ALLAH ADALAH KASIH
A. Cara yang tidak tepat untuk memulainya.
Pemahaman Allah adalah kasih biasanya menempatkan kasih Allah dalam kata agapao. Namun apakah kata ini memang dapat menunjukkan secara jelas akan kasih Allah? Carson membuktikan secara sederhana bahwa kata agapao tidak bisa serta merta menggambarkan kasih Allah karena secara studi kata, kata ini juga dipakai di bagian lain secara jahat—bukan dalam bentuk kasih yang “lebih tinggi” (lih. 2Sam. 13, kisah Amnon dan Tamar). Poin utama dari maksud Carson ini adalah kita tidak dapat memahami natur kasih Allah hanya dengan studi kata yang cacat secara metodologi.
B. Bagaimana untuk memulainya: Ayat dalam konteksnya.
Carson memberikan contoh dari Yohanes 5:16-30, bagaimana melihat kasih Allah di dalam konteksnya ayatnya. Ada 2 hal yang menjadi latar belakang dari implikasi ucapan Yesus yang mengotorisasi aktivitas sabat-Nya sendiri (ay. 17): (1) “Keanakan” (Sonship) sangat sering merupakan sebuah kategori fungsional di dalam Alkitab. Artinya, Yesus secara implisit mengklaim diri-Nya sebagai Anak Allah, dengan hak untuk mengikuti pola pekerjaan Allah sendiri tetapkan, dan (2) Yesus memang berhak “bekerja” pada hari sabat karena Ia adalah Allah yang “bekerja” bahkan pada hari sabat (sehingga pemeliharaan-Nya tetap berlangsung), tetapi Dia tidak “bekerja” dengan cara yang melanggar hari sabat. Tentu saja, ini merupakan jalan keluar yang hanya berlaku bagi Allah saja. Klaim Yesus sebagai Anak Allah yang menyerupai Allah dalam segala hal (prinsip anak seperti bapanya) membenarkan pekerjaan sabat-Nya sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, ada 5 poin yang Carson simpulkan pada bagian Yohanes 5:16-30:
1. Yesus menyangkal bahwa Dia melawan Allah dengan menempatkan diri-Nya sebagai pengganti Allah. Justru sebaliknya: Ia bergantung sepenuhnya pada Bapa dan tunduk kepada Bapa → Dia dapat mengerjakan hanya apa yang Dia lihat Bapa kerjakan (subordinasi) sebab Dia mengerjakan apapun yang dikerjakan Bapa (tindakan yang koekstensif).
2. Yesus adalah Anak Allah yang begitu unik dan tidak terbatas sehingga Bapa menunjukkan kepada-Nya semua yang Dia kerjakan, karena kasih kepada-Nya, dan Anak bergantung pada Bapa-Nya dan mengerjakan segala sesuatu yang dikerjakan Bapa.
3. Hubungan antara Bapa dan Anak merupakan standar bagi semua hubungan kasih yang lain. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal memberikan alasan bahwa: jika Allah tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, bagaimanakah mungkin Dia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia (Rm. 8:32)?
4. Kesempurnaan ketaatan Anak (melakukan segala yang diperintahkan Bapa) didasarkan kepada kasih-Nya kepada Bapa (14:31).
5. Ayat 20 menjelaskan bahwa Anak akan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti Bapa yaitu membangkitkan orang mati. Yesus berbeda dengan misalnya Elia—perantara untuk menghidupkan orang mati. Dia juga memiliki hak prerogatif karena Bapa telah “menunjukkan” kepada-Nya.
C. Beberapa refleksi sintesis penutup
1. Kasih Bapa kepada Anak, dan kasih Anak kepada Bapa, tidak dapat dibatasi hanya pada hubungan Kristus yang terjadi mulai dari Inkarnasi saja, tetapi secara intrinsik hubungan ini bersifat intra-Trinitarian. Hal ini membuat kita paham bahwa Allah adalah kasih karena selalu terdapat orientasi kepada pribadi yang lain dalam kasih Allah. Seluruh manifestasi kasih Allah itu muncul dari realitas yang lebih dalam dan lebih fundamental: kasih terjadi di dalam natur Allah itu sendiri. Allah adalah kasih.
