We can be 'speciesists' and show compassion for animals.
In a recent post on Her.meneutics, the Christianity Today women's blog, Saddleback Church's Kay Warren shared the story of being emotionally duped, then angered, by a heart-tugging television ad about suffering animals. As someone who has seen Rwandan children orphaned by hiv and surviving on dirt cookies, Warren urged readers to remember the chasm between humans and animals, and the respective dignity that chasm confers. "Only people have a spiritual dimension," she wrote. "Jesus didn't die for animals; he gave his all for human beings."
Warren's post received many thankful "amens." Her frustration resonates with many Christians who are concerned with appeals for animal compassion when so much callousness toward human suffering persists. Such concern is rooted in both Scripture's witness and the intuitive knowledge that, while animals and all of non-human creation are not disposable, neither do they have the same worth as humankind. It was the first human's nostrils into which God, in an embarrassingly intimate act, breathed life; it was the human patriarchs and their families whom God called into covenant relationship; when God chose Mary, a Jewish teenager in a backwater of the Roman Empire, it was human flesh he chose to take on. And though Paul writes in Romans 8 that God will usher the entire creation into freedom in the age to come, he also says that humans alone were chosen "before the creation of the world to be holy and blameless … to be adopted as his sons through Jesus Christ" (Eph. 1:4-5).
Given the highlights of God's story of redemption, Christians cannot help being a bit speciesist, a term coined by psychologist Richard D. Ryder for "the widespread discrimination … practiced by man against other species" and popularized by Princeton philosopher Peter Singer.
But while Christians happily acknowledge the charge, we misstep when we brush off animal cruelty with nonchalance. Showing animal compassion does not de facto assign animals the same worth as humans. It merely acknowledges that animals have worth and dignity—something plainly assumed in biblical passages like Exodus 21-22:14 and Deuteronomy 25, which outline upright ways to handle livestock, and Proverbs 12:10, which praises the righteous man who "cares for the needs of his animal." The church has traditionally interpreted Isaiah 65's well-known apocalyptic imagery of lions and lambs not as a cozy metaphor of human community, but as a picture of fully restored creation, people and animals. And while Luke 12:6's five sparrows sold for two cents usually refer to God's sovereign care for us in our daily lives, it's remarkable that those five sparrows aren't forgotten by God, but are part of his sovereign care as well.
Instead of leading us down dangerous paths toward secular humanism, animal compassion becomes part of our privileged role as custodians of the creatures in which God delights. In fact, C. S. Lewis, who wrestled in many essays with the seeming senselessness of animal suffering, argued that it was precisely because humans are higher than animals in creation's hierarchy that they should oppose animal cruelty. Our very superiority to animals, he said, ought to motivate us "to prove ourselves better than the beasts precisely by the fact of acknowledging duties to them which they do not acknowledge to us."
When we hear about dogs being hanged or drowned for not performing well in dogfighting rings, or about legitimate hunting turning into mere slaughter, or when livestock are killed in ways that prolong their suffering, what usually erupts in us is an adamant no! We do well to pay attention to that no!, because it tells us that something has gone horribly wrong with the world, something Christians believe traces back to man's enmity with God.No! is also our response, of course, when 8-year-olds are forced to prostitute themselves on Cambodian streets, or a doctor admits to having aborted a child one day before he was due. But we need not worry that our no! about cruelty to animals will lessen our response to wrong done to humans.
Compassion is not a zero-sum game. Compassion begets more compassion, though channeled into different responses and for different ends. The most famous evangelical animal activist, William Wilberforce, publicly opposed bull-baiting (a spectator sport where dogs attack bulls) and co-founded the first animal welfare group out of the same vision for Christ's kingdom that led him to support public Sabbath observance, fund evangelism to Indians, and work to overthrow the British slave trade, among countless other initiatives.
It's our recognition of Christ's reign over all things—even the sparrows—that compels us to proclaim our no! about animal cruelty in the public square, and to make our yes! about the worth and dignity of all God's creatures a joyful witness to his coming kingdom.
Diambil dari A Christianity Today editorial | posted 7/13/2009 10:33AM
Showing posts with label Teologi dan Lingkungan. Show all posts
Showing posts with label Teologi dan Lingkungan. Show all posts
Tuesday, July 14, 2009
Tuesday, January 29, 2008
Warning 4 us!
Tahun 2040: 2000 pulau tenggelam
Mungkin Anda menduga, udara yang akhir-akhir ini makin panas, bukanlahsuatu masalah yang perlu kita risaukan. "Mana mungkin sih tindakan satu-dua makhluk hidup di jagat semesta bisa mengganggu kondisi planet bumi yang mahabesar ini?" barangkali begitulah Anda berpikir.
Baru-baru ini, Inter-governmental Panel on Cimate Change (IPCC) mempublikasikan hasil pengamatan ilmuwan dari berbagai negara. Isinya sangat mengejutkan. Selama tahun 1990-2005, ternyata telah terjadi peningkatan suhu merata di seluruh bagian bumi, antara 0,15 - 0,3o C. Jika peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (33 tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh. Dan jika bumi masih terus memanas, pada tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di seantero jagat. Udara akan sangat panas, jutaan orang berebut air dan makanan. Napas tersengal oleh asap dan debu. Rumah-rumah dipesisir terendam air laut. Luapan air laut makin lama makin luas, sehingga akhirnya menelan seluruh pulau. Harta benda akan lenyap, begitu pula nyawa manusia.
Di Indonesia, gejala serupa sudah terjadi. Sepanjang tahun 1980-2002, suhu minimum kota Polonia (Sumatera Utara) meningkat 0,17o C per tahun. Sementara, Denpasar mengalami peningkatan suhu maksimum hingga 0,87 o C pertahun. Tanda yang kasat mata adalah menghilangnya salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu Gunung Jayawijaya di Papua. Hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung (2007), pun tak kalah mengerikan. Ternyata, permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm. Jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan, pada tahun 2050 daerah-daerah di Jakarta (seperti : Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing) dan Bekasi (seperti : Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya) akan terendam semuanya.
Dengan adanya gejala ini, sebagai warga negara kepulauan, sudah seharusnya kita khawatir. Pasalnya, pemanasan global mengancam kedaulatan negara. Es yang meleleh di kutub-kutub mengalir ke laut lepas dan menyebabkan permukaan laut bumi - termasuk laut di seputar Indonesia - terus meningkat. Pulau-pulau kecil terluar kita bisa lenyap dari peta bumi, sehingga garis kedaulatan negara bisa menyusut. Dan diperkirakan dalam 30 tahun mendatang sekitar 2000 pulau di Indonesia akan tenggelam. Bukan hanya itu, jutaan orang yang tinggal di pesisir pulau kecil pun akan kehilangan tempat tinggal.
Begitu pula asset-asset usaha wisata pantai. Peneliti senior dari Center for International Forestry Research (CIFOR), menjelaskan, pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (disebut juga gelombang panas / inframerah) yang dipancarkan bumi oleh gas-gas rumah kaca (efek rumah kaca adalah istilah untuk panas yang terperangkap di dalam atmosfer bumi dan tidak bisa menyebar). Gas-gas ini secara alami terdapat di udara (atmosfer). Penipisan lapisan ozon juga memperpanas suhu bumi. Karena, makin tipis lapisan-lapisan teratas atmosfer, makin leluasa radiasi gelombang pendek matahari (termasuk ultraviolet) memasuki bumi. Pada gilirannya, radiasi gelombang pendek ini juga berubah menjadi gelombang panas, sehingga kian meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca tadi.
Karbondioksida (CO2) adalah gas terbanyak (75%) penyumbang emisi gas rumah kaca. Setiap kali kita menggunakan bahan bakarfosil (minyak, bensin, gas alam, batubara) untuk keperluan rumah tangga, mobil, pabrik, ataupun membakar hutan, otomatis kita melepaskan CO2 ke udara. Gas lain yang juga masuk peringkat atas adalah metan (CH4,18%), ozone (O3,12%), dan clorofluorocarbon (CFC,14%). Gas metan banyak dihasilkan dari proses pembusukan materi organic seperti yang banyak terjadi di peternakan sapi. Gas metan juga dihasilkan dari penggunaan BBM untuk kendaraan. Sementara itu, emisi gas CFC banyak timbul dari sistem kerja kulkas dan AC model lama. Bersama gas-gas lain, uap air ikut meningkatkan suhu rumah kaca. Gejala sangat kentara dari pemanasan global adalah berubahnya iklim. Contohnya, hujan deras masih sering datang, meski kini kita sudah memasuki bulan yang seharusnya sudah terhitung musim kemarau. Menurut perkiraan, dalam 30 tahun terakhir, pergantian musim kemarau ke musim hujan terus bergeser, dan kini jaraknya berselisih nyaris sebulan dari normal.
Banyak orang menganggap, banjir besar bulan Februari lalu yang merendam lebih dari separuh DKI Jakarta adalah akibat dari pemanasan global saja. Padahal 35% rusaknya hutan kota dan hutan di Puncak adalah penyebab makin panasnya udara Jakarta. Itu sebabnya, kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya menjadi masalah warga Indonesia , melainkan juga warga dunia. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengatakan, Indonesia pantas malu karena telah menjadi Negara terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi permukiman atau hutan industri). Jika kita tidak bisa menyelamatkan mulai dari sekarang, 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10 tahun lagi hutan Kalimantan yang habis, 15 tahun lagi hutan diseluruh Indonesia tak tersisa. Di saat itu, anak-anak kita tak lagi bisa menghirup udara bersih. Jika kita tidak secepatnya berhenti boros energi, bumi akan sepanas planet Mars. Tak akan ada satupun makhluk hidup yang bisa bertahan, termasuk anak-anak kita nanti.
