarat pengorbanan manusia. Kenapa Tuhan Yesus harus lahir ke dalam dunia menjadi manusia? Kenapa sih tidak langsung aja dari sorga bilang, “Kian Guan kamu sudah berdosa, saya ampuni dosamu sekarang, ting!” karena, dosa manusia hanya bisa dibereskan dengan manusia lainnya, itu baru adil, tetapi harus manusia yang tidak ada dosanya. Kalo ada dosa yah gak bisa, mana bisa yang kotor bersihkan yang kotor. Gak mungkin kan kita cuci piring yang kotor pake lumpur. Masalahnya, semua manusia Roma 3:23 katakan sudah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Semua, baik dulu, sekarang dan masa akan datang. Karena itu, tidak ada manusia di dunia ini yang bisa menebus dosa, menyelamatkan kita dari kebinasaan. Karena alasan itulah, Allah mengutus Yesus masuk ke dalam dunia menjadi manusia, ia hidup dengan sempurna dan layak menggantikan kita yang berdosa. Nah, kelahiran Yesus yang kita peringati dalam hari natal adalah awal ia menebus dosa kita. Tanpa kelahiran-Nya maka tidak ada salib. Tanpa palungan, tidak ada salib. Tetapi tanpa salib, palungan tidak berarti apa-apa.
Injil Yohanes memang tidak mencatat kelahiran Tuhan Yesus karena yang dia hendak tekankan mengenai Yesus adalah sebagai Allah dari kekal sampai kekal (dimulai dari logos tanpa awalan dan tidak ada akhir, tidak dicatat mengenai kenaikan Yesus ke Sorga). Tetapi yang menarik adalah beberapa jam sebelum Yesus disalib, Dia mengungkapkan alasan Dia lahir ke dalam dunia. Kita bisa lihat itu dalam percakapan Yesus dengan Pilatus. Sebelumnya mari kita mengenal siapakah lawan bicara dari Tuhan Yesus?
bersambung . . .
Yohanes Pembaptis adalah tokoh yang penting di dalam kelahiran Tuhan Yesus ke dalam dunia karena dia mempersiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan di dunia. Kita belajar 2 hal dari Yohanes Pembaptis:
1. Yohanes tidak menganggap dirinya penting di saat orang-orang membutuhkan. Dia begitu merendahkan diri di hadapan Allah. Dia tidak memenuhi keinginan orang-orang Yahudi yang hendak mengangkat dia menjadi Juruselamat mereka. Dia menolak keinginan mereka karena dia tahu yang harus dipandang penting adalah Tuhan Yesus bukan dirinya.
2. Yohanes tahu betul apa yang menjadi tugas dia dan dia melaksanakannya. Dia tahu apa itu kebenaran firman Allah dan dia memberitakan kebenaran itu. “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu.”
Bila saya mau ringkas bagaimana sikap hati daripada Yohanes Pembaptis, maka ada satu lagu yang dapat melukiskan isi hati daripada Yohanes Pembaptis. Pujian ini diciptakan oleh Lenny LeBlanc dengan judul no Higher Calling (tidak ada panggilan yang lebih tinggi). Dalam lagu ini dikatakan tidak ada panggilan yang lebih tinggi daripada membungkuk dan berlutut di hadapan Tuhan. Justru di tempat itulah, manusia mendapatkan tempatnya yang paling tinggi.