2. Pola kasih Bapa kepada Anak dan sebaliknya menjadi model dan insentif bagi relasi kita dengan Yesus. Jika kita mengasihi Dia, kita akan menuruti segala perintah-Nya (14:15); di sini, jika kita menuruti segala perintah-Nya, kita tetap berada di dalam kasih-Nya. Karena itu, relasi kita dengan Yesus mencerminkan relasi Yesus dengan Bapa-Nya yang di Sorga—tentu saja, merupakan tema utama dalam Yohanes 17.
“Kita bukan lagi budak tetapi sahabat. Apa yang telah membuat perubahan ini adalah bahwa dalam kegenapan waktu, Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, dan Anak taat; bahwa Bapa mengasihi Anak dan memutuskan bahwa semua orang harus menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa; dan Bapa dan Anak, dalam harmoni rencana dan visi yang sempurna, pada waktu yang telah Allah tentukan, memainkan peranan mereka—Bapa mengutus, memberi mandat, “menunjukkan,” dan Anak datang, mengungkapkan, menyingkapkan apa yang telah “ditunjukkan” kepada-Nya, dan dalam ketaatan berjalan menuju Salib. Dan kita, ahli waris kovenan yang baru, telah mendapatkan hak istimewa untuk ikut masuk ke dalam rencana yang gemilang ini. Kita adalah sahabat Allah. . . . Dan kita telah mendapatkan hak istimewa yang tak ternilai, tidak hanya diselamatkan oleh kasih Allah, tetapi juga ditunjukkan kasih itu, diberitahu tentang-Nya, dan diizinkan untuk ikut di dalam pikiran Allah.” (Carson)
A. Cara yang tidak tepat untuk memulainya.
Pemahaman Allah adalah kasih biasanya menempatkan kasih Allah dalam kata agapao. Namun apakah kata ini memang dapat menunjukkan secara jelas akan kasih Allah? Carson membuktikan secara sederhana bahwa kata agapao tidak bisa serta merta menggambarkan kasih Allah karena secara studi kata, kata ini juga dipakai di bagian lain secara jahat—bukan dalam bentuk kasih yang “lebih tinggi” (lih. 2Sam. 13, kisah Amnon dan Tamar). Poin utama dari maksud Carson ini adalah kita tidak dapat memahami natur kasih Allah hanya dengan studi kata yang cacat secara metodologi.
B. Bagaimana untuk memulainya: Ayat dalam konteksnya.
Carson memberikan contoh dari Yohanes 5:16-30, bagaimana melihat kasih Allah di dalam konteksnya ayatnya. Ada 2 hal yang menjadi latar belakang dari implikasi ucapan Yesus yang mengotorisasi aktivitas sabat-Nya sendiri (ay. 17): (1) “Keanakan” (Sonship) sangat sering merupakan sebuah kategori fungsional di dalam Alkitab. Artinya, Yesus secara implisit mengklaim diri-Nya sebagai Anak Allah, dengan hak untuk mengikuti pola pekerjaan Allah sendiri tetapkan, dan (2) Yesus memang berhak “bekerja” pada hari sabat karena Ia adalah Allah yang “bekerja” bahkan pada hari sabat (sehingga pemeliharaan-Nya tetap berlangsung), tetapi Dia tidak “bekerja” dengan cara yang melanggar hari sabat. Tentu saja, ini merupakan jalan keluar yang hanya berlaku bagi Allah saja. Klaim Yesus sebagai Anak Allah yang menyerupai Allah dalam segala hal (prinsip anak seperti bapanya) membenarkan pekerjaan sabat-Nya sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, ada 5 poin yang Carson simpulkan pada bagian Yohanes 5:16-30:
1. Yesus menyangkal bahwa Dia melawan Allah dengan menempatkan diri-Nya sebagai pengganti Allah. Justru sebaliknya: Ia bergantung sepenuhnya pada Bapa dan tunduk kepada Bapa → Dia dapat mengerjakan hanya apa yang Dia lihat Bapa kerjakan (subordinasi) sebab Dia mengerjakan apapun yang dikerjakan Bapa (tindakan yang koekstensif).