Cara-cara praktis dan sederhana 'mendinginkan' bumi :
1. Matikan listrik. (jika tidak digunakan, jangan tinggalkan alat elektronik dalam keadaan standby. Cabut charger telp. genggam dari stop kontak. Meski listrik tak mengeluarkan emisi karbon, pembangkit listrik PLN menggunakan bahan bakar fosil penyumbang besar emisi).
2. Ganti bohlam lampu ke jenis CFL, sesuai daya listrik. Meski harganya agak mahal, lampu ini lebih hemat listrik dan awet).
3. Bersihkan lampu (debu bisa mengurangi tingkat penerangan hingga 5%).
4. Jika terpaksa memakai AC....Tutup pintu dan jendela selama AC menyala. Atur suhu sejuk secukupnya, sekitar 21-24o C).
5. Gunakan timer (untuk AC, microwave, oven, magic jar, dll).
6. Alihkan panas limbah mesin AC untuk mengoperasikan water-heater.
7. Tanam pohon di lingkungan sekitar Anda.
8. Jemur pakaian di luar. Angin dan panas matahari lebih baik ketimbang memakai mesin (dryer) yang banyak mengeluarkan emisi karbon.
9. Gunakan kendaraan umum (untuk mengurangi polusi udara).
10. Hemat penggunaan kertas (bahan bakunya berasal dari kayu).
11. Say no to plastic. Hampir semua sampah plastic menghasilkan gas berbahaya ketika dibakar. Atau Anda juga dapat membantu mengumpulkannya untuk didaur ulang kembali.
12. Sebarkan berita ini kepada orang-orang di sekitar Anda, agar mereka turut berperan serta dalam menyelamatkan bumi.
May Jesus Christ help us to do our part!
Thursday, November 1, 2007
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (8)
KESIMPULAN
Di dalam Roma 8:19-23, sebuah misteri sedikit dibukakan oleh Paulus mengenai pengharapan yang berskala kosmik yaitu bagi seluruh ciptaan (animate and inanimate), bukan hanya untuk orang-orang percaya.[1] Seluruh ciptaan mendapat bagian di dalam penebusan anak-anak Allah. Dengan kata lain, seluruh ciptaan menerima pula penebusan yang Kristus kerjakan di atas kayu salib. Penebusan yang penuh pengharapan ini hanya akan terwujud secara sempurna ketika orang-orang percaya dimuliakan pada saat Tuhan Yesus datang kedua kalinya.
Penebusan yang bersifat kosmik ini dipersiapkan Allah ketika melihat Adam jatuh ke dalam dosa, yang membawa kepada kehancuran (Kej. 12-Why. 22). Kehancuran ini berdampak kepada seluruh ciptaan, dengan menarik seluruh ciptaan ke dalam keputusasaan dan kebinasaan. Seluruh ciptaan bersama-sama dengan orang percaya mengeluh dan menderita seperti ibu yang sakit bersalin. D. Martyn Lloyd-Jones menuliskan perhatiannya yang mendalam dengan berkata:
I wonder whether the phenomenon of the spring supplies us with a part answer. Nature every year, as it were, makes an effort to renew itself, to produce something permanent; it has come out of the death and the darkness of all that is so true of the winter. In the spring it seems to be trying to produce a perfect creation, to be going through some kind of birth-pangs year by year. But unfortunately it does not succeed, for spring leads only to summer, whereas summer leads to autumn, and autumn to winter. Poor old nature tries every year to defeat the “vanity,” the principle of death and decay and disintegration that is in it. But it cannot do so. It fails every time. It still goes on trying, as if it feels things should be different and better; but it never succeed. So it goes on “groaning and travailing in pain together until now.” It has been doing so for a very long time . . . but nature still repeats the effort annually.[2]
Dosa manusia tersebut membawa kehancuran yang terekapitulasi sampai kepada seluruh ciptaan, tanpa kecuali. Rekapitulasi dosa ini merupakan perwujudan solidaritas antara manusia dengan seluruh ciptaan. Namun demikian, seluruh ciptaan dapat menerima akibat dosa Adam—kesia-siaan dan kebinasaan—karena ada pribadi yang menaklukkannya. Seluruh ciptaan tidak dapat menaklukkan dirinya sendiri, berbeda dengan Adam yang dapat menjatuhkan pilihannya untuk melanggar perintah Tuhan. Allah yang menaklukkan seluruh ciptaan kepada kesia-siaan dan kebinasaan karena manusia yang jatuh ke dalam dosa.
Namun, Allah tidak tinggal diam melihat hasil ciptaan-Nya hancur dan menjadi milik Setan. Allah melalui rencana penebusan-Nya akan merebut kembali seluruh milik kepunyaan-Nya—kerajaan-Nya. Allah menggunakan salib Kristus untuk merekonsiliasi segala sesuatu kepada diri-Nya sendiri, baik itu segala sesuatu yang ada di bumi dan di sorga, sehingga segala sesuatu tersebut dapat bersama-sama di bawah satu kepala, yaitu Yesus (Ef. 1:9-10; Kol. 1:19-20). Dengan kata lain, kalau seluruh ciptaan menerima dampak dosa manusia sehingga membawa mereka kepada kesia-siaan dan kebinasaan, maka penebusan yang diperoleh oleh manusia pun membawa dampak bagi seluruh ciptaan, karena penantian pengharapan seluruh ciptaan bergantung kepada penebusan tubuh dari orang-orang percaya[3]. Michael E. Wittmer menjelaskan posisi manusia dengan mengatakan:
We humans are the bull’s-eye of God’s grace, the target of his redemption. But through salvation begins with us, the God who redeems us does not want us to keep redemption to ourselves. He wants us to share his grace with the rest of creation, redeeming society, the animal kingdom, and even the earth itself.
Kesia-siaan dan kebinasaan yang dialami oleh seluruh ciptaan dan manusia hanya sementara sifatnya karena ketika anak-anak Allah dimuliakan yaitu di dalam tubuh kebangkitan, penebusan yang sempurna akan terjadi. Sedangkan bagi seluruh ciptaan, mereka akan diubahkan menjadi langit dan bumi yang baru sebagai tempat yang layak bagi tubuh yang baru dari manusia. “Tubuh kebangkitan” dari seluruh ciptaan adalah keharmonisan dan keteraturan kembali sama seperti awal penciptaan, bahkan jauh lebih indah.
So, pelihara dah bumi ini! God bless!
[1]Cornelius Pantinga, Jr. berpendapat dunia ini tidak dibagi menjadi dua area yaitu area rohani dan sekuler, di mana penebusan hanya berlaku kepada area rohani. Dunia ini adalah utuh milik Allah, di mana dunia ini sudah jatuh dan perlu untuk ditebus—every last person, place, organization, and program; all “rocks and trees and skies and seas” (Engaging God’s World [Grand Rapids: Eerdmans, 2002] 96).
[2]Romans (Grand Rapids: Zondervan, 1980) 6.59-60.
[3]Kebergantungan seluruh ciptaan kepada pemuliaan orang percaya seharusnya tidak menjadi alasan bagi orang percaya untuk menggantikan ketuhanan Kristus atas seluruh ciptaan. Ketuhanan Kristus kepada seluruh ciptaan adalah bersifat langsung dan segera (direct and immediate), tidak perlu dimediasi oleh orang-orang percaya. Bolt berkata, “The consolation of believers, the confirmation of their sonship in the face of suffering, the certainty of their hope, all depends directly on Christ’s immediate lordship over the creation. The final glorious affirmation of Romans 8 that nothing in all creation can separate believers from God’s love in Christ depends fully on the immediate and direct lordship of Jesus Christ over creation, over the ‘principalities and powers’” (“The Relation” 45; penekanan oleh pengarang). Carl. F. H. Henry berkata, “God made the universe through him and for him, and God redeems the universe through him. . . . All the fulness of the Godhead has its permanent abode in him alone (Col. 1:19); it is not distributed among a host of mediators. The cosmos, disordered and alienated from God through the rebellion and persistent disobedience of man, is restored to its true harmony through the act of sacrifice by which Christ makes atonement for sin. Similarly, in 1 Timothy Paul emphasizes both that there is but one God—‘not a lower creator God and a higher savior God’ as the Gnostics taught—and but ‘one mediator between God and men, the man Christ Jesus, who gave himself a ransom of all’ (2:5-6)” (“God, Revelation and Authority: God Who Speaks and Shows [Wheaton: Crossway, 1979] 60).
Di dalam Roma 8:19-23, sebuah misteri sedikit dibukakan oleh Paulus mengenai pengharapan yang berskala kosmik yaitu bagi seluruh ciptaan (animate and inanimate), bukan hanya untuk orang-orang percaya.[1] Seluruh ciptaan mendapat bagian di dalam penebusan anak-anak Allah. Dengan kata lain, seluruh ciptaan menerima pula penebusan yang Kristus kerjakan di atas kayu salib. Penebusan yang penuh pengharapan ini hanya akan terwujud secara sempurna ketika orang-orang percaya dimuliakan pada saat Tuhan Yesus datang kedua kalinya.