see http://www.youtube.com/watch?v=EpTjqmjXB9Q
No higher calling
Down at your feet Oh Lord
Is the most high place
In your presence Lord,
I Seek your face
I Seek your face
Down at your feet Oh Lord
Is the most high place
In your presence Lord,
We Seek your face
We Seek your face
There is no higher calling
No greater honor
Than to bow and kneel before your throne
I am amazed at your glory
Embraced by your mercy
Oh Lord, I live to worship you
(Berlutut di bawah kaki-Mu Tuhan, adalah tempat yang paling tinggi
Di hadirat-Mu Tuhan, aku mencari wajah-Mu, aku mencari wajah-Mu
Berlutut di bawah kaki-Mu Tuhan, adalah tempat yang paling tinggi
Di hadirat-Mu Tuhan, kami mencari wajah-Mu, kami mencari wajah-Mu
Tidak ada panggilan yang lebih tinggi, tidak ada kehormatan yang paling besar
Daripada membungkuk dan berlutut di tahta-Mu
Aku terkagum akan kemuliaan-Mu, dirangkul oleh anugerah-Mu
Oh Tuhanku, aku hidup untuk menyembah-Mu)
Apakah saudara sudah memenuhi panggilan Tuhan ini?
SS, Kelahiran Tuhan Yesus tidak akan berarti apa-apa tanpa pengorbanan-Nya di atas kayu salib. Palungan tanpa salib, maka hanya peristiwa yang sia-sia. Palungan tanpa salib maka tidak jauh berbeda dengan apa yang diajarkan oleh agama-agama. Mengapa demikian? karena keselamatan manusia hanya bisa diperoleh dengan syarat pengorbanan manusia. Kenapa Tuhan Yesus harus lahir ke dalam dunia menjadi manusia? Kenapa sih tidak langsung aja dari sorga bilang, “Kian Guan kamu sudah berdosa, saya ampuni dosamu sekarang, ting!” karena, dosa manusia hanya bisa dibereskan dengan manusia lainnya, itu baru adil, tetapi harus manusia yang tidak ada dosanya. Kalo ada dosa yah gak bisa, mana bisa yang kotor bersihkan yang kotor. Gak mungkin kan kita cuci piring yang kotor pake lumpur. Masalahnya, semua manusia Roma 3:23 katakan sudah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Semua, baik dulu, sekarang dan masa akan datang. Karena itu, tidak ada manusia di dunia ini yang bisa menebus dosa, menyelamatkan kita dari kebinasaan. Karena alasan itulah, Allah mengutus Yesus masuk ke dalam dunia menjadi manusia, ia hidup dengan sempurna dan layak menggantikan kita yang berdosa. Nah, kelahiran Yesus yang kita peringati dalam hari natal adalah awal ia menebus dosa kita. Tanpa kelahiran-Nya maka tidak ada salib. Tanpa palungan, tidak ada salib. Tetapi tanpa salib, palungan tidak berarti apa-apa.
Injil Yohanes memang tidak mencatat kelahiran Tuhan Yesus karena yang dia hendak tekankan mengenai Yesus adalah sebagai Allah dari kekal sampai kekal (dimulai dari logos tanpa awalan dan tidak ada akhir, tidak dicatat mengenai kenaikan Yesus ke Sorga). Tetapi yang menarik adalah beberapa jam sebelum Yesus disalib, Dia mengungkapkan alasan Dia lahir ke dalam dunia. Kita bisa lihat itu dalam percakapan Yesus dengan Pilatus. Sebelumnya mari kita mengenal siapakah lawan bicara dari Tuhan Yesus?
bersambung . . .
Tuesday, July 14, 2009
Not One Sparrow
We can be 'speciesists' and show compassion for animals.
In a recent post on Her.meneutics, the Christianity Today women's blog, Saddleback Church's Kay Warren shared the story of being emotionally duped, then angered, by a heart-tugging television ad about suffering animals. As someone who has seen Rwandan children orphaned by hiv and surviving on dirt cookies, Warren urged readers to remember the chasm between humans and animals, and the respective dignity that chasm confers. "Only people have a spiritual dimension," she wrote. "Jesus didn't die for animals; he gave his all for human beings."
