Pernikahan adalah perjalanan yang baru menuju kedewasaan. Beberapa kali saya mengamati orang yang dulunya saya kenal nakal tetapi setelah menikah maka ia mengalami perubahan (memang tidak semua). Apakah diperlukan pernikahan terlebih dahulu, baru orang menyadari arti sebuah tanggung jawab?
Saya rasa tidak seharusnya demikian. Tetapi kalau memang di situlah momen Tuhan bekerja, maka apa kata, Tuhan yang berkuasa.
Ngomong soal ngomong, bukan berarti saya sendiri bukan tipe yang di atas. Saya bukannya tidak menyadari arti tanggung jawab, melainkan saya baru menyadari bagaimana memegang teguh apa itu tanggung jawab. Ya! Melalui pernikahan pulalah saya disadarkan demikian. Tidak cukup ternyata hanya menyadari arti tanggung jawab dan kemudian melakukannya. Perlu sekali sebenarnya apa itu memegang teguh tanggung jawab. Memang di dalam pernikahan yang dini ini saya belum bisa membuktikan apa-apa kepada dunia, tetapi kok ada keyakinan di dalam hati saya bahwa memegang tanggung jawab itu tidaklah sesulit yang saya pikirkan ketika sebelum menikah. Boro-boro memegang tanggung jawab, melakukannya pun sulit. Dan boro-boro juga melakukan tanggung jawab, sadar bahwa harus bertanggung jawab pun sulit. Trus apalagi?
Saya mencatat ada beberapa perubahan yang juga dini di dalam saya memegang tanggung jawab:
- Menjaga istri saya sampai tetes darah penghabisan. Membaca Efesus 5:25 membuat saya miris dan bergidik. Yang tadinya bangga kalo harus dihormati istri, eh, kita malah dituntut firman untuk mati bagi istri. Jadi, mana yang lebih susah tanggung jawabnya untuk dipertahankan? Yah engkau kaum Adam dan gue! Susah gak? Kaga juga kelihatannya karena yah emang belum ada bahayanya (jadi belum teruji) dan kedua yah emang kaga susah karena saya mendapati betapa diri saya sangat mencintai istri saya meskipun tidak secinta Tuhan kepada kita yang berdosa. Tapi kalo bahaya itu datang dan kita disuruh mati bagi istri, kira-kira cukup gak yah dengan cinta? Terlalu dini memang menyimpulkannya. Tapi kalo urusan angkat berat-berat agar istri tidak mati kecapean, mati kelelahan, mati ketiban, maka saya sudah lulus.
- Menerima dia apa adanya secara fisik dan kebiasaan. Istri saya tidak cantik-cantik buanget kayak Angelina Jolie (bibirnya mirip-mirip setelah saya teliti) tetapi dia juga tidak biasa-biasa buanget. Kalo kata dosen pembimbing kami, dia adalah wanita di atas rata-rata wanita pada umumnya. Hm…..jawaban yang tepat! setiap ada kesempatan memandangnya, maka saya mendapati ada gerakan-gerakan, mimik muka, bagian-bagian di dalam dirinya yang kurang pas dengan irama penerimaan saya. Tetapi eits….nanti dulu, ini dia namanya perubahan untuk bertanggung jawab menerima segala perubahan. Bingung bingung luh! Tetapi bukan berarti ini adalah perubahan yang terpaksa karena sebuah komitmen tetapi saya menamakan ini adalah perubahan yang lahir dari sebuah cinta yang dalam karena pengenalan akan Tuhan. Saya yakin seyakin-yakinnya ini tidak hanya sementara tetapi long lasting karena Tuhan yang menjaga. Ya iya lah, kalo kaga percaya Tuhan lagi, dengan kata lain, bukan orang pilihan Tuhan, maka saya sangat besar kemungkinan tidak memiliki cinta yang demikian. Yang ketiga,
- Menerima dicintai dengan sangat oleh istri.
Tidak pernah saya dicintai dan dikasihi orang selain daripada mama yang merawat saya, papa yang cool tapi dengan ekor matanya memperhatikan, link yang cuek tetapi sesekali dekat buanget. Kali ini yang mencintaiku dan mengasihiku adalah istriku yang begitu menunjukkan cinta dan kasih seperti yang keluarga saya lakukan. Saya tidak akan melanjutkan bagian ini karena ada banyak rahasia dapur keluarga sendiri yang masih mengepul. Bisa-bisa gara-gara artikel ini istriku tidak lagi mencintaiku seperti dahulu. Peace istriku!
Akhir kata. Pernikahan itu indah. pernikahan itu mulia. Pernikahan itu mendamaikan jiwa. Pernikahan itu kalau disertai Allah maka akan seperti di surga. Dan terakhir, Pernikahan itu mengajarkan perubahan di dalam tanggung jawab.
Salam pernikahan kudus 7 September 2008!