Penebusan yang bersifat kosmik ini dipersiapkan Allah ketika melihat Adam jatuh ke dalam dosa, yang membawa kepada kehancuran (Kej. 12-Why. 22). Kehancuran ini berdampak kepada seluruh ciptaan, dengan menarik seluruh ciptaan ke dalam keputusasaan dan kebinasaan. Seluruh ciptaan bersama-sama dengan orang percaya mengeluh dan menderita seperti ibu yang sakit bersalin. D. Martyn Lloyd-Jones menuliskan perhatiannya yang mendalam dengan berkata:
I wonder whether the phenomenon of the spring supplies us with a part answer. Nature every year, as it were, makes an effort to renew itself, to produce something permanent; it has come out of the death and the darkness of all that is so true of the winter. In the spring it seems to be trying to produce a perfect creation, to be going through some kind of birth-pangs year by year. But unfortunately it does not succeed, for spring leads only to summer, whereas summer leads to autumn, and autumn to winter. Poor old nature tries every year to defeat the “vanity,” the principle of death and decay and disintegration that is in it. But it cannot do so. It fails every time. It still goes on trying, as if it feels things should be different and better; but it never succeed. So it goes on “groaning and travailing in pain together until now.” It has been doing so for a very long time . . . but nature still repeats the effort annually.[2]
Dosa manusia tersebut membawa kehancuran yang terekapitulasi sampai kepada seluruh ciptaan, tanpa kecuali. Rekapitulasi dosa ini merupakan perwujudan solidaritas antara manusia dengan seluruh ciptaan. Namun demikian, seluruh ciptaan dapat menerima akibat dosa Adam—kesia-siaan dan kebinasaan—karena ada pribadi yang menaklukkannya. Seluruh ciptaan tidak dapat menaklukkan dirinya sendiri, berbeda dengan Adam yang dapat menjatuhkan pilihannya untuk melanggar perintah Tuhan. Allah yang menaklukkan seluruh ciptaan kepada kesia-siaan dan kebinasaan karena manusia yang jatuh ke dalam dosa.
Namun, Allah tidak tinggal diam melihat hasil ciptaan-Nya hancur dan menjadi milik Setan. Allah melalui rencana penebusan-Nya akan merebut kembali seluruh milik kepunyaan-Nya—kerajaan-Nya. Allah menggunakan salib Kristus untuk merekonsiliasi segala sesuatu kepada diri-Nya sendiri, baik itu segala sesuatu yang ada di bumi dan di sorga, sehingga segala sesuatu tersebut dapat bersama-sama di bawah satu kepala, yaitu Yesus (Ef. 1:9-10; Kol. 1:19-20). Dengan kata lain, kalau seluruh ciptaan menerima dampak dosa manusia sehingga membawa mereka kepada kesia-siaan dan kebinasaan, maka penebusan yang diperoleh oleh manusia pun membawa dampak bagi seluruh ciptaan, karena penantian pengharapan seluruh ciptaan bergantung kepada penebusan tubuh dari orang-orang percaya[3]. Michael E. Wittmer menjelaskan posisi manusia dengan mengatakan:
We humans are the bull’s-eye of God’s grace, the target of his redemption. But through salvation begins with us, the God who redeems us does not want us to keep redemption to ourselves. He wants us to share his grace with the rest of creation, redeeming society, the animal kingdom, and even the earth itself.
Kesia-siaan dan kebinasaan yang dialami oleh seluruh ciptaan dan manusia hanya sementara sifatnya karena ketika anak-anak Allah dimuliakan yaitu di dalam tubuh kebangkitan, penebusan yang sempurna akan terjadi. Sedangkan bagi seluruh ciptaan, mereka akan diubahkan menjadi langit dan bumi yang baru sebagai tempat yang layak bagi tubuh yang baru dari manusia. “Tubuh kebangkitan” dari seluruh ciptaan adalah keharmonisan dan keteraturan kembali sama seperti awal penciptaan, bahkan jauh lebih indah.
So, pelihara dah bumi ini! God bless!
[1]Cornelius Pantinga, Jr. berpendapat dunia ini tidak dibagi menjadi dua area yaitu area rohani dan sekuler, di mana penebusan hanya berlaku kepada area rohani. Dunia ini adalah utuh milik Allah, di mana dunia ini sudah jatuh dan perlu untuk ditebus—every last person, place, organization, and program; all “rocks and trees and skies and seas” (Engaging God’s World [Grand Rapids: Eerdmans, 2002] 96).
[2]Romans (Grand Rapids: Zondervan, 1980) 6.59-60.
[3]Kebergantungan seluruh ciptaan kepada pemuliaan orang percaya seharusnya tidak menjadi alasan bagi orang percaya untuk menggantikan ketuhanan Kristus atas seluruh ciptaan. Ketuhanan Kristus kepada seluruh ciptaan adalah bersifat langsung dan segera (direct and immediate), tidak perlu dimediasi oleh orang-orang percaya. Bolt berkata, “The consolation of believers, the confirmation of their sonship in the face of suffering, the certainty of their hope, all depends directly on Christ’s immediate lordship over the creation. The final glorious affirmation of Romans 8 that nothing in all creation can separate believers from God’s love in Christ depends fully on the immediate and direct lordship of Jesus Christ over creation, over the ‘principalities and powers’” (“The Relation” 45; penekanan oleh pengarang). Carl. F. H. Henry berkata, “God made the universe through him and for him, and God redeems the universe through him. . . . All the fulness of the Godhead has its permanent abode in him alone (Col. 1:19); it is not distributed among a host of mediators. The cosmos, disordered and alienated from God through the rebellion and persistent disobedience of man, is restored to its true harmony through the act of sacrifice by which Christ makes atonement for sin. Similarly, in 1 Timothy Paul emphasizes both that there is but one God—‘not a lower creator God and a higher savior God’ as the Gnostics taught—and but ‘one mediator between God and men, the man Christ Jesus, who gave himself a ransom of all’ (2:5-6)” (“God, Revelation and Authority: God Who Speaks and Shows [Wheaton: Crossway, 1979] 60).
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (7)
Ayat 21
Ada dua dimensi yang dimiliki oleh kata “kemerdekaan,” yaitu dimensi negatif dan positif. Dimensi negatif yaitu kemerdekaan dari perbudakan kebinasaan jelas berbicara tentang kemerdekan dari dosa (Rm. 6:18, 22) dan hukum (Rm. 7:3; 8:2) yang mempersatukan keduanya sebagai bagian dari periode Adam. Lingkaran kematian yang menjadi karakteristik ciptaan akan berakhir pada saatnya nanti (lih. Kol. 3:4; 1Yoh. 3:2). Sedangkan dimensi positifnya, ciptaan akan masuk ke dalam kemerdekaan anak-anak Allah.
Pengulangan kata kemerdekaan menunjukkan bahwa, pemenuhan keselamatan yang total bagi seluruh ciptaan, hanya terjadi dengan dan hanya karena anak-anak Allah dimuliakan. Pada zaman sekarang, kemerdekaan yang dijanjikan belum sempurna, terkait dengan penderitaan, dosa dan kematian yang masih terjadi. Kemerdekaan akan sempurna ketika Allah menyempurnakan tujuan-Nya di dalam memahkotai manusia dengan kemuliaan (pemahaman doxa[1]; Mzm. 8:6; bdk. secara khusus 4 Ezra 7:96-98).[2]
Pemahaman Paulus mengenai penebusan bagi seluruh ciptaan dapat ditemui juga di dalam tulisan apokaliptik Yahudi.[3] Di dalam tulisan apokaliptik Yahudi, penebusan kepada ciptaan diasosiasikan dengan eskatologi orang percaya, sama seperti kerusakan seluruh ciptaan diasosiasikan dengan dosa manusia. Seluruh ciptaan akan dimuliakan ketika manusia menjadi sempurna dan taat kepada kehendak Allah. Setelah orang-orang tidak percaya dimasukkan ke dalam hukuman kekal dan orang-orang percaya memperoleh hidup kekal, seluruh alam ciptaan Tuhan akan berfungsi kembali secara harmonis (Jubilee; Book of Parables 2; 4 Ezra; 2Bar.; Apocalypse of Moses).[4]
Namun, tidak hanya tulisan apokaliptik Yahudi yang mempengaruhi Paulus. Kitab-kitab PL khususnya Mazmur dan Yesaya, lebih mempengaruhi pemikiran Paulus—sesuai dengan latar belakang Paulus sebagai orang Farisi. Di dalam kisah Nuh—setelah air bah—Allah membuat perjanjian dengan seluruh ciptaan yang ada di bumi ini (Kej. 9:8-12, 16). Perjanjian Nuh ini merupakan perjanjian yang kekal, sehingga di dalam jangkauan dan waktunya bersifat kosmik.[5] Tidak hanya itu, Yesaya 65-66 menceritakan bagaimana Allah menjanjikan pembaharuan bagi langit dan bumi, di mana manusia yang memiliki tubuh yang baru akan tinggal di lingkungan yang layak baginya (bdk. Im. 26:3-6; Mzm. 85:10-13; Yes. 54:9-10; Yer. 31:35-36; 33:20-25; Yeh. 34:25-31; Hos. 2:21-23).[6]
Melalui penjelasan di atas, jelas bahwa seluruh ciptaan (kosmos) itu sendiri harus ditebus, dengan menantikan anak-anak Allah dimuliakan, agar manusia yang telah ditebus dapat memiliki lingkungan yang sesuai dengannya.
