Wednesday, November 28, 2007

Tenanglah! Aku Ini, Jangan Takut!

Matius 14:22-33

Di dalam hidup kita seringkali kita sulit merasakan kehadiran Tuhan. Kita merasa sendirian menghadapi masalah hidup kita. Bahkan kadang kita meragukan apakah sebenarnya Tuhan benar-benar ada menyertai kita.

Hal ini terjadi di dalam diri murid-murid Yesus. Mereka kewalahan menghadapi ganasnya gelombang dan berusaha dengan kekuatan sendiri untuk mengatasi masalah ini. Ketakutan dan kekuatiran tersebut sampai meragukan bahwa Tuhan sebenarnya sudah hadir untuk menolong mereka.

Ada 2 alasan mengapa kita sulit merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita:

Pertama, karena kita belum mengenal-Nya dengan benar. Murid-murid menyangka mereka melihat hantu sampai mereka teriak-teriak ketakutan. Kekuatiran menutupi iman mereka padahal mereka baru saja melihat Yesus membuat mujizat dengan memberi makan lebih dari 5000 orang (Mrk. 6:52). Tidak heran, keluar pengakuan dari mulut mereka, “sesungguhnya Engkau Anak Allah (ay. 33)” Mereka baru saja benar-benar menyadari siapakah Guru mereka ini. Apakah saudara sudah mengenal Tuhan dengan benar? Kenallah Dia dengan benar melalui firman-Nya!
Kedua, karena kita belum mengakui kuasa-Nya. Petrus meragukan kehadiran Tuhan sehingga ia membutuhkan pembuktian. Tuhan membuktikan dengan kuasa mengijinkan Petrus merasakan bagaimana bisa berjalan di atas air. Tetapi kekuatiran belum juga jauh dari diri Petrus sehingga ia mulai tenggelam. Belajar dari Petrus, kita perlu sekali mengakui bahwa Tuhan memiliki kuasa untuk menolong kita keluar dari masalah kita. Tetapi Ia tidak akan membabi buta menolong kita bila itu tidak akan memuliakan nama-Nya. Karena itu, poin pertama yaitu pengenalan yang benar akan Tuhan sangat penting untuk menolong kita memahami rencana dan waktunya kuasa Tuhan bekerja.

Kenallah Tuhan melalui firman-Nya sehingga saudara dapat mengakui kuasa-Nya yang bekerja sesuai waktunya Tuhan.