Warren's post received many thankful "amens." Her frustration resonates with many Christians who are concerned with appeals for animal compassion when so much callousness toward human suffering persists. Such concern is rooted in both Scripture's witness and the intuitive knowledge that, while animals and all of non-human creation are not disposable, neither do they have the same worth as humankind. It was the first human's nostrils into which God, in an embarrassingly intimate act, breathed life; it was the human patriarchs and their families whom God called into covenant relationship; when God chose Mary, a Jewish teenager in a backwater of the Roman Empire, it was human flesh he chose to take on. And though Paul writes in Romans 8 that God will usher the entire creation into freedom in the age to come, he also says that humans alone were chosen "before the creation of the world to be holy and blameless … to be adopted as his sons through Jesus Christ" (Eph. 1:4-5).
Given the highlights of God's story of redemption, Christians cannot help being a bit speciesist, a term coined by psychologist Richard D. Ryder for "the widespread discrimination … practiced by man against other species" and popularized by Princeton philosopher Peter Singer.
But while Christians happily acknowledge the charge, we misstep when we brush off animal cruelty with nonchalance. Showing animal compassion does not de facto assign animals the same worth as humans. It merely acknowledges that animals have worth and dignity—something plainly assumed in biblical passages like Exodus 21-22:14 and Deuteronomy 25, which outline upright ways to handle livestock, and Proverbs 12:10, which praises the righteous man who "cares for the needs of his animal." The church has traditionally interpreted Isaiah 65's well-known apocalyptic imagery of lions and lambs not as a cozy metaphor of human community, but as a picture of fully restored creation, people and animals. And while Luke 12:6's five sparrows sold for two cents usually refer to God's sovereign care for us in our daily lives, it's remarkable that those five sparrows aren't forgotten by God, but are part of his sovereign care as well.
Instead of leading us down dangerous paths toward secular humanism, animal compassion becomes part of our privileged role as custodians of the creatures in which God delights. In fact, C. S. Lewis, who wrestled in many essays with the seeming senselessness of animal suffering, argued that it was precisely because humans are higher than animals in creation's hierarchy that they should oppose animal cruelty. Our very superiority to animals, he said, ought to motivate us "to prove ourselves better than the beasts precisely by the fact of acknowledging duties to them which they do not acknowledge to us."
When we hear about dogs being hanged or drowned for not performing well in dogfighting rings, or about legitimate hunting turning into mere slaughter, or when livestock are killed in ways that prolong their suffering, what usually erupts in us is an adamant no! We do well to pay attention to that no!, because it tells us that something has gone horribly wrong with the world, something Christians believe traces back to man's enmity with God.No! is also our response, of course, when 8-year-olds are forced to prostitute themselves on Cambodian streets, or a doctor admits to having aborted a child one day before he was due. But we need not worry that our no! about cruelty to animals will lessen our response to wrong done to humans.
Compassion is not a zero-sum game. Compassion begets more compassion, though channeled into different responses and for different ends. The most famous evangelical animal activist, William Wilberforce, publicly opposed bull-baiting (a spectator sport where dogs attack bulls) and co-founded the first animal welfare group out of the same vision for Christ's kingdom that led him to support public Sabbath observance, fund evangelism to Indians, and work to overthrow the British slave trade, among countless other initiatives.
It's our recognition of Christ's reign over all things—even the sparrows—that compels us to proclaim our no! about animal cruelty in the public square, and to make our yes! about the worth and dignity of all God's creatures a joyful witness to his coming kingdom.
Diambil dari A Christianity Today editorial | posted 7/13/2009 10:33AM
In a recent post on Her.meneutics, the Christianity Today women's blog, Saddleback Church's Kay Warren shared the story of being emotionally duped, then angered, by a heart-tugging television ad about suffering animals. As someone who has seen Rwandan children orphaned by hiv and surviving on dirt cookies, Warren urged readers to remember the chasm between humans and animals, and the respective dignity that chasm confers. "Only people have a spiritual dimension," she wrote. "Jesus didn't die for animals; he gave his all for human beings."