Ayat 22
Bagian ayat 22 sepertinya kembali kepada tema di dalam ayat 19 mengenai penantian seluruh ciptaan kepada penyelamatan. Kata “sebab kita tahu” sekali lagi (lih. 2:2; 3:19; 7:14; 8:28) menunjukkan bahwa Paulus mengemukakan pandangan yang sudah umum dipahami di kalangan orang-orang Kristen, maupun mereka yang berada di dalam diaspora, khususnya dari tulisan apokaliptik Yahudi yang berkembang pada waktu itu. Apa yang menjadi pemahaman dari komunitas di atas adalah ciptaan berada di dalam masalah.
Kata groaning together hanya dipakai pada ayat ini.[7] Arti dasar dari kata ini mengekspresikan tekanan jiwa yang dalam; hasil respon dari keadaan yang tidak diinginkan. Seluruh ciptaan mengeluh akibat ditaklukkan kepada kesia-siaan dan kebinasaan, hasil dari kutukan kejatuhan manusia (ay. 20-21).[8] Namun, keluhan ini bukan keluhan yang hanya berfokus kepada kebebasan dari kebinasaan, melainkan kepada pengharapan yang pasti, yang telah dijanjikan.
Tidak jauh berbeda dengan kata groaning together, kata to give birth hanya didapati pada bagian ini saja. Pemahaman kata ini sangat berhubungan erat dengan kata groaning together yang menunjukkan tangisan atau ratapan seorang wanita yang akan melahirkan. Metafora sakit bersalin ini menunjukkan suatu periode penderitaan yang akan segera berakhir untuk memperoleh sesuatu hal yang baru. Hahne menyebutnya sebagai a bipolar metaphor yang mengkombinasikan penderitaan dan hasil masa depan yang positif. Lebih jelasnya, Hahne memberikan dua dimensi pemahaman bagi masing-masing metafora. Bagian penderitaan dapat diartikan kepada kesakitan yang konstan, bergumul dan menderita; dan penderitaan yang terus berlanjut untuk periode tertentu. Bagian hasil masa depan yang positif dapat diartikan kepada sukacita masa depan, yang sangat kontras dengan kesakitan; dan kehidupan baru atau keadaan yang jauh lebih baik dan mulia daripada masa sekarang. Gambaran di atas dirasakan memiliki nuansa eskatologi yang sangat kuat, di dalam tulisan Yahudi (Yes. 13:8; 21:3; 26:17-18; 66:7-8; Yer. 4:31; 2:23; Hos. 13:13; 1QH 3:7-18), maupun tulisan apokaliptik dan rabinik Yahudi (1 Enoch 62:4; 4 Ezra 10:6-16), dan PB (Mrk. 13:8; Kis. 2:24; 1Tes. 5:3; Why. 12:2).
Banyak penafsir yang melihat nuansa eskatologi yang kuat tersebut membawa kepada konsep Paulus mengenai penderitaan kosmik di dalam Roma 8:20-22 sama dengan konsep birth pangs of the Messiah[9] (BPM) yang ada di dalam PL dan literatur Yahudi. Baik Roma 8:20-22 dan ayat-ayat BPM mengacu kepada bencana kosmik eskatologikal yang mendahului zaman baru yang mulia. Namun ada perbedaan yang cukup signifikan dari kedua bagian ini, yaitu:[10]
Pertama, di dalam ayat-ayat BPM, masa tribulasi dari kosmik hanya dalam suatu jangka waktu yang pendek sebelum kedatangan Mesias. Kontras di dalam Roma 8:20-22, seluruh ciptaan menderita sejak kejatuhan manusia sampai akhir zaman. Frasa “sampai sekarang” (ay. 22) menjelaskan bahwa penderitaan dan keluhan ciptaan berlanjut terus untuk jangka waktu yang lama—sejak kejatuhan manusia. Pemakaian frasa ini di bagian PB yang lain (satu-satunya) adalah di dalam Filipi 1:5, yang berarti “right up to the present time.” Arti ini ingin menunjukkan bahwa penderitaan yang dialami ciptaan bukan pencobaan eskatologi yang meningkat yang tepat terjadi sebelum akhir zaman. Tepatnya, penderitaan ini merupakan karakteristik zaman sekarang dan akan berlanjut terus sampai orang-orang percaya dimuliakan (ay. 21).
Kedua, pada sebagian besar ayat-ayat PL dan BPM rabinik, fokus penderitaan lebih kepada manusia dibandingkan kepada ciptaan.[11] Tulisan apokaliptik Yahudi lebih mengarah kepada penderitaan ciptaan, tetapi maksud arahan tersebut tetap kembali kepada penderitaan manusia.
Ketiga, di dalam ayat-ayat tulisan Yahudi, masa tribulasi merupakan bagian dari proses kedatangan Mesias, konsep yang kurang jelas di dalam Roma 8 dan tidak terlalu dikembangkan di dalam PL.
Berdasarkan ketiga perbedaan di atas, konsep Paulus mengenai kosmos yang mengeluh dan sakit bersalin memang tidak sepenuhnya sama dengan BPM, namun demikian tidak dapat dipungkiri ada keterkaitan yang erat ketika berbicara mengenai pergulatan kosmik (cosmic travail).
Ayat 23
Pada ayat 19-22, Paulus menggambarkan kerinduan dan penderitaan yang dialami oleh seluruh ciptaan. Pada ayat 23 ini, Paulus ingin menunjukkan bagaimana orang-orang percaya memiliki kerinduan yang sama. Transisi yang dibuat Paulus, dari ciptaan kepada orang-orang percaya, melalui penggambaran “mengeluh,” “dan bukan hanya mereka [ciptaan yang sama-sama mengeluh] saja, tetapi kita [sendiri][12]. . . juga mengeluh”). Dengan mengatakan bahwa orang–orang percaya mengeluh “dalam hati mereka,” keluhan ini bukan di dalam bentuk verbal yang diucapkan, melainkan yang dirasakan di dalam diri seseorang, melalui tindakan-tindakan. Tindakan ini tidak melibatkan kecemasan mengenai benar atau tidaknya janji penebusan Allah yang sempurna—sebagaimana Paulus tidak memberikan peluang sedikitpun terhadap keraguan akan janji Tuhan (ay. 28-30)—tetapi perasaan tidak puas pada moral dan keadaan fisik yang menjadi bagian antara periode pembenaran dan pemuliaan (lih. 2Kor. 5:2, 4) dan penantian akan masa akhir dari keadaan yang “lemah” ini.
Paulus menggambarkan bahwa setiap orang yang menantikan kemuliaan yang akan datang adalah orang yang memiliki karunia sulung Roh. Kata “karunia sulung” ini menyatukan baik permulaan proses dan hubungan yang tidak tergoyahkan antara permulaan dan akhirnya. Ketika kata ini dimaksudkan dengan Roh Kudus, maka kata ini ingin menunjukkan bahwa karya penebusan Allah yang eskatologi sudah dimulai dan terus berjalan sampai tahap kulminasi nanti. Roh tersebut adalah permulaan penetapan (first installment) akan keselamatan dan jaminan (down payment) yang akan menjaga setiap orang percaya untuk tetap di dalam imannya. Roh tersebut berfungsi untuk menyatukan dua keadaan (already—not yet) eskatologi di mana orang-orang percaya dan seluruh ciptaan sedang “terjebak” di dalamnya. Already, melalui kehadiran Roh Allah yang membawa orang percaya kepada zaman baru; tetapi kenyataan bahwa Roh tersebut hanya “karunia sulung” membuat orang percaya sedih karena belum waktunya (not yet) terbebas dari penderitaan dan dari nikmatnya zaman baru.
Mengapa orang-orang percaya mengeluh? Karena mereka menantikan pengadopsian—pengadopsian menjadi anak-anak Allah (bdk. 8:14-16). Pengadopsian sebagai anak-anak Allah yang belum sempurna itu menantikan kesempurnaannya di dalam pembebasan tubuh orang-orang percaya (the redemption of our bodies). Gambaran pembebasan ini adalah seperti seseorang yang membayar lunas tebusan seorang tawanan dari perbudakan. Penggambaran ini yang digambarkan Alkitab di dalam diri Yesus Kristus yang telah mati di atas kayu salib untuk membayar lunas semua dosa-dosa seluruh dunia. Secara status, setiap orang yang beriman kepada Tuhan akan dibenarkan dan diadopsi menjadi anak-anak Allah. Namun, bila berbicara mengenai manusia dengan perwujudannya secara fisik—sōma as the embodiment of the person[13]—setiap orang percaya belum layak dan sesuai dengan statusnya sebagai anak Allah. Tubuh lama yang dikenakan sekarang adalah tubuh yang masih di dalam pergulatan dosa dan kedagingan. Karena itu, tubuh materi ini perlu untuk ditebus agar menjadi tempat yang layak bagi manusia baru di sorga kelak.