Tuesday, November 27, 2007

Mengejar kekudusan di pelabuhan kasih karunia Allah

Matius 22:36-39; Yakobus 2:8-10; Ibrani 12:14
Seringkali kita diajak untuk mengejar kekudusan sebagai orang-orang yang sudah mengenal Tuhan, bahkan di dalam Alkitab sendiri, ajakan ini merupakan suatu perintah yang jelas sekali. Di dalam Ibrani 12:14, kata kejar di dalam mengejar kekudusan memiliki makna yang sangat kuat sekali, arti kata mengejar ini sama seperti keinginan yang kuat sekali untuk menganiaya, mencelakakan bahkan membinasakan (seperti kalau kita yang berani sama tikus akan mengejar tikus sampai dapat dan dipukul sama sapu sampai mati). Dengan kata lain, usaha mengejar kekudusan adalah satu usaha yang sangat dahsyat. Kejarlah kekudusan dengan seluruh upaya, tenaga dan usahamu!
Karena mengejar kekudusan suatu perintah, maka sudah menjadi suatu keharusan untuk selalu hidup dalam kekudusan. Tidak ada kompromi dengan dosa lagi melainkan harus yang ada di dalam pikiran dan hati untuk hidup kudus. Dengan demikian, usaha mengejar kekudusan harus dilakukan terus menerus, tidak boleh ada kemalasan, acuh tak acuh, atau komitmen setengah hati. Dengan kata lain, selalu dan selalu terus rindu mengikuti Tuhan!
Namun masalahnya adalah seringkali kita melakukan pengejaran kekudusan ini dengan kekuatan diri sendiri. Kita merasa mampu melakukannya sendiri. Namun seberapa mampu kita mengejar kekudusan? Seberapa kuat kita dapat berusaha? Seberapa lama kita dapat bertahan?Ketika orang-orang Farisi bertanya kepada Tuhan, “Guru, hukum mana yang terutama?” Dengan kata lain, “Guru, bagaimana kami dapat dikatakan kudus?” Tuhan berkata, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Totalitas hidupmu selalu untukku! Tidak boleh ada satu pun pelanggaran. Yakobus 2:10 berkata, “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.”
Kalau jawaban Yesus menjadi patokan bagi kekudusan kita, maka apakah kita sudah mampu mencapainya? Dan kalau kita tidak akan mampu mencapainya, apakah Yesus akan meringankan syaratnya? Kita tahu bahwa Yesus justru berkata di dalam Matius 5:48, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”Karena itu kalau bpk/ibu dan sdr2 serius di dalam mengejar kekudusan, maka seringkali kita akan stres, frustasi, merasa tidak layak, rasa bersalah, kecewa, dan putus asa ketika kita jatuh lagi dan jatuh lagi dalam dosa. Memang perasaan-perasaan ini bisa membantu kita untuk bangkit lagi namun percaya atau tidak, biasanya hanya bersifat sementara. Ada banyak orang Kristen yang tertekan dengan kebiasaan2 buruk yang sulit sekali dihilangkan. Pikiran2 lama yang kotor atau penuh kebencian/dendam yang sulit sekali dilupakan. Kalau sudah demikian, bagaimana kita seharusnya mengejar kekudusan? Apakah kita mampu mengikuti Yesus yang sempurna itu?
Mampu! Tapi bukan dengan usaha kita sendiri. Bpk/ibu dan sdr2 yang dikasihi Tuhan, mengejar kekudusan memang adalah suatu usaha manusia yang dituntut oleh Allah, namun usaha kita akan menemui halangan, frustasi dan putus asa kalau kita tidak berlabuh di dalam kasih karunia Tuhan. Kita tidak akan mampu mengejar kekudusan dengan usaha/kinerja kita semata. Penghayatan akan kasih Kristus di dalam hidup kita akan memotivasi kita seumur hidup!Kita harus ingat dan percaya bahwa ketika kita percaya kepada Tuhan dan tinggal di dalam Tuhan, maka firman Tuhan katakan di dalam Roma 8:1, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” Darah Kristus dia atas kayu salib sudah membuat kita sempurna di mata Allah. Yesus sudah menjadi wakil kita yang sempurna di hadapan Bapa di Sorga (berita sepanjang kitab Ibrani). Jadi, ketika dikatakan, sempurnalah kamu seperti Bapamu yang di Sorga adalah sempurna, maka kita sebenarnya yang ada di dalam Tuhan sudah sempurna (kita seperti seorang pelari yang berlari di sebuah gelanggang olahraga. Kita berlari bukan untuk mendapatkan kemenangan, tetapi kita berlari untuk menggenapkan kemenangan).
Jadi, ketika kita jatuh ke dalam dosa dan kita minta ampun kepada Tuhan dengan sungguh2, kita pasti akan mendapatkan pengampunan tersebut. Tidak heran Paulus berkata di dalam Roma 5:20-21, “Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah, supaya, sama seperti dosa berkuasa dalam alam maut, demikian kasih karunia akan berkuasa oleh kebenaran untuk hidup yang kekal, oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.”
Tetapi mungkin bpk/ibu dan sdr2 bertanya, kalau begitu enak yah jadi orang Kristen. Kita berbuat dosa saja sebanyak-banyaknya, toh ketika kita minta ampun sama Tuhan, Tuhan pasti ampuni kita. Atau dengan kata lain, ngapain susah2 kejar kekudusan, kalau toh Tuhan pasti mengampuni kita.
Pemahaman ini sebenarnya sudah diantisipasi Paulus ketika dia mengungkapkan Roma 5:20-21. Paulus mencegah orang-orang memandang rendah kasih karunia Allah. Karena itu dia berkata dalam Roma 6:1-4, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya? Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.”
Lalu diulang lagi oleh Paulus agar pemahaman ini jelas di ayat 15-16, “Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak! Apakah kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk mentaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati, baik dalam dosa yang memimpin kamu kepada kematian, maupun dalam ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran?” (bdk. Gal 5:13, “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”).
Jadi, tidak mungkin orang yang sudah ada di dalam kasih karunia Tuhan akan senang dengan kubangan dosa, menikmati dosa itu bahkan merancangkan dosa di dalam hidupnya. Tidak mungkin orang yang sudah ada di dalam kasih karunia Tuhan tidak menyiapkan strategi/strategi atau usaha-usaha untuk melawan dosa/kebiasaannya yang buruk. Tentu ada dorongan yang kuat untuk melawan dosa dan membuang kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Pergumulan melawan kedagingan adalah pergumulan seumur hidup, namun kita dapat mengecilkan pengaruh dosa/kedagingan tersebut dengan pertolongan kasih karunia Tuhan yang dikerjakan Roh Kudus di dalam hidup kita.
Mari kita selalu berlabuh di dalam kasih karunia Tuhan dengan menghayati pengorbanan Yesus di atas kayu salib! Penghayatan akan anugerah Tuhan di dalam hidup kita akan membuat kita kembali bangkit dari kejatuhan kita karena Tuhan sudah mengampuni dosa kita. Penghayatan akan anugerah Tuhan juga akan mencegah kesombongan diri kita karena kita tahu bahwa ketika kita bisa menjaga kekudusan, itu semua semata karena Roh Kudus yang bekerja di dalam diri kita.
Kita rindu untuk hidup kudus karena kasih kita kepada Tuhan, bukan lagi karena takut dihukum. Saudara mau hidup kudus dengan selalu merendahkan diri di hadapan Tuhan?