2. Yesus adalah Anak Allah yang begitu unik dan tidak terbatas sehingga Bapa menunjukkan kepada-Nya semua yang Dia kerjakan, karena kasih kepada-Nya, dan Anak bergantung pada Bapa-Nya dan mengerjakan segala sesuatu yang dikerjakan Bapa.
3. Hubungan antara Bapa dan Anak merupakan standar bagi semua hubungan kasih yang lain. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal memberikan alasan bahwa: jika Allah tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, bagaimanakah mungkin Dia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia (Rm. 8:32)?
4. Kesempurnaan ketaatan Anak (melakukan segala yang diperintahkan Bapa) didasarkan kepada kasih-Nya kepada Bapa (14:31).
5. Ayat 20 menjelaskan bahwa Anak akan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti Bapa yaitu membangkitkan orang mati. Yesus berbeda dengan misalnya Elia—perantara untuk menghidupkan orang mati. Dia juga memiliki hak prerogatif karena Bapa telah “menunjukkan” kepada-Nya.
C. Beberapa refleksi sintesis penutup
1. Kasih Bapa kepada Anak, dan kasih Anak kepada Bapa, tidak dapat dibatasi hanya pada hubungan Kristus yang terjadi mulai dari Inkarnasi saja, tetapi secara intrinsik hubungan ini bersifat intra-Trinitarian. Hal ini membuat kita paham bahwa Allah adalah kasih karena selalu terdapat orientasi kepada pribadi yang lain dalam kasih Allah. Seluruh manifestasi kasih Allah itu muncul dari realitas yang lebih dalam dan lebih fundamental: kasih terjadi di dalam natur Allah itu sendiri. Allah adalah kasih.
2. Pola kasih Bapa kepada Anak dan sebaliknya menjadi model dan insentif bagi relasi kita dengan Yesus. Jika kita mengasihi Dia, kita akan menuruti segala perintah-Nya (14:15); di sini, jika kita menuruti segala perintah-Nya, kita tetap berada di dalam kasih-Nya. Karena itu, relasi kita dengan Yesus mencerminkan relasi Yesus dengan Bapa-Nya yang di Sorga—tentu saja, merupakan tema utama dalam Yohanes 17.
“Kita bukan lagi budak tetapi sahabat. Apa yang telah membuat perubahan ini adalah bahwa dalam kegenapan waktu, Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, dan Anak taat; bahwa Bapa mengasihi Anak dan memutuskan bahwa semua orang harus menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa; dan Bapa dan Anak, dalam harmoni rencana dan visi yang sempurna, pada waktu yang telah Allah tentukan, memainkan peranan mereka—Bapa mengutus, memberi mandat, “menunjukkan,” dan Anak datang, mengungkapkan, menyingkapkan apa yang telah “ditunjukkan” kepada-Nya, dan dalam ketaatan berjalan menuju Salib. Dan kita, ahli waris kovenan yang baru, telah mendapatkan hak istimewa untuk ikut masuk ke dalam rencana yang gemilang ini. Kita adalah sahabat Allah. . . . Dan kita telah mendapatkan hak istimewa yang tak ternilai, tidak hanya diselamatkan oleh kasih Allah, tetapi juga ditunjukkan kasih itu, diberitahu tentang-Nya, dan diizinkan untuk ikut di dalam pikiran Allah.” (Carson)
No comments:
Post a Comment