[1]Pemikiran baik di dalam Yudaisme dan PL bahwa kemuliaan eskatologi akan membawa orang-orang percaya dan seluruh ciptaan menjadi ciptaan yang baru (transfigurasi), meskipun adalah hal yang baru (Rm. 8:18, 21; 1Kor. 15:43; 2Kor. 3:18; 4:17; Flp. 3:21; Kol. 3:4; 1Ptr. 5:1), namun konsep ini sebenarnya sudah diantisipasi di dalam Yesaya 66:19, 22 (S. Aalen, “doxa” dalam NIDNTT 2.44).
[2]Pemahkotaan terhadap manusia hendaknya tidak diasosiasikan dengan konsep antropologi Paulus, yang kemudian memfokuskan kembali kepada penebusan yang hanya bersifat antropologis. Pengasosiasian ini akan mengabaikan pemaparan konsep soteriologi dan eskatologi Paulus di dalam Roma 8:19-22 yang mencakup dimensi kosmik (lih. konklusi John Bolt, “The Relation Between Creation and Redemption in Romans 8:18-27,” CTJ 30/1 [April 1995] 48-51; kontra A. Vögtle, “Röm 8, 19-22: eine schöpfungstheologie oder anthropologisch-soteriologische Aussage?” dalam Me,langes bibliques in hommage au be,da Rigaux [Duculot, 1970] 351-366 yang dikutip [dan disetujui] Moo, The Epistle 517).
[3]Paulus sering memakai terminologi-terminologi apokaliptik Yahudi seperti murka (orgē), kematian (thanatos), kebenaran (dikaiosynē), penghukuman (krisis), dan konflik antara dua zaman (aiōn). Keduanya didominasi oleh penantian panjang dan kerinduan yang amat sangat akan kerajaan Mesias. Keduanya saling membagikan hubungan antara masa lalu Israel dan pengharapan akan janji Allah (Calvin J. Roetzel, The Letters of Paul [Louisville: Westminster John Knox, 1998] 44).
[4]Hahne, Paul’s 7. Meskipun Paulus sering menggunakan simbol-simbol apokaliptik Yahudi bagi pemikirannya, hal ini tidak berarti Paulus menggunakan tulisan apokaliptik sebagai gaya sastranya atau memperlakukan tulisan apokaliptik sebagai sumber utamanya. Paulus sekedar mengambil motif dari tulisan apokaliptik. Paulus “meminjam” beberapa pemahaman dari tulisan apokaliptik untuk menuliskan injil apokaliptiknya, tetapi dia memodifikasinya karena perjumpaannya dengan Tuhan dan karena ada tradisi kekristenan yang mempengaruhinya (J. Christiaan Beker, The Triumph of God [tr. Loren T. Stuckenbruck; Minneapolis: Fortress, 1990] 19-20).
[5]Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Leicester: InterVarsity, 2004) 133.
[6]Lihat John R. W. Stott, The Message of Romans (BST; Leicester: InterVarsity, 1994) 240.
[7]Moo, The Epistle 518 dan Hahne, The Birth 6. Hahne memberikan tiga dimensi dari pemahaman groaning yaitu: (1) seluruh ciptaan mengeluh sambil menantikan keselamatan dari perbudakan kebinasaan (ay. 22); (2) orang-orang percaya mengeluh sambil menantikan penebusan tubuh mereka (ay. 23; bdk. 2Kor. 5:2, 4); dan (3) Roh mengeluh di dalam membantu orang-orang percaya (ay. 26). Struktur yang sangat teratur ini menekankan solidaritas antara orang-orang percaya dan seluruh ciptaan. Keduanya mengeluh untuk menantikan keselamatan yang sempurna dari kerusakan dunia ini. Sedangkan Roh membantu penantian orang-orang percaya, khususnya di dalam doa-doa mereka.
[8]Karl Barth, The Epistle to the Romans (tr. Edwyn C. Hoskyns; London: Oxford University Press, 1968) 310 kehilangan konteks perikop ini ketika mengatakan bahwa keluhan atau ratapan yang terjadi adalah karena ada yang sengaja menciptakannya (sama dengan pendapat Clarence J. Glacken, Traces on the Rhodian Shore, Nature, and Culture in Western Thought from Ancient Times to the End of the Eighteenth Century [Berkeley: University of California Press, 1967] 163 yang dikutip dari Hahne, The Birth 6 yang mengatakan bahwa keluhan atau ratapan itu adalah bagian dari rencana Allah untuk alam semesta ini dan tidak berhubungan dengan dosa).
[9]Artinya adalah suatu periode akan bencana dan penderitaan kosmik pada zaman akhir yang berfungsi sebagai prelude (pendahuluan) akan kedatangan Mesias (1QH 3:7-18; 1 Enoch 62:4; 4 Ezra 16:37-39; Tg. Ps. 18:4; Tg. 2Sam. 22:5; Midr. Ps. 18:4). Bencana kosmik ini merupakan konsekuensi dari bertambahnya dosa yang manusia perbuat (Hahne, The Birth 10).
[10]Hahne, The Birth 10-11.
[11]Contoh: Yesaya 26:17; 66:8; Yer. 4:31; Hos. 13:13; Mi. 4:9-10; 1 Enoch 62:4; Tg. Ps. 18:4.
[12]LAI kurang memberikan penekanan kepada kata “kita.”
[13]Dunn, The Theology 56. Kata soma dipakai di dalam surat Paulus sebanyak 91 kali, dengan pengertian yang beragam. Ukuran yang biasa dipakai oleh Paulus untuk memakai kata ini, selain tubuh secara fisik, adalah analogi jemaat, khususnya jemaat Kristus (Rm. 12:4-5; 1Kor. 10:16-17; 12:12-27). Analogi tubuh Kristus ini digambarkan di dalam bentuk kosmik dan kesatuan di bawah satu kepala, yaitu Tuhan Yesus sendiri (Ef. 1:23; 2:16; 4:4, 12-16; 5:23; Kol. 1:18, 24; 2:19; 3:15) (L. J. Kreitzer, “Body” dalam Dictionary of Paul 71). Menurut Dunn, kata soma (man’s bodily participation in and with his environment) berbeda dengan kata sarx (man’s belonging to and dependence on that environment and its society). Menurutnya, soma ditransformasikan menjadi baru di mana transformasi ini juga terjadi pada seluruh ciptaan (1Kor. 15:44; Flp. 3:21) (Romans 475). Kata soma memiliki konsep relasional, di mana keberadaan manusia—tidak sekedar fisik, melainkan pribadi—memiliki relasi dengan lingkungan di sekitarnya, dan sebaliknya. Bersama-sama dengan lingkungan ini (seluruh ciptaan), manusia—orang percaya—sedang menantikan penebusan tubuh. Menurut Dunn, “sōma gives Paul’s theology an unavoidably social and ecological dimension” (The Theology 61).
Wednesday, October 31, 2007
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (6)
Refleksi KKR MISI
“Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup” (1Ptr. 3:10-11)
Bagian firman Tuhan ini sangat tepat sekali menutup ceramah dari seorang ahli Astronomi Indonesia dari ITB yang bernama DR. Iratius Radiman pada kesempatan ceramah KKR Misi di GIA Lengkong Besar Bandung pada tanggal 28 Oktober 2007. Dengan Tema Kesempatan Terakhir (dari gereja) dan Terang Pengharapan Anak-anak Allah—Roma 8:18-25 (dari beliau), saya menyimpulkan 5 hal:
(1) Allah, Pencipta langit dan bumi ini sungguh luar biasa menciptakan eksistensi jagat raya ini dan tentunya manusia. Ada bertriliyun-triliyun bintang dan galaksi di jagat raya ini. Ada bintang bernama Betelgense yang bisa dimuati matahari kita sebanyak 35 juta buah matahari. Bahkan, bintang v838 Monocerotis dapat memuat 125 juta matahari kita padahal matahari kita sendiri dapat diisi planet bumi buanyak sekali! Hebatnya lagi, bintang v838 Monocerotis ada bertriliyun-triliyun jumlahnya yang membentuk galaksi. Dan huebatnya lagi, galaksi pun sebenarnya ada bertriliyun-triliyun jumlahnya (beliau memberikan gambar-gambar bintang dan galaksi tersebut). Karena itulah tidak heran Pemazmur berkata, “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Mzm. 103:14) dan Kejadian 2:7, “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Man just a dust in the presence of the Lord! Tuhan yang menciptakan semuanya ini sungguh Maha. Merenungkan hal ini, saya semakin takjub akan kebesaran-Nya dan semakin harus menaklukkan diri dengan segala kerendahan hati di hadapan-Nya.
(2) Allah tidak meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Dengan bagian atmosfir yang tipis sekali (seperti ujung bolpoint) untuk melindungi dan memberikan kehidupan di bumi serta dengan kerak bumi yang tipis sekali (seperti kulit kentang) untuk melindungi kehidupan di permukaan bumi dari esensi bumi yang adalah the lake of fire (beliau mengatakan bahwa secara logika, bumi tidak layak dihuni karena merupakan bola api), maka bumi tetap bisa dihuni bahkan dipilih Tuhan untuk didiami oleh “debu” yang dikasihi-Nya. Hal ni sangat mungkin terjadi karena Tuhan yang menjadikannya. Tuhan yang memeliharanya. Dengan perbuatan Tuhan yang ajaib, cukup hanya dengan atmosfir yang tipis dan kerak bumi yang tipis, kehidupan manusia dan ciptaan lain di permukaan bumi tertopang. Amazing!