Warren's post received many thankful "amens." Her frustration resonates with many Christians who are concerned with appeals for animal compassion when so much callousness toward human suffering persists. Such concern is rooted in both Scripture's witness and the intuitive knowledge that, while animals and all of non-human creation are not disposable, neither do they have the same worth as humankind. It was the first human's nostrils into which God, in an embarrassingly intimate act, breathed life; it was the human patriarchs and their families whom God called into covenant relationship; when God chose Mary, a Jewish teenager in a backwater of the Roman Empire, it was human flesh he chose to take on. And though Paul writes in Romans 8 that God will usher the entire creation into freedom in the age to come, he also says that humans alone were chosen "before the creation of the world to be holy and blameless … to be adopted as his sons through Jesus Christ" (Eph. 1:4-5).
Given the highlights of God's story of redemption, Christians cannot help being a bit speciesist, a term coined by psychologist Richard D. Ryder for "the widespread discrimination … practiced by man against other species" and popularized by Princeton philosopher Peter Singer.
But while Christians happily acknowledge the charge, we misstep when we brush off animal cruelty with nonchalance. Showing animal compassion does not de facto assign animals the same worth as humans. It merely acknowledges that animals have worth and dignity—something plainly assumed in biblical passages like Exodus 21-22:14 and Deuteronomy 25, which outline upright ways to handle livestock, and Proverbs 12:10, which praises the righteous man who "cares for the needs of his animal." The church has traditionally interpreted Isaiah 65's well-known apocalyptic imagery of lions and lambs not as a cozy metaphor of human community, but as a picture of fully restored creation, people and animals. And while Luke 12:6's five sparrows sold for two cents usually refer to God's sovereign care for us in our daily lives, it's remarkable that those five sparrows aren't forgotten by God, but are part of his sovereign care as well.
Instead of leading us down dangerous paths toward secular humanism, animal compassion becomes part of our privileged role as custodians of the creatures in which God delights. In fact, C. S. Lewis, who wrestled in many essays with the seeming senselessness of animal suffering, argued that it was precisely because humans are higher than animals in creation's hierarchy that they should oppose animal cruelty. Our very superiority to animals, he said, ought to motivate us "to prove ourselves better than the beasts precisely by the fact of acknowledging duties to them which they do not acknowledge to us."
When we hear about dogs being hanged or drowned for not performing well in dogfighting rings, or about legitimate hunting turning into mere slaughter, or when livestock are killed in ways that prolong their suffering, what usually erupts in us is an adamant no! We do well to pay attention to that no!, because it tells us that something has gone horribly wrong with the world, something Christians believe traces back to man's enmity with God.No! is also our response, of course, when 8-year-olds are forced to prostitute themselves on Cambodian streets, or a doctor admits to having aborted a child one day before he was due. But we need not worry that our no! about cruelty to animals will lessen our response to wrong done to humans.
Compassion is not a zero-sum game. Compassion begets more compassion, though channeled into different responses and for different ends. The most famous evangelical animal activist, William Wilberforce, publicly opposed bull-baiting (a spectator sport where dogs attack bulls) and co-founded the first animal welfare group out of the same vision for Christ's kingdom that led him to support public Sabbath observance, fund evangelism to Indians, and work to overthrow the British slave trade, among countless other initiatives.
It's our recognition of Christ's reign over all things—even the sparrows—that compels us to proclaim our no! about animal cruelty in the public square, and to make our yes! about the worth and dignity of all God's creatures a joyful witness to his coming kingdom.
Diambil dari A Christianity Today editorial | posted 7/13/2009 10:33AM
Tuesday, February 10, 2009
Inilah kasih itu!
“Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh. 4:10)
Seluruh dunia sebentar lagi merayakan hari kasih sayang. Seluruh dunia sepakat untuk menunjukkan kasihnya kepada orang-orang yang mereka kasihi, berupa perhatian, hadiah, dan suasana romantis. Tetapi sejarah membuktikan bahwa dunia justru semakin kehilangan makna kasih. Kasih dunia sangat menuntut persyaratan, Kasih diumbar di dalam nafsu, kasih direndahkan di dalam bentuk materi seperti sogokan, pengagungan kasih yang hanya 1 hari dianggap cukup untuk menutupi segala kemarahan, kedengkian dan perselisihan, setelah itu, kasih hanya menjadi tertawaan dunia. Masihkah kita merayakan hari kasih sayang yang demikian? Bagaimana seharusnya kita sebagai orang-orang yang ada di dalam Tuhan merayakan hari kasih sayang ini?
1. Renungkanlah firman Tuhan karena makna kasih yang sejati di dalam firman Tuhan. Frasa “inilah kasih itu” memberitahukan kita bahwa firman Tuhan memiliki makna kasihnya sendiri—tentu yang berbeda dengan dunia. Sebagai anak-anak Tuhan, kita seharusnya tidak mencari makna kasih di luar dari kebenaran firman Tuhan.
2. Berdoalah dan ucapkanlah syukur atas kasih Allah yang tak bersyarat. Frasa “bukan kita yang telah mengasihi Allah” menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah mampu mengasihi Allah kalau Allah tidak terlebih dahulu mengasihi kita. Tidak ada setitik pun hidup kita yang mampu memenuhi syarat untuk dikasihi Tuhan, selain daripada inisiatif kasih Allah itu sendiri.
3. Kasihi setiap orang dengan kekudusan dan ketulusan karena kasih sejati itu sebuah kesadaran, bukan hawa nafsu. Frasa “tetapi Allah yang telah mengasihi kita” menunjukkan sebuah kesadaran dan keinginan dari Allah yang timbul dari pikiran, hati, rencana dan kehendak-Nya yang kudus untuk mengasihi manusia—bukan seperti hawa nafsu manusia yang murahan.
4. Beritakanlah kasih Allah karena kasih-Nya tidak murahan tetapi mahal harganya. Frasa “dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian dosa-dosa kita” menunjukkan kasih Allah itu mahal harganya karena yang datang adalah Allah sendiri di dalam diri Tuhan Yesus. Kasih seperti ini yang mendamaikan kita yang berdosa dengan Allah yang kudus sehingga kita menjadi kudus di hadapan-Nya.
5. Jadilah orang-orang yang mengasihi sampai akhir hidup kita karena kasih yang sejati tidak hanya 1 hari tetapi selamanya. Kata “mengasihi dan mengutus” yang Allah kerjakan adalah sebuah perbuatan yang dilakukan sekali untuk selamanya. Allah mengasihi manusia dengan kasih-Nya yang kekal. “ . . . Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:3).
Selamat hari kasih sayang Tuhan!
Seluruh dunia sebentar lagi merayakan hari kasih sayang. Seluruh dunia sepakat untuk menunjukkan kasihnya kepada orang-orang yang mereka kasihi, berupa perhatian, hadiah, dan suasana romantis. Tetapi sejarah membuktikan bahwa dunia justru semakin kehilangan makna kasih. Kasih dunia sangat menuntut persyaratan, Kasih diumbar di dalam nafsu, kasih direndahkan di dalam bentuk materi seperti sogokan, pengagungan kasih yang hanya 1 hari dianggap cukup untuk menutupi segala kemarahan, kedengkian dan perselisihan, setelah itu, kasih hanya menjadi tertawaan dunia. Masihkah kita merayakan hari kasih sayang yang demikian? Bagaimana seharusnya kita sebagai orang-orang yang ada di dalam Tuhan merayakan hari kasih sayang ini?
1. Renungkanlah firman Tuhan karena makna kasih yang sejati di dalam firman Tuhan. Frasa “inilah kasih itu” memberitahukan kita bahwa firman Tuhan memiliki makna kasihnya sendiri—tentu yang berbeda dengan dunia. Sebagai anak-anak Tuhan, kita seharusnya tidak mencari makna kasih di luar dari kebenaran firman Tuhan.