Friday, November 9, 2007

Alkitab Sebagai Dasar Mutlak Pemberitaan

Galatia 1:11-24

Ketegasan akan jabatan kerasulan yang sudah tidak ada lagi di dalam kekristenan saat ini sudah dengan gamblang dibahas beberapa hari ini. Dan dengan gamblang pula dijelaskan bahwa fungsi/karunia kerasulan masih berjalan sampai saat ini dalam bentuk pengajaran yang sehat dan benar akan firman Tuhan.

Masalahnya, seringkali di dalam pengajaran (bagi pendidik/ pengajar/hamba-hamba Tuhan) atau pendalaman kita secara pribadi (Saat teduh bagi jemaat), kita lebih banyak mempengaruhi Alkitab dengan pengalaman, sejarah, atau tradisi kita dibandingkan dengan yang seharusnya terjadi yaitu, Alkitab yang mempengaruhi kehidupan kita. Dengan kata lain, Alkitab seharusnya dijadikan dasar/acuan segala sesuatu, bukan sekedar menjadi “keset” rohani yang dicocok-cocokkan dengan pengalaman, sejarah, atau tradisi kita, hanya semata-mata untuk mensahkan kepentingan pribadi kita.

Ini sangat penting sekali kita pegang di dalam hidup kita sehingga Alkitab/firman Tuhanlah yang menjadi dasar berpijak kita di dalam menjalani hidup ini.
Bagaimana kita menjaga otoritas firman Tuhan di dalam kehidupan kita? Rasul Paulus menyatakan bahwa dirinya sebagai Rasul dipercayakan tanggung jawab untuk menjaga otoritas firman ini. Baginya, pengajaran firman Tuhan harus pengajaran yang sehat yang dinyatakan Tuhan kepada dirinya. Paulus merindukan kita untuk mengikuti ajarannya (2Tim. 1:13). Karena itu, Alkitab yang sudah dikanon oleh Bapa-bapa gereja sudah menjadi penyataan Allah yang cukup menjelaskan kepada kita akan Tuhan, tanpa perlu penambahan atau pengurangan dimanapun (Ul. 4:2; 12:32; Why. 22:18-19).

Karena itu, baik pendidik, pengajar, hamba-hamba Tuhan yang dipercayakan pemberitaan firman, maka kita harus selalu setia kepada Alkitab saja sebagai dasar pemberitaan yang mutlak. Bagi setiap jemaat yang merenungkan firman Tuhan, maka mari kita menggumuli firman Tuhan dengan suatu bimbingan dari pendidik, pengajar, atau hamba-hamba Tuhan.

Rendahkanlah dirimu di hadapan kebenaran firman-Nya!

Thursday, November 1, 2007

KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (8)

KESIMPULAN

Di dalam Roma 8:19-23, sebuah misteri sedikit dibukakan oleh Paulus mengenai pengharapan yang berskala kosmik yaitu bagi seluruh ciptaan (animate and inanimate), bukan hanya untuk orang-orang percaya.[1] Seluruh ciptaan mendapat bagian di dalam penebusan anak-anak Allah. Dengan kata lain, seluruh ciptaan menerima pula penebusan yang Kristus kerjakan di atas kayu salib. Penebusan yang penuh pengharapan ini hanya akan terwujud secara sempurna ketika orang-orang percaya dimuliakan pada saat Tuhan Yesus datang kedua kalinya.

Penebusan yang bersifat kosmik ini dipersiapkan Allah ketika melihat Adam jatuh ke dalam dosa, yang membawa kepada kehancuran (Kej. 12-Why. 22). Kehancuran ini berdampak kepada seluruh ciptaan, dengan menarik seluruh ciptaan ke dalam keputusasaan dan kebinasaan. Seluruh ciptaan bersama-sama dengan orang percaya mengeluh dan menderita seperti ibu yang sakit bersalin. D. Martyn Lloyd-Jones menuliskan perhatiannya yang mendalam dengan berkata:

I wonder whether the phenomenon of the spring supplies us with a part answer. Nature every year, as it were, makes an effort to renew itself, to produce something permanent; it has come out of the death and the darkness of all that is so true of the winter. In the spring it seems to be trying to produce a perfect creation, to be going through some kind of birth-pangs year by year. But unfortunately it does not succeed, for spring leads only to summer, whereas summer leads to autumn, and autumn to winter. Poor old nature tries every year to defeat the “vanity,” the principle of death and decay and disintegration that is in it. But it cannot do so. It fails every time. It still goes on trying, as if it feels things should be different and better; but it never succeed. So it goes on “groaning and travailing in pain together until now.” It has been doing so for a very long time . . . but nature still repeats the effort annually.[2]

