Perjanjian Baru
1. Situasi sebelum terjadinya kanonisasi PB:
a. Bertumbuhnya suatu penghormatan dan penghargaan terhadap tulisan para rasul yang dipelihara dan dianggap bernilai. Sebelumnya hanya PL dan perkataan Yesus yang tertulis yang dianggap berotoritas, sedangkan yang lain hanya sebagai tulisan suci. Sekali lagi di sini nyata penguasaan dan pengarahan Roh Kudus atas umat-Nya untuk mengenali inspirasi-Nya.
b. Bertumbuhnya gereja menimbulkan kebutuhan adanya standar iman dan perbuatan yang lengkap, atau dengan kata lain, kebutuhan teologi dan etika. Bagaimanakah cara gereja memecahkan suatu persoalan teologis dan praktis?
c. Waktu itu biasanya kepada jemaat dibacakan surat dari para rasul yang disampaikan kepada mereka secara bergilir (1Tes. 5:27; Kol. 4:16). Sampai di sini mereka menemukan sedikit permasalahan, karena kutipan-kutipan yang dibuat oleh bapa-bapa gereja untuk mendukung penjelasan mereka dalam menangani kasus ternyata ada yang merupakan campuran kitab kanon dan Apokrifa (mis. Tatian dalam “Diatessaron” dan Justin Martir dalam “Memoris”).
d. Timbulnya ketidaksamaan sikap penerimaan terhadap tulisan-tulisan apostolic oleh beberapa bapa gereja, misalnya:
Ø Teofilus dari Antiokhia mengutip dari kitab Markus dan Yohanes dengan catatan sebagai yang dibawa oleh Roh (Spirit Bearers). Tetapi waktu mengutip dari surat-surat Paulus, ia tidak menunjukkan sikap sebagai seorang pengutip yang mengutip dari tulisan kudus.
Ø Tatian dalam mempersiapkan “harmoni dari Injil-Injil”-nya, “The Diatessaron” (ca. 170) hanya memasukkan ke-4 injil dan kemudian juga menerima pengaruh surat-surat Paulus. Tetapi kemudian Jerome menolak beberapa kitab/surat Paulus.
e. Timbulnya bidat-bidat:
ü Pada 140 AD, Marcion mengajarkan suatu ajaran tentang perbedaan Allah PL dan PB. Ia menolak PL dan dalam kanonnya ia hanya mengakui beberapa kitab tertentu sebagai firman Allah (mis. Hanya injil Lukas).
ü Efek dari konflik dengan gnostisisme. Gnostisisme yang mulai berkembang sejak abad kedua merasa perlu memiliki literature yang kudus dan mereka menolak PL. Mereka menciptakan kitab-kitab Injil yang baru untuk menjadi dasar bagi doktrin, pengajaran, dan kepercayaan mereka, misalnya injil Petrus, injil Tomas, injil Filipus, Injil kebenaran, dan lain-lain.
f. Rangsangan misi
Injil sudah mulai tersebar ke mana-mana sehingga dibutuhkan Kitab Suci bagi umat percaya dari suku dan bahasa yang berbeda. Untuk itu perlu dilakukan penerjemahan Kitab Suci, dan dengan demikian perlu dikenali dan disusun suatu kanon yang sah dan lengkap.
Semua ini merupakan suatu situasi atau rangsangan yang secara tidak langsung menimbulkan suatu kebutuhan untuk mengumpulkan dan menyatukan kitab-kitab kanonikal dan mengkonfrontasikannya sebagai kanon Alkitab yang menjadi dasar dan standar iman kepercayaan dan perbuatan umat Kristen. Kendati demikian, di balik semua itu, sebenarnya peranan Roh Kuduslah yang telah mengarahkan dan mewujudkan kebutuhan kanonisasi kitab-kitab yang diinspirasikan Allah pada umat-Nya itu. Dengan demikian timbulnya kanon Alkitab sama sekali bukan karena keinginan dan situasi yang bersifat manusiawi, melainkan berasal dari ketetapan dan rencana Allah Tritunggal yang sempurna di dalam dan melalui sejarah manusia.
2. Proses kanonisasi[1]
Secara singkat proses kanonisasi berlangsung melalui beberapa tahap:
a. Selecting Procedure, dilakukan oleh para rasul atau di antara para rasul/penulis kitab kanonikal itu sendiri.
v Yohanes 20:30 Ia menyeleksi apa yang ditulisnya.
v Lukas 1:1-4 Menunjukkan ada banyak tulisan/sumber lain, sebelum Lukas menyelidiki dan menyeleksinya untuk menyusun tulisannya.
b. Reading Procedure. Ciri kitab kanon adalah adanya suatu perintah untuk membacakannya berulang kali di gereja atau perkumpulan umat percaya. Ini menunjukkan adanya otoritas dalam tulisan itu yang melalui proses pembacaan dapat dikenali (1Tes. 5:27; Why. 1:3).
c. Circulating Procedure. Tulisan-tulisan yang dibacakan sebagai suatu karya tulis yang berotoritas di hadapan gereja-gereja itu diedarkan dan dikumpulkan oleh gereja-gereja (Why. 1:11; yang diedarkan di sekitar gereja-gereja di Asia kecil).
d. Collecting Procedure. Prosedur ketiga (Circulating) akan membawa pada suatu kebiasaan/tindakan untuk mengumpulkan tulisan-tulisan profetik dan apostolik itu. Misalnya, pada waktu surat 2 Petrus ditulis (66 AD), surat-surat Paulus sudah dipandang sebagai kanon dan sudah dikumpulkan (2Ptr. 3:15-16).
e. Quatation Procedure. Ketika Yudas dalam suratnya mengutip dari surat Petrus (Yud. 17-18; 2Ptr. 3:3), ia bukan hanya menerima tulisan Petrus sebagai karangan/tulisan biasa, melainkan sebagai suatu tulisan yang berotoritas, yaitu yang bersifat kanon. Begitu juga ketika Paulus mengutip tulisan Lukas (Luk. 10:7) dalam suratnya kepada Timotius (1Tim. 5:18).
f. Pengakuan oleh para tokoh gereja dan konsili-konsili:
· Antar abad 3-4 AD sebenarnya sudah ada tokoh/bapa gereja yang menerima dan menyusun tulisan/kitab yang sudah melalui prosedur di atas secara utuh, seperti yang kita miliki sekarang.
· Berdekatan dengan waktu itu juga susunan kanon itu dikonformasikan melalui konsili-konsili gerejawi, misalnya: Nicea (325-340), Hippo (393), dan Kartago (397 dan 419).
[1]Geisler dan Nix, General Introduction 184-186.