2. Berdoalah dan ucapkanlah syukur atas kasih Allah yang tak bersyarat. Frasa “bukan kita yang telah mengasihi Allah” menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah mampu mengasihi Allah kalau Allah tidak terlebih dahulu mengasihi kita. Tidak ada setitik pun hidup kita yang mampu memenuhi syarat untuk dikasihi Tuhan, selain daripada inisiatif kasih Allah itu sendiri.
3. Kasihi setiap orang dengan kekudusan dan ketulusan karena kasih sejati itu sebuah kesadaran, bukan hawa nafsu. Frasa “tetapi Allah yang telah mengasihi kita” menunjukkan sebuah kesadaran dan keinginan dari Allah yang timbul dari pikiran, hati, rencana dan kehendak-Nya yang kudus untuk mengasihi manusia—bukan seperti hawa nafsu manusia yang murahan.
4. Beritakanlah kasih Allah karena kasih-Nya tidak murahan tetapi mahal harganya. Frasa “dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian dosa-dosa kita” menunjukkan kasih Allah itu mahal harganya karena yang datang adalah Allah sendiri di dalam diri Tuhan Yesus. Kasih seperti ini yang mendamaikan kita yang berdosa dengan Allah yang kudus sehingga kita menjadi kudus di hadapan-Nya.
5. Jadilah orang-orang yang mengasihi sampai akhir hidup kita karena kasih yang sejati tidak hanya 1 hari tetapi selamanya. Kata “mengasihi dan mengutus” yang Allah kerjakan adalah sebuah perbuatan yang dilakukan sekali untuk selamanya. Allah mengasihi manusia dengan kasih-Nya yang kekal. “ . . . Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:3).
Selamat hari kasih sayang Tuhan!
Thursday, January 22, 2009
catatan pinggir seorang suami
setiap sore menjelang malam dan sampai larut malam, selalu hati ini was-was melihat gelagat istri yang gelisah. dan betul, tiba-tiba apa yang ada di perutnya yang mungkin baru saja selesai makan (kadang yang lumayan mahal belinya) berakhir di lubang kloset. Pernah sekali waktu sambil merasakan asamnya rasa yang keluar dengan jenis makanan dan minuman, baik yang masih berbentuk maupun yang sudah kaga jelas bentuknya, alias encer, saya pun ingin mengikuti jejaknya. Untung saya sebagai suami menunjukkan integritas yang tinggi untuk tidak serta merta muntah bersamanya. alhasil, pijatan maut pun saya keluarkan baik di leher, tepukan di punggung dan pinggang (ke dia).
kasihan hati ini melihat istri yang kelelahan, demikian juga dengan saya yang kelelahan menahan nafas setiap melihat dia begitu merana dengan berusaha mengeluarkan kekuatan dia yang terakhir menahan rasa lelah. akhirnya bisa juga dia tidur nyenyak.
setiap melihat dia muntah, saya langsung ingat masa saya suka muntah waktu malaria. emang gak enak, meskipun lama-kelamaan enak juga muntah karena setelah itu segar. hati ini hanya terus berdoa bagi istriku agar kuat menghadapi kehamilannya. sampai sekarang dia masih merasakan sakit di lambung, entah karena makan asam-asam, stres mikirin pelayanan, atau faktor lainnya. i love u my wife! be stong in the Lord!
kasihan hati ini melihat istri yang kelelahan, demikian juga dengan saya yang kelelahan menahan nafas setiap melihat dia begitu merana dengan berusaha mengeluarkan kekuatan dia yang terakhir menahan rasa lelah. akhirnya bisa juga dia tidur nyenyak.
setiap melihat dia muntah, saya langsung ingat masa saya suka muntah waktu malaria. emang gak enak, meskipun lama-kelamaan enak juga muntah karena setelah itu segar. hati ini hanya terus berdoa bagi istriku agar kuat menghadapi kehamilannya. sampai sekarang dia masih merasakan sakit di lambung, entah karena makan asam-asam, stres mikirin pelayanan, atau faktor lainnya. i love u my wife! be stong in the Lord!