(3) Sayangnya dosa membuat bumi ini semakin hancur. Bumi semakin hancur akibat ulah manusia. Diperkirakan perang akan terjadi hanya akan memperebutkan air bersih. Penyakit semakin ganas dan bervariasi. Bahan makanan alami akan mengkhawatirkan. Bencana alam akan menjadi-jadi dan meluas. Intinya: Doomsday! Kehidupan sekarang kalau dibiarkan begini terus, maka semua hal di atas akan menjadi nyata ± tahun 2050 (42 tahun dari sekarang). Celakanya, justru kerusakan lingkungan pertama kali muncul karena revolusi di Inggris yang membabat hutan untuk tuang besi. Pada tahun 1987, manusia hanya perlu memenuhi makanannya sendiri (dengan bahan kimia) selama ½ bulan di mana 11½-tahunnya lagi dikonsumsi dari hasil bumi. Tahun 1990, menjadi 1 bulan. Tahun 1995 menjadi 1½ bulan. Tahun 2000 menjadi 2 bulan. Sekarang manusia harus mencari sendiri makanannya selama 3 bulan lamanya. Kalau hendak dipaksa, maka tanah akan berkata, “Oke tetapi ini adalah konsumsi tahun 2008.” Bagaimana jadinya nanti tahun 2008? Merenungkan hal ini, ada penatua yang bercanda, “segera menikah Guan!” Yap, saya ingin segera menikah, bahkan akan saya percepat jadwalnya (tetapi sayang tidak bisa). Atau merenungkan hal yang mengerikan ini, lebih baik segera wafat dan masuk surga yang mulia. Apakah saudara akan masih hidup 42 tahun lagi dan menjadi saksi sejarah kebenaran berita ini?
(4) Kelihatannya memang manusia sudah tidak ada harapan hidup di bumi yang semakin hancur ini. Peringatan Global Warming di mana-mana tetapi malah masih sebatas bincang-bincang padahal sudah dibutuhkan aksi yang revolusioner. NASA dan sekutunya bermimpi untuk mewujudkan koloni di Mars atau ruang angkasa yang tentunya belum akan terwujud dalam kurun waktu 50 tahun lagi. Merenungkan hal ini, saya berseru kepada Tuhan, “Tuhan, tidak ada harapan lagi bagi bumi. Kalau tidak ada harapan bagi bumi, maka manusia tidak akan memiliki harapan lagi karena manusia bergantung kepada bumi ini untuk kehidupannya. Bagaimana manusia harus hidup, Tuhan? Adakah harapan bagi manusia?” Sesuatu di hati saya tidak dapat menahan suara yang berkata, “Aku harapanmu! Aku harapan bagi manusia!” Yesus Kristus harapan manusia! Ini bukan klise! Alasannya: (a) Tuhan Yesus Kristus pemilik bumi ini, Dia berhak dan tahu apa yang dilakukan-Nya, (b) Rencana-Nya yang agung itu tidak dapat dibendung oleh usaha manusia (1Ptr. 3:10), (c) Keselamatan yang sejati bagi jiwa yang terancam hancur dan mengalami binasa yang kekal adalah dari Kristus saja! dan (d) Janji langit dan bumi yang baru berasal dari mulut Yang Mahakudus ini. Karena itu, harapan satu-satunya kepada kehidupan yang kekal setelah doomsday ini adalah hanya di dalam Kristus saja!
(5) Pengharapan yang tertuju kepada Kristus saja memang membuat pandangan kita kepada surga menjadi sangat jelas, tetapi tidak berarti pandangan yang jelas ini membuat kita bereuforia sehingga kita lupa berpijak di bumi yang merana ini dan melakukan mandat budaya di kehidupan kita. Kita perlu selalu sadar bahwa, dunia semakin hancur akibat ulah manusia (DR. Radiman mengakui bahwa sedikit sekali anak-anak Tuhan di bumi ini yang tentunya menjaga bumi dari segala kerusakan yang ditimbulkan umat manusia—yang menurut saya belum tentu anak-anak Tuhan yang ada menjaganya, jangan-jangan justru yang mengakibatkannya. Celaka orang Kristen!). Sudah seharusnya anak-anak Tuhan tidak lagi sembarangan lagi hidup, melainkan sungguh-sungguh hidup di dalam kekudusan (1Ptr. 3:11), menjalankan mandat Injili dan mandat budaya. Takutlah kepada Tuhan karena, “ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup. . . sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan” (Ibr. 10:31; 12:29)! Takutlah kepada Tuhan dengan berjanji, “Tuhan, aku takut melakukan dosa karena aku takut itu akan merusak relasiku dengan-Mu.” Jalankan mandat Injili kepada mereka yang belum memiliki pengharapan yang sejati di dalam Kristus! Terapkan mandat budaya mengingat kepada kesejahteraan umat manusia dan mengingat kepada Roma 8:19-25, di mana seluruh ciptaan pun adalah bagian ciptaan Tuhan yang menantikan hal yang sama seperti orang-orang percaya kelak nanti. They’re our fellowbrothers! (Francis Schaffer)
“Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup” (1Ptr. 3:10-11)
Bagian firman Tuhan ini sangat tepat sekali menutup ceramah dari seorang ahli Astronomi Indonesia dari ITB yang bernama DR. Iratius Radiman pada kesempatan ceramah KKR Misi di GIA Lengkong Besar Bandung pada tanggal 28 Oktober 2007. Dengan Tema Kesempatan Terakhir (dari gereja) dan Terang Pengharapan Anak-anak Allah—Roma 8:18-25 (dari beliau), saya menyimpulkan 5 hal:
(1) Allah, Pencipta langit dan bumi ini sungguh luar biasa menciptakan eksistensi jagat raya ini dan tentunya manusia. Ada bertriliyun-triliyun bintang dan galaksi di jagat raya ini. Ada bintang bernama Betelgense yang bisa dimuati matahari kita sebanyak 35 juta buah matahari. Bahkan, bintang v838 Monocerotis dapat memuat 125 juta matahari kita padahal matahari kita sendiri dapat diisi planet bumi buanyak sekali! Hebatnya lagi, bintang v838 Monocerotis ada bertriliyun-triliyun jumlahnya yang membentuk galaksi. Dan huebatnya lagi, galaksi pun sebenarnya ada bertriliyun-triliyun jumlahnya (beliau memberikan gambar-gambar bintang dan galaksi tersebut). Karena itulah tidak heran Pemazmur berkata, “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Mzm. 103:14) dan Kejadian 2:7, “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Man just a dust in the presence of the Lord! Tuhan yang menciptakan semuanya ini sungguh Maha. Merenungkan hal ini, saya semakin takjub akan kebesaran-Nya dan semakin harus menaklukkan diri dengan segala kerendahan hati di hadapan-Nya.
(2) Allah tidak meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Dengan bagian atmosfir yang tipis sekali (seperti ujung bolpoint) untuk melindungi dan memberikan kehidupan di bumi serta dengan kerak bumi yang tipis sekali (seperti kulit kentang) untuk melindungi kehidupan di permukaan bumi dari esensi bumi yang adalah the lake of fire (beliau mengatakan bahwa secara logika, bumi tidak layak dihuni karena merupakan bola api), maka bumi tetap bisa dihuni bahkan dipilih Tuhan untuk didiami oleh “debu” yang dikasihi-Nya. Hal ni sangat mungkin terjadi karena Tuhan yang menjadikannya. Tuhan yang memeliharanya. Dengan perbuatan Tuhan yang ajaib, cukup hanya dengan atmosfir yang tipis dan kerak bumi yang tipis, kehidupan manusia dan ciptaan lain di permukaan bumi tertopang. Amazing!
(3) Sayangnya dosa membuat bumi ini semakin hancur. Bumi semakin hancur akibat ulah manusia. Diperkirakan perang akan terjadi hanya akan memperebutkan air bersih. Penyakit semakin ganas dan bervariasi. Bahan makanan alami akan mengkhawatirkan. Bencana alam akan menjadi-jadi dan meluas. Intinya: Doomsday! Kehidupan sekarang kalau dibiarkan begini terus, maka semua hal di atas akan menjadi nyata ± tahun 2050 (42 tahun dari sekarang). Celakanya, justru kerusakan lingkungan pertama kali muncul karena revolusi di Inggris yang membabat hutan untuk tuang besi. Pada tahun 1987, manusia hanya perlu memenuhi makanannya sendiri (dengan bahan kimia) selama ½ bulan di mana 11½-tahunnya lagi dikonsumsi dari hasil bumi. Tahun 1990, menjadi 1 bulan. Tahun 1995 menjadi 1½ bulan. Tahun 2000 menjadi 2 bulan. Sekarang manusia harus mencari sendiri makanannya selama 3 bulan lamanya. Kalau hendak dipaksa, maka tanah akan berkata, “Oke tetapi ini adalah konsumsi tahun 2008.” Bagaimana jadinya nanti tahun 2008? Merenungkan hal ini, ada penatua yang bercanda, “segera menikah Guan!” Yap, saya ingin segera menikah, bahkan akan saya percepat jadwalnya (tetapi sayang tidak bisa). Atau merenungkan hal yang mengerikan ini, lebih baik segera wafat dan masuk surga yang mulia. Apakah saudara akan masih hidup 42 tahun lagi dan menjadi saksi sejarah kebenaran berita ini?