Dosa manusia tersebut membawa kehancuran yang terekapitulasi sampai kepada seluruh ciptaan, tanpa kecuali. Rekapitulasi dosa ini merupakan perwujudan solidaritas antara manusia dengan seluruh ciptaan. Namun demikian, seluruh ciptaan dapat menerima akibat dosa Adam—kesia-siaan dan kebinasaan—karena ada pribadi yang menaklukkannya. Seluruh ciptaan tidak dapat menaklukkan dirinya sendiri, berbeda dengan Adam yang dapat menjatuhkan pilihannya untuk melanggar perintah Tuhan. Allah yang menaklukkan seluruh ciptaan kepada kesia-siaan dan kebinasaan karena manusia yang jatuh ke dalam dosa.

Namun, Allah tidak tinggal diam melihat hasil ciptaan-Nya hancur dan menjadi milik Setan. Allah melalui rencana penebusan-Nya akan merebut kembali seluruh milik kepunyaan-Nya—kerajaan-Nya. Allah menggunakan salib Kristus untuk merekonsiliasi segala sesuatu kepada diri-Nya sendiri, baik itu segala sesuatu yang ada di bumi dan di sorga, sehingga segala sesuatu tersebut dapat bersama-sama di bawah satu kepala, yaitu Yesus (Ef. 1:9-10; Kol. 1:19-20). Dengan kata lain, kalau seluruh ciptaan menerima dampak dosa manusia sehingga membawa mereka kepada kesia-siaan dan kebinasaan, maka penebusan yang diperoleh oleh manusia pun membawa dampak bagi seluruh ciptaan, karena penantian pengharapan seluruh ciptaan bergantung kepada penebusan tubuh dari orang-orang percaya[3]. Michael E. Wittmer menjelaskan posisi manusia dengan mengatakan:

We humans are the bull’s-eye of God’s grace, the target of his redemption. But through salvation begins with us, the God who redeems us does not want us to keep redemption to ourselves. He wants us to share his grace with the rest of creation, redeeming society, the animal kingdom, and even the earth itself.

Kesia-siaan dan kebinasaan yang dialami oleh seluruh ciptaan dan manusia hanya sementara sifatnya karena ketika anak-anak Allah dimuliakan yaitu di dalam tubuh kebangkitan, penebusan yang sempurna akan terjadi. Sedangkan bagi seluruh ciptaan, mereka akan diubahkan menjadi langit dan bumi yang baru sebagai tempat yang layak bagi tubuh yang baru dari manusia. “Tubuh kebangkitan” dari seluruh ciptaan adalah keharmonisan dan keteraturan kembali sama seperti awal penciptaan, bahkan jauh lebih indah.

So, pelihara dah bumi ini! God bless!


[1]Cornelius Pantinga, Jr. berpendapat dunia ini tidak dibagi menjadi dua area yaitu area rohani dan sekuler, di mana penebusan hanya berlaku kepada area rohani. Dunia ini adalah utuh milik Allah, di mana dunia ini sudah jatuh dan perlu untuk ditebus—every last person, place, organization, and program; all “rocks and trees and skies and seas” (Engaging God’s World [Grand Rapids: Eerdmans, 2002] 96).
[2]Romans (Grand Rapids: Zondervan, 1980) 6.59-60.
[3]Kebergantungan seluruh ciptaan kepada pemuliaan orang percaya seharusnya tidak menjadi alasan bagi orang percaya untuk menggantikan ketuhanan Kristus atas seluruh ciptaan. Ketuhanan Kristus kepada seluruh ciptaan adalah bersifat langsung dan segera (direct and immediate), tidak perlu dimediasi oleh orang-orang percaya. Bolt berkata, “The consolation of believers, the confirmation of their sonship in the face of suffering, the certainty of their hope, all depends directly on Christ’s immediate lordship over the creation. The final glorious affirmation of Romans 8 that nothing in all creation can separate believers from God’s love in Christ depends fully on the immediate and direct lordship of Jesus Christ over creation, over the ‘principalities and powers’” (“The Relation” 45; penekanan oleh pengarang). Carl. F. H. Henry berkata, “God made the universe through him and for him, and God redeems the universe through him. . . . All the fulness of the Godhead has its permanent abode in him alone (Col. 1:19); it is not distributed among a host of mediators. The cosmos, disordered and alienated from God through the rebellion and persistent disobedience of man, is restored to its true harmony through the act of sacrifice by which Christ makes atonement for sin. Similarly, in 1 Timothy Paul emphasizes both that there is but one God—‘not a lower creator God and a higher savior God’ as the Gnostics taught—and but ‘one mediator between God and men, the man Christ Jesus, who gave himself a ransom of all’ (2:5-6)” (“God, Revelation and Authority: God Who Speaks and Shows [Wheaton: Crossway, 1979] 60).

KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (7)

Ayat 21

Ada dua dimensi yang dimiliki oleh kata “kemerdekaan,” yaitu dimensi negatif dan positif. Dimensi negatif yaitu kemerdekaan dari perbudakan kebinasaan jelas berbicara tentang kemerdekan dari dosa (Rm. 6:18, 22) dan hukum (Rm. 7:3; 8:2) yang mempersatukan keduanya sebagai bagian dari periode Adam. Lingkaran kematian yang menjadi karakteristik ciptaan akan berakhir pada saatnya nanti (lih. Kol. 3:4; 1Yoh. 3:2). Sedangkan dimensi positifnya, ciptaan akan masuk ke dalam kemerdekaan anak-anak Allah.

Pengulangan kata kemerdekaan menunjukkan bahwa, pemenuhan keselamatan yang total bagi seluruh ciptaan, hanya terjadi dengan dan hanya karena anak-anak Allah dimuliakan. Pada zaman sekarang, kemerdekaan yang dijanjikan belum sempurna, terkait dengan penderitaan, dosa dan kematian yang masih terjadi. Kemerdekaan akan sempurna ketika Allah menyempurnakan tujuan-Nya di dalam memahkotai manusia dengan kemuliaan (pemahaman doxa[1]; Mzm. 8:6; bdk. secara khusus 4 Ezra 7:96-98).[2]

Pemahaman Paulus mengenai penebusan bagi seluruh ciptaan dapat ditemui juga di dalam tulisan apokaliptik Yahudi.[3] Di dalam tulisan apokaliptik Yahudi, penebusan kepada ciptaan diasosiasikan dengan eskatologi orang percaya, sama seperti kerusakan seluruh ciptaan diasosiasikan dengan dosa manusia. Seluruh ciptaan akan dimuliakan ketika manusia menjadi sempurna dan taat kepada kehendak Allah. Setelah orang-orang tidak percaya dimasukkan ke dalam hukuman kekal dan orang-orang percaya memperoleh hidup kekal, seluruh alam ciptaan Tuhan akan berfungsi kembali secara harmonis (Jubilee; Book of Parables 2; 4 Ezra; 2Bar.; Apocalypse of Moses).[4]

Namun, tidak hanya tulisan apokaliptik Yahudi yang mempengaruhi Paulus. Kitab-kitab PL khususnya Mazmur dan Yesaya, lebih mempengaruhi pemikiran Paulus—sesuai dengan latar belakang Paulus sebagai orang Farisi. Di dalam kisah Nuh—setelah air bah—Allah membuat perjanjian dengan seluruh ciptaan yang ada di bumi ini (Kej. 9:8-12, 16). Perjanjian Nuh ini merupakan perjanjian yang kekal, sehingga di dalam jangkauan dan waktunya bersifat kosmik.[5] Tidak hanya itu, Yesaya 65-66 menceritakan bagaimana Allah menjanjikan pembaharuan bagi langit dan bumi, di mana manusia yang memiliki tubuh yang baru akan tinggal di lingkungan yang layak baginya (bdk. Im. 26:3-6; Mzm. 85:10-13; Yes. 54:9-10; Yer. 31:35-36; 33:20-25; Yeh. 34:25-31; Hos. 2:21-23).[6]

Melalui penjelasan di atas, jelas bahwa seluruh ciptaan (kosmos) itu sendiri harus ditebus, dengan menantikan anak-anak Allah dimuliakan, agar manusia yang telah ditebus dapat memiliki lingkungan yang sesuai dengannya.

Ayat 22

Bagian ayat 22 sepertinya kembali kepada tema di dalam ayat 19 mengenai penantian seluruh ciptaan kepada penyelamatan. Kata “sebab kita tahu” sekali lagi (lih. 2:2; 3:19; 7:14; 8:28) menunjukkan bahwa Paulus mengemukakan pandangan yang sudah umum dipahami di kalangan orang-orang Kristen, maupun mereka yang berada di dalam diaspora, khususnya dari tulisan apokaliptik Yahudi yang berkembang pada waktu itu. Apa yang menjadi pemahaman dari komunitas di atas adalah ciptaan berada di dalam masalah.

Kata groaning together hanya dipakai pada ayat ini.[7] Arti dasar dari kata ini mengekspresikan tekanan jiwa yang dalam; hasil respon dari keadaan yang tidak diinginkan. Seluruh ciptaan mengeluh akibat ditaklukkan kepada kesia-siaan dan kebinasaan, hasil dari kutukan kejatuhan manusia (ay. 20-21).[8] Namun, keluhan ini bukan keluhan yang hanya berfokus kepada kebebasan dari kebinasaan, melainkan kepada pengharapan yang pasti, yang telah dijanjikan.