Tuesday, January 13, 2009
Catatan pinggir yang kelelahan
Kalau saya sedang jabarkan kehidupan saya sekarang, maka kata itu adalah SIBUK. Puji Tuhan kalo Tuhan masih percayakan banyak pelayanan, tapi saya takut berubah menjadi puji setan karena dia sudah berhasil membuat saya sibuk sampai hal yang esensi dalam hidup ini yaitu bergaul karib dengan Tuhan saya berat jalankan dan mulai menjadi barang langka. maunya sih mengurangi kesibukan pelayanan. maunya sih memikirkan ladang yang baru yang lebih mungkin memberikan space untuk bernafas bersama Tuhan. tapi ah....bisa aja alasan untuk menghindar dari tantangan atau pengen cari suasana yang lebih enak buat diri sendiri. tapi jujur, hati ini emang belum sreg ada di tempat pelayanan sekarang. emang dasar kamu Kian Guan!
rasanya malu deh dengar katanya kalo di tenpat pelayanan Mr. Caleb Tong, beliau berkata (dengar kata orang), "orang dunia aja tekun bekerja, kaga ada off, masa kita hamba Tuhan kalah dan butuh off?" wuih.....gentar juga kalo Tuhan utus kerjasama sama beliau. tapi pikir2, benar juga. cuma masalahnya bagaimana dengan orang yang gelo kayak saya ini yang masih susah bergaul karib dengan Tuhan sembari bersibuk ria.
ada baca buku bagus buanget karangan Charles Swindoll judulnya so, you want to be like Christ?/Anda mau menjadi seperti Kristus? eh...baca buku ini, beliau mengatakan bahwa harus berani berkata tidak kepada pelayanan yang menyita hubungan kita dengan Tuhan. harus ada waktu bersama Tuhan yang cukup dengan implikasi pelayanan harus ditata tak menyibukkan. ehm.....
apalagi pelayanan sekarang sering saya terjebak dalam perbandingan dengan orang lain yang lebih mantap jadwal pelayanannya tapi tidak ngeluh, sedangkan saya....wahhhhh....ngeluhnya lebih banyak daripada pelayanannya. apa karena masih bau kencur yah? ehmmm.....God forgive me.
catatan pinggir orang yang kelelahan
rasanya malu deh dengar katanya kalo di tenpat pelayanan Mr. Caleb Tong, beliau berkata (dengar kata orang), "orang dunia aja tekun bekerja, kaga ada off, masa kita hamba Tuhan kalah dan butuh off?" wuih.....gentar juga kalo Tuhan utus kerjasama sama beliau. tapi pikir2, benar juga. cuma masalahnya bagaimana dengan orang yang gelo kayak saya ini yang masih susah bergaul karib dengan Tuhan sembari bersibuk ria.
ada baca buku bagus buanget karangan Charles Swindoll judulnya so, you want to be like Christ?/Anda mau menjadi seperti Kristus? eh...baca buku ini, beliau mengatakan bahwa harus berani berkata tidak kepada pelayanan yang menyita hubungan kita dengan Tuhan. harus ada waktu bersama Tuhan yang cukup dengan implikasi pelayanan harus ditata tak menyibukkan. ehm.....
apalagi pelayanan sekarang sering saya terjebak dalam perbandingan dengan orang lain yang lebih mantap jadwal pelayanannya tapi tidak ngeluh, sedangkan saya....wahhhhh....ngeluhnya lebih banyak daripada pelayanannya. apa karena masih bau kencur yah? ehmmm.....God forgive me.
catatan pinggir orang yang kelelahan
Subscribe to:
Posts (Atom)