(4) Kelihatannya memang manusia sudah tidak ada harapan hidup di bumi yang semakin hancur ini. Peringatan Global Warming di mana-mana tetapi malah masih sebatas bincang-bincang padahal sudah dibutuhkan aksi yang revolusioner. NASA dan sekutunya bermimpi untuk mewujudkan koloni di Mars atau ruang angkasa yang tentunya belum akan terwujud dalam kurun waktu 50 tahun lagi. Merenungkan hal ini, saya berseru kepada Tuhan, “Tuhan, tidak ada harapan lagi bagi bumi. Kalau tidak ada harapan bagi bumi, maka manusia tidak akan memiliki harapan lagi karena manusia bergantung kepada bumi ini untuk kehidupannya. Bagaimana manusia harus hidup, Tuhan? Adakah harapan bagi manusia?” Sesuatu di hati saya tidak dapat menahan suara yang berkata, “Aku harapanmu! Aku harapan bagi manusia!” Yesus Kristus harapan manusia! Ini bukan klise! Alasannya: (a) Tuhan Yesus Kristus pemilik bumi ini, Dia berhak dan tahu apa yang dilakukan-Nya, (b) Rencana-Nya yang agung itu tidak dapat dibendung oleh usaha manusia (1Ptr. 3:10), (c) Keselamatan yang sejati bagi jiwa yang terancam hancur dan mengalami binasa yang kekal adalah dari Kristus saja! dan (d) Janji langit dan bumi yang baru berasal dari mulut Yang Mahakudus ini. Karena itu, harapan satu-satunya kepada kehidupan yang kekal setelah doomsday ini adalah hanya di dalam Kristus saja!
(5) Pengharapan yang tertuju kepada Kristus saja memang membuat pandangan kita kepada surga menjadi sangat jelas, tetapi tidak berarti pandangan yang jelas ini membuat kita bereuforia sehingga kita lupa berpijak di bumi yang merana ini dan melakukan mandat budaya di kehidupan kita. Kita perlu selalu sadar bahwa, dunia semakin hancur akibat ulah manusia (DR. Radiman mengakui bahwa sedikit sekali anak-anak Tuhan di bumi ini yang tentunya menjaga bumi dari segala kerusakan yang ditimbulkan umat manusia—yang menurut saya belum tentu anak-anak Tuhan yang ada menjaganya, jangan-jangan justru yang mengakibatkannya. Celaka orang Kristen!). Sudah seharusnya anak-anak Tuhan tidak lagi sembarangan lagi hidup, melainkan sungguh-sungguh hidup di dalam kekudusan (1Ptr. 3:11), menjalankan mandat Injili dan mandat budaya. Takutlah kepada Tuhan karena, “ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup. . . sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan” (Ibr. 10:31; 12:29)! Takutlah kepada Tuhan dengan berjanji, “Tuhan, aku takut melakukan dosa karena aku takut itu akan merusak relasiku dengan-Mu.” Jalankan mandat Injili kepada mereka yang belum memiliki pengharapan yang sejati di dalam Kristus! Terapkan mandat budaya mengingat kepada kesejahteraan umat manusia dan mengingat kepada Roma 8:19-25, di mana seluruh ciptaan pun adalah bagian ciptaan Tuhan yang menantikan hal yang sama seperti orang-orang percaya kelak nanti. They’re our fellowbrothers! (Francis Schaffer)
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (5)
Eksposisi Roma 8:19-23
There is not a square inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is Sovereign over all, does not cry: ‘Mine!’
(Abraham Kuyper)
Ayat 19
Subjek dari penantian akan kemuliaan jelas mengacu kepada kata “seluruh makhluk/ciptaan.” Masalahnya, kata ini terus diperdebatkan sejak masa bapak gereja Agustinus sampai sekarang. Perdebatan yang diperbincangkan adalah, apakah ciptaan di sini dimengerti dalam arti luas—Paulus memaksudkannya dengan seluruh isi alam semesta yang didukung dengan kata pasa pada (segala makhluk; ay. 22)—atau dalam arti yang terbatas?[1]
(Abraham Kuyper)
Ayat 19
Subjek dari penantian akan kemuliaan jelas mengacu kepada kata “seluruh makhluk/ciptaan.” Masalahnya, kata ini terus diperdebatkan sejak masa bapak gereja Agustinus sampai sekarang. Perdebatan yang diperbincangkan adalah, apakah ciptaan di sini dimengerti dalam arti luas—Paulus memaksudkannya dengan seluruh isi alam semesta yang didukung dengan kata pasa pada (segala makhluk; ay. 22)—atau dalam arti yang terbatas?[1]
Kalau melihat konteks di dalam perikop ini, maka pengertian ciptaan harus dipahami dalam arti yang terbatas. Di dalam Roma 8:19, 21, dan 23, kata “seluruh makhluk” dan “anak-anak Allah” jelas terpisah, sehingga pendapat bahwa manusia—khususnya orang percaya (believers)—termasuk ke dalam kata “seluruh makhluk,” tidak tepat. Demikian juga tidak tepat dengan mengartikan ciptaan ini dengan orang yang tidak percaya (unbelievers), karena sulit untuk dipahami bahwa orang yang tidak percaya menantikan kemuliaan yang akan datang. Lebih jelas lagi, pada ayat 20 dikatakan, “. . . bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia . . . ,” menunjukkan bahwa “makhluk” di sini tidak memiliki kehendak atau pilihan untuk takluk kepada kesia-siaan, melainkan ada pribadi yang menjatuhkan pilihan atau kehendak bagi mereka—dalam hal ini adalah Allah.[2] Sedangkan Adam yang merupakan wakil dari seluruh ciptaan, memiliki pilihan atau kehendak untuk jatuh ke dalam kesia-siaan dan kebinasaan, ketika Adam memilih untuk makan buah pengetahuan yang baik dan jahat itu. Jadi, manusia tidak termasuk ke dalam arti kata ciptaan pada bagian ini. Selain itu, malaikat pun tidak termasuk ke dalam kata ciptaan di sini, karena malaikat tidak ditaklukkan kepada kebinasaan, baik oleh dosa manusia atau perbuatan mereka sendiri.
Pembahasan di atas melapangkan kemungkinan yang paling benar yang dapat masuk ke dalam referensi kata ini yaitu seluruh ciptaan (tidak hanya pengertian “makhluk” seperti yang dipakai LAI), baik bergerak (animate) atau tidak bergerak (inanimate); kata lain yang dipakai adalah subhuman nature, nonhuman creation atau natural world. Ciptaan ini dipersonifikasikan di dalam Roma 8:19-23 seperti yang dicatat di dalam PL, di mana selalu digambarkan memiliki emosi, intelektual, dan kehendak. Namun, meskipun ciptaan pada Roma 8:19-23 dipersonifikasikan, penderitaan yang dialami akibat dosa manusia tidak boleh didemitologisasikan atau diantropologisasikan. Penderitaan sekarang yang dialami oleh seluruh ciptaan adalah nyata dan Allah akan membawa penderitaan mereka kepada kesudahannya, ketika Kristus datang kedua kali dan menyempurnakan penebusan anak-anak Allah. Sebagai ciptaan yang pada mulanya memiliki relasi dengan manusia, mahkota ciptaan Allah (Kej. 1:26-30; 2:19), maka pemulihan ciptaan menantikan pemulihan manusia sebagai gambar dan rupa Allah.
Ayat 20
Latarbelakang dari Roma 8:20-22 adalah Kejadian 3:17-19, di mana menggambarkan kutukan kepada tanah dikarenakan dosa asal manusia.[3] Jika di dalam Roma 5:12-19, Paulus menjelaskan kejatuhan Adam yang membawa dosa dan kematian bagi umat manusia, maka di dalam Roma 8:20-22 ini Paulus melanjutkan dampak kejatuhan tersebut di dalam diri seluruh ciptaan. Hahne menegaskan bahwa, “The fall of Adam had cosmic consequences.”[4] Ada solidaritas antara manusia dengan seluruh ciptaan berkenaan dengan masalah dosa. Cranfield menolong menggambarkan solidaritas ini dengan mengatakan:
What sense is there in saying that ‘subhuman creation—the Jungfrau, for example, or the Matterhorn, or the planet Venus—suffers frustration by being prevented from properly fulfilling the purpose of its existence? The answer must surely be that the whole magnificent theatre of the universe, together with all its splendid properties and all the varied chorus of subhuman life, created for God’s glory, is cheated of its true fulfilment so long as man, the chief actor in the great drama of God’s praise, fails to contribute his rational part . . . just as all the other players in a concerto would be frustrated of their purpose if the soloist were to fail to play his part.[5]
Dampak yang ditimbulkan oleh manusia ini memberikan perbedaan yang sangat mendasar antara manusia dengan ciptaan yang lain, yaitu seluruh ciptaan ditaklukkan ke dalam kesia-siaan tersebut, bukan oleh kehendaknya sendiri. Kata “bukan oleh kehendaknya sendiri” jelas sekali menunjuk kepada seluruh ciptaan di mana ciptaan tidak bersukacita atas kejatuhan Adam, melainkan membuatnya merana karena membawanya ke dalam kesia-siaan. Masalahnya, apakah Adam—dosanya membawa kematian dan kebinasaan bagi dunia (bdk. Rm. 5:12)—yang menaklukkan seluruh ciptaan ke dalam kesia-siaan, ataukah ini merupakan pekerjaan Allah?