Tidak jauh berbeda dengan kata groaning together, kata to give birth hanya didapati pada bagian ini saja. Pemahaman kata ini sangat berhubungan erat dengan kata groaning together yang menunjukkan tangisan atau ratapan seorang wanita yang akan melahirkan. Metafora sakit bersalin ini menunjukkan suatu periode penderitaan yang akan segera berakhir untuk memperoleh sesuatu hal yang baru. Hahne menyebutnya sebagai a bipolar metaphor yang mengkombinasikan penderitaan dan hasil masa depan yang positif. Lebih jelasnya, Hahne memberikan dua dimensi pemahaman bagi masing-masing metafora. Bagian penderitaan dapat diartikan kepada kesakitan yang konstan, bergumul dan menderita; dan penderitaan yang terus berlanjut untuk periode tertentu. Bagian hasil masa depan yang positif dapat diartikan kepada sukacita masa depan, yang sangat kontras dengan kesakitan; dan kehidupan baru atau keadaan yang jauh lebih baik dan mulia daripada masa sekarang. Gambaran di atas dirasakan memiliki nuansa eskatologi yang sangat kuat, di dalam tulisan Yahudi (Yes. 13:8; 21:3; 26:17-18; 66:7-8; Yer. 4:31; 2:23; Hos. 13:13; 1QH 3:7-18), maupun tulisan apokaliptik dan rabinik Yahudi (1 Enoch 62:4; 4 Ezra 10:6-16), dan PB (Mrk. 13:8; Kis. 2:24; 1Tes. 5:3; Why. 12:2).

Banyak penafsir yang melihat nuansa eskatologi yang kuat tersebut membawa kepada konsep Paulus mengenai penderitaan kosmik di dalam Roma 8:20-22 sama dengan konsep birth pangs of the Messiah[9] (BPM) yang ada di dalam PL dan literatur Yahudi. Baik Roma 8:20-22 dan ayat-ayat BPM mengacu kepada bencana kosmik eskatologikal yang mendahului zaman baru yang mulia. Namun ada perbedaan yang cukup signifikan dari kedua bagian ini, yaitu:[10]
Pertama, di dalam ayat-ayat BPM, masa tribulasi dari kosmik hanya dalam suatu jangka waktu yang pendek sebelum kedatangan Mesias. Kontras di dalam Roma 8:20-22, seluruh ciptaan menderita sejak kejatuhan manusia sampai akhir zaman. Frasa “sampai sekarang” (ay. 22) menjelaskan bahwa penderitaan dan keluhan ciptaan berlanjut terus untuk jangka waktu yang lama—sejak kejatuhan manusia. Pemakaian frasa ini di bagian PB yang lain (satu-satunya) adalah di dalam Filipi 1:5, yang berarti “right up to the present time.” Arti ini ingin menunjukkan bahwa penderitaan yang dialami ciptaan bukan pencobaan eskatologi yang meningkat yang tepat terjadi sebelum akhir zaman. Tepatnya, penderitaan ini merupakan karakteristik zaman sekarang dan akan berlanjut terus sampai orang-orang percaya dimuliakan (ay. 21).

Kedua, pada sebagian besar ayat-ayat PL dan BPM rabinik, fokus penderitaan lebih kepada manusia dibandingkan kepada ciptaan.[11] Tulisan apokaliptik Yahudi lebih mengarah kepada penderitaan ciptaan, tetapi maksud arahan tersebut tetap kembali kepada penderitaan manusia.

Ketiga, di dalam ayat-ayat tulisan Yahudi, masa tribulasi merupakan bagian dari proses kedatangan Mesias, konsep yang kurang jelas di dalam Roma 8 dan tidak terlalu dikembangkan di dalam PL.

Berdasarkan ketiga perbedaan di atas, konsep Paulus mengenai kosmos yang mengeluh dan sakit bersalin memang tidak sepenuhnya sama dengan BPM, namun demikian tidak dapat dipungkiri ada keterkaitan yang erat ketika berbicara mengenai pergulatan kosmik (cosmic travail).

Ayat 23

Pada ayat 19-22, Paulus menggambarkan kerinduan dan penderitaan yang dialami oleh seluruh ciptaan. Pada ayat 23 ini, Paulus ingin menunjukkan bagaimana orang-orang percaya memiliki kerinduan yang sama. Transisi yang dibuat Paulus, dari ciptaan kepada orang-orang percaya, melalui penggambaran “mengeluh,” “dan bukan hanya mereka [ciptaan yang sama-sama mengeluh] saja, tetapi kita [sendiri][12]. . . juga mengeluh”). Dengan mengatakan bahwa orang–orang percaya mengeluh “dalam hati mereka,” keluhan ini bukan di dalam bentuk verbal yang diucapkan, melainkan yang dirasakan di dalam diri seseorang, melalui tindakan-tindakan. Tindakan ini tidak melibatkan kecemasan mengenai benar atau tidaknya janji penebusan Allah yang sempurna—sebagaimana Paulus tidak memberikan peluang sedikitpun terhadap keraguan akan janji Tuhan (ay. 28-30)—tetapi perasaan tidak puas pada moral dan keadaan fisik yang menjadi bagian antara periode pembenaran dan pemuliaan (lih. 2Kor. 5:2, 4) dan penantian akan masa akhir dari keadaan yang “lemah” ini.

Paulus menggambarkan bahwa setiap orang yang menantikan kemuliaan yang akan datang adalah orang yang memiliki karunia sulung Roh. Kata “karunia sulung” ini menyatukan baik permulaan proses dan hubungan yang tidak tergoyahkan antara permulaan dan akhirnya. Ketika kata ini dimaksudkan dengan Roh Kudus, maka kata ini ingin menunjukkan bahwa karya penebusan Allah yang eskatologi sudah dimulai dan terus berjalan sampai tahap kulminasi nanti. Roh tersebut adalah permulaan penetapan (first installment) akan keselamatan dan jaminan (down payment) yang akan menjaga setiap orang percaya untuk tetap di dalam imannya. Roh tersebut berfungsi untuk menyatukan dua keadaan (already—not yet) eskatologi di mana orang-orang percaya dan seluruh ciptaan sedang “terjebak” di dalamnya. Already, melalui kehadiran Roh Allah yang membawa orang percaya kepada zaman baru; tetapi kenyataan bahwa Roh tersebut hanya “karunia sulung” membuat orang percaya sedih karena belum waktunya (not yet) terbebas dari penderitaan dan dari nikmatnya zaman baru.
Mengapa orang-orang percaya mengeluh? Karena mereka menantikan pengadopsian—pengadopsian menjadi anak-anak Allah (bdk. 8:14-16). Pengadopsian sebagai anak-anak Allah yang belum sempurna itu menantikan kesempurnaannya di dalam pembebasan tubuh orang-orang percaya (the redemption of our bodies). Gambaran pembebasan ini adalah seperti seseorang yang membayar lunas tebusan seorang tawanan dari perbudakan. Penggambaran ini yang digambarkan Alkitab di dalam diri Yesus Kristus yang telah mati di atas kayu salib untuk membayar lunas semua dosa-dosa seluruh dunia. Secara status, setiap orang yang beriman kepada Tuhan akan dibenarkan dan diadopsi menjadi anak-anak Allah. Namun, bila berbicara mengenai manusia dengan perwujudannya secara fisik—sōma as the embodiment of the person[13]—setiap orang percaya belum layak dan sesuai dengan statusnya sebagai anak Allah. Tubuh lama yang dikenakan sekarang adalah tubuh yang masih di dalam pergulatan dosa dan kedagingan. Karena itu, tubuh materi ini perlu untuk ditebus agar menjadi tempat yang layak bagi manusia baru di sorga kelak.

[1]Pemikiran baik di dalam Yudaisme dan PL bahwa kemuliaan eskatologi akan membawa orang-orang percaya dan seluruh ciptaan menjadi ciptaan yang baru (transfigurasi), meskipun adalah hal yang baru (Rm. 8:18, 21; 1Kor. 15:43; 2Kor. 3:18; 4:17; Flp. 3:21; Kol. 3:4; 1Ptr. 5:1), namun konsep ini sebenarnya sudah diantisipasi di dalam Yesaya 66:19, 22 (S. Aalen, “doxa” dalam NIDNTT 2.44).
[2]Pemahkotaan terhadap manusia hendaknya tidak diasosiasikan dengan konsep antropologi Paulus, yang kemudian memfokuskan kembali kepada penebusan yang hanya bersifat antropologis. Pengasosiasian ini akan mengabaikan pemaparan konsep soteriologi dan eskatologi Paulus di dalam Roma 8:19-22 yang mencakup dimensi kosmik (lih. konklusi John Bolt, “The Relation Between Creation and Redemption in Romans 8:18-27,” CTJ 30/1 [April 1995] 48-51; kontra A. Vögtle, “Röm 8, 19-22: eine schöpfungstheologie oder anthropologisch-soteriologische Aussage?” dalam Me,langes bibliques in hommage au be,da Rigaux [Duculot, 1970] 351-366 yang dikutip [dan disetujui] Moo, The Epistle 517).
[3]Paulus sering memakai terminologi-terminologi apokaliptik Yahudi seperti murka (orgē), kematian (thanatos), kebenaran (dikaiosynē), penghukuman (krisis), dan konflik antara dua zaman (aiōn). Keduanya didominasi oleh penantian panjang dan kerinduan yang amat sangat akan kerajaan Mesias. Keduanya saling membagikan hubungan antara masa lalu Israel dan pengharapan akan janji Allah (Calvin J. Roetzel, The Letters of Paul [Louisville: Westminster John Knox, 1998] 44).
[4]Hahne, Paul’s 7. Meskipun Paulus sering menggunakan simbol-simbol apokaliptik Yahudi bagi pemikirannya, hal ini tidak berarti Paulus menggunakan tulisan apokaliptik sebagai gaya sastranya atau memperlakukan tulisan apokaliptik sebagai sumber utamanya. Paulus sekedar mengambil motif dari tulisan apokaliptik. Paulus “meminjam” beberapa pemahaman dari tulisan apokaliptik untuk menuliskan injil apokaliptiknya, tetapi dia memodifikasinya karena perjumpaannya dengan Tuhan dan karena ada tradisi kekristenan yang mempengaruhinya (J. Christiaan Beker, The Triumph of God [tr. Loren T. Stuckenbruck; Minneapolis: Fortress, 1990] 19-20).
[5]Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Leicester: InterVarsity, 2004) 133.
[6]Lihat John R. W. Stott, The Message of Romans (BST; Leicester: InterVarsity, 1994) 240.
[7]Moo, The Epistle 518 dan Hahne, The Birth 6. Hahne memberikan tiga dimensi dari pemahaman groaning yaitu: (1) seluruh ciptaan mengeluh sambil menantikan keselamatan dari perbudakan kebinasaan (ay. 22); (2) orang-orang percaya mengeluh sambil menantikan penebusan tubuh mereka (ay. 23; bdk. 2Kor. 5:2, 4); dan (3) Roh mengeluh di dalam membantu orang-orang percaya (ay. 26). Struktur yang sangat teratur ini menekankan solidaritas antara orang-orang percaya dan seluruh ciptaan. Keduanya mengeluh untuk menantikan keselamatan yang sempurna dari kerusakan dunia ini. Sedangkan Roh membantu penantian orang-orang percaya, khususnya di dalam doa-doa mereka.
[8]Karl Barth, The Epistle to the Romans (tr. Edwyn C. Hoskyns; London: Oxford University Press, 1968) 310 kehilangan konteks perikop ini ketika mengatakan bahwa keluhan atau ratapan yang terjadi adalah karena ada yang sengaja menciptakannya (sama dengan pendapat Clarence J. Glacken, Traces on the Rhodian Shore, Nature, and Culture in Western Thought from Ancient Times to the End of the Eighteenth Century [Berkeley: University of California Press, 1967] 163 yang dikutip dari Hahne, The Birth 6 yang mengatakan bahwa keluhan atau ratapan itu adalah bagian dari rencana Allah untuk alam semesta ini dan tidak berhubungan dengan dosa).
[9]Artinya adalah suatu periode akan bencana dan penderitaan kosmik pada zaman akhir yang berfungsi sebagai prelude (pendahuluan) akan kedatangan Mesias (1QH 3:7-18; 1 Enoch 62:4; 4 Ezra 16:37-39; Tg. Ps. 18:4; Tg. 2Sam. 22:5; Midr. Ps. 18:4). Bencana kosmik ini merupakan konsekuensi dari bertambahnya dosa yang manusia perbuat (Hahne, The Birth 10).
[10]Hahne, The Birth 10-11.
[11]Contoh: Yesaya 26:17; 66:8; Yer. 4:31; Hos. 13:13; Mi. 4:9-10; 1 Enoch 62:4; Tg. Ps. 18:4.
[12]LAI kurang memberikan penekanan kepada kata “kita.”
[13]Dunn, The Theology 56. Kata soma dipakai di dalam surat Paulus sebanyak 91 kali, dengan pengertian yang beragam. Ukuran yang biasa dipakai oleh Paulus untuk memakai kata ini, selain tubuh secara fisik, adalah analogi jemaat, khususnya jemaat Kristus (Rm. 12:4-5; 1Kor. 10:16-17; 12:12-27). Analogi tubuh Kristus ini digambarkan di dalam bentuk kosmik dan kesatuan di bawah satu kepala, yaitu Tuhan Yesus sendiri (Ef. 1:23; 2:16; 4:4, 12-16; 5:23; Kol. 1:18, 24; 2:19; 3:15) (L. J. Kreitzer, “Body” dalam Dictionary of Paul 71). Menurut Dunn, kata soma (man’s bodily participation in and with his environment) berbeda dengan kata sarx (man’s belonging to and dependence on that environment and its society). Menurutnya, soma ditransformasikan menjadi baru di mana transformasi ini juga terjadi pada seluruh ciptaan (1Kor. 15:44; Flp. 3:21) (Romans 475). Kata soma memiliki konsep relasional, di mana keberadaan manusia—tidak sekedar fisik, melainkan pribadi—memiliki relasi dengan lingkungan di sekitarnya, dan sebaliknya. Bersama-sama dengan lingkungan ini (seluruh ciptaan), manusia—orang percaya—sedang menantikan penebusan tubuh. Menurut Dunn, “sōma gives Paul’s theology an unavoidably social and ecological dimension” (The Theology 61).