Seperti sudah disinggung di penjabaran ayat 19 di atas, bahwa kata “yang menaklukkan” memiliki implikasi otoritas, di mana Adam sudah kehilangan otoritas karena dosa yang diperbuatnya. Menaklukkan seluruh ciptaan ini dikonotasikan mengontrol dunia di mana Adam sudah kehilangan kontrol itu akibat dosanya—demikian juga dengan setan, apapun perannya di dalam proses kejatuhan manusia. Jadi, bukan Adam yang menaklukkan ciptaan ke dalam kesia-siaan. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan kata “dalam pengharapan” yang menunjukkan bahwa siapapun yang menaklukkan ciptaan ke dalam kesia-siaan maka dia pula yang akan membawa seluruh ciptaan ke dalam pengharapan—hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Adam dan setan. Karena itu, satu-satunya yang memiliki otoritas dan dapat membawa seluruh ciptaan kepada pengharapan adalah hanya Tuhan. Tuhan sendiri yang memiliki hak dan kuasa untuk menghukum seluruh ciptaan ke dalam kesia-siaan karena dosa manusia.
Namun permasalahan yang timbul adalah pada kata depan dia. ditambah akusatif, pengertiannya mengarah kepada seseorang, yang bukan sebagai pelaku (agency) dari penaklukkan—seperti yang Tuhan kerjakan—melainkan penyebab penaklukkan itu, yang mengacu kepada Adam[6] (Mzm. 8:7; bdk. 1Kor. 15:27; Ef. 1:22; Flp. 3:21; Ibr. 2:5-8; 1Ptr. 3:22). Tetapi melihat kepada konteks ayat ini, kata depan dia. ditambah akusatif harus direferensikan kepada kegagalan Adam (on account of Adam’s transgression), bukan kepada fungsi yang Allah berikan kepadanya, atau frasa ini akan kelihatan lebih kompleks (on account of him to whom all things were subjected). Moo memberikan alasan yang lebih baik dengan melihat alasan Paulus memilih kata depan dia. ditambah akusatif untuk menampilkan ketetapan Allah (God’s decree) sebagai penyebab dari penaklukkan tersebut.[7]
Jadi, ciptaan telah ditaklukkan oleh Allah—Hakim dan Penyelamat yang agung—sebagai akibat dari kejatuhan manusia. Namun penaklukkan ini hendaknya tidak dipandang sebagai hukuman akhir yang tidak dapat dipulihkan lagi, sebaliknya, ada keyakinan yang teguh akan janji Allah bagi pemulihan seluruh ciptaan, tanpa terkecuali.
[1]Witherington III memberikan delapan kemungkinan yang dapat dimaksud dengan ciptaan pada bagian ini, yaitu: all humanity, unbelieving humanity alone, believing humanity alone, angels alone, subhuman nature (both creature and creation), subhuman nature plus angels, unbelievers and nature, and subhuman nature plus humanity in general (Paul’s Letter to the Romans [Grand Rapids: Eerdmans, 2004] 222).
[2]Kata “ditaklukkan” memiliki implikasi otoritas yang tidak cocok bila dikaitkan dengan Adam yang sudah jatuh ke dalam dosa dan tidak memiliki otoritas atas apapun juga. Menaklukkan ciptaan kepada kesia-siaan menunjukkan kontrol atas dunia ini, di mana Adam sudah kehilangan dominasi atas dunia karena dosanya.
[3]Pemikiran Paulus sangat mungkin sekali dipengaruhi oleh tulisan apokaliptik Yahudi. Contoh tulisan apokaliptik yang mirip dengan kisah Alkitab adalah, Kejadian 6 yang diinterpretasikan oleh 1 Enoch 6-11 di mana ciptaan terdistorsi akibat dosa malaikat yang jatuh (watchers) dan pengikut-pengikutnya (giants). Meskipun asal dosa yang dilakukan oleh malaikat yang jatuh lebih dianggap daripada oleh Adam, hasilnya tetap sama: ciptaan telah rusak karena dosa. Hasilnya adalah dunia ini memerlukan pemulihan (10:7). Bumi yang rusak ini berteriak kepada Allah untuk dilepaskan dari belenggu dosa. Bagian ini mirip sekali dengan apa yang Paulus katakan di dalam Roma 8:19-22, di mana ciptaan telah terbelenggu oleh dosa dan mengeluh kepada Tuhan untuk dibebaskan (Harry Alan Hahne, Paul’s Apocalyptic Theology in Romans 8:19-22 [http://www.balboa-software.com/hahne/Rom8Apocalyptic.pdf#search=’romans%208% 3A1923%20jewish%20apocalyptic’] 3).
[4]The Birth Pangs of creation: The Eschatological Transformation of the Natural World in Romans 8:19-22 (http://www.balboa-software.com/hahne/BirthPangs.pdf#search=’joseph%20lee%20nelson%20 the%20groaning’) 5.
[5]“Some Observations on Romans 8:19-21,” dalam Reconciliation and Hope: Essays on Atonement and Eschatology (ed. R. Banks; Grand Rapids: Eerdmans, 1974) 224-230 dikutip dari David Wilkinson, The Message of Creation (Downers Grove: InterVarsity, 2002) 239.
[6]Albert M. Wolters, Creation Regained [2nd edition; Grand Rapids: Eerdmans, 2005] 56.
[7]Douglas Moo melihatnya bahwa kasus ini dapat membuat dia. ditambah akusatif sama pengertiannya dengan dia. ditambah genitif (The Epistle to the Romans [NICNT; Grand Rapids: Eerdmans, 1996) 516). Joseph A. Fitzmyer mendukung penggunaan dia. ditambah akusatif mengarah kepada Allah, meskipun penggunaan dia. ditambah akusatif yang mengindikasikan subjek sangat jarang (Romans: The Anchor Bible [New York: Doubleday, 1993] 508).
Tuesday, October 23, 2007
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (4)
DUA PANDANGAN PENEBUSAN BAGI SELURUH CIPTAAN
Untuk menutupi kekurangan ini, penulis melihat upaya dari beberapa pihak dalam melihat dan mengamati relasi antara penebusan Kristus dengan keberadaan seluruh ciptaan. Ada dua pendapat yang memiliki pandangan yang bertolak belakang satu sama lain. Pandangan pertama mengatakan bahwa penebusan yang Kristus kerjakan hanya bagi manusia semata, tidak ada penebusan bagi ciptaan yang lain. Ayat-ayat seperti Roma 8:19-23, Kolose 1:13-20, 1 Korintus 15:28 atau Efesus 1:10 yang dianggap oleh beberapa orang[1] menggambarkan relasi antara penebusan Kristus dengan seluruh ciptaan (kosmos), dipandang hanya sebatas penebusan yang hanya berbicara bagi manusia semata. Orang-orang yang menitikberatkan penebusan hanya bagi manusia melihat bahwa konsep penebusan hanya diperuntukkan bagi manusia saja, dalam hal ini orang-orang percaya.[2] Glen H. Stassen dan David P. Gushee di dalam menyikapi teks Kolose 1:13-20 berpendapat bahwa:
The term redemption is predicated only of “us” (i.e., followers of Jesus) and specifically defined as the forgiveness of sins. Although the whole creation is “fallen” and under “the dominion of darkness,” the nonhuman creation is not sinful. Only humans need forgiveness of sins. But human sinfulness has created alienation between humanity and the rest of creation (Gen. 3:14-19; 9:1-6), and this passage promises reconciliation, an end to that alienation.[3]
Dengan kata lain, Stassen dan Gushee ingin mengatakan bahwa hanya manusia yang jatuh ke dalam dosa sedangkan ciptaan yang lain tidak. Apakah benar demikian? Bukankah ketika manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh tatanan kehidupan terseret pula ke dalam dosa?
Surat Roma 8:18-27 juga dianggap oleh beberapa kalangan tidak berbicara kepada relasi penebusan Kristus dengan kosmos. John C. Gager menuliskan bahwa: “In Paul, this cosmic dimension has been significantly limited to an anthropological category, and its primary reference has become the nonbelieving, human world.”[4] John Reumann menambahkan bahwa Paulus “does cite words that look for cosmic redemption,” tetapi ia melanjutkan “His interest in quoting them is entirely, however, on man, Christian man.” Menurutnya, “Romans 8 thus fits with the interpretation we have reached of the new creation as the new creaturehood of Christian believers, not a cosmic day-dream.”[5]
John Bolt melihat bahwa orang-orang Neo-ortodoks menafsirkan Roma 8 khususnya ayat 19-23, bukan di dalam dimensi kosmologis, tetapi lebih kepada lingkup soteriologi yang antropologis. Menurut Bolt, hal yang mendasar yang menjadi permasalahan mereka adalah pengetahuan dan iman akan penebusan Kristus yang merupakan kunci bagi manusia, tidak dimiliki oleh ciptaan yang lain. Artinya, perhatian Paulus di dalam Roma 8 lebih kepada kehidupan spiritual manusia, dan apa pun yang dikatakan Paulus mengenai ciptaan secara keseluruhan, hanya bersifat insidentil dan tidak merupakan bagian utama dari tulisannya di surat Roma. [6]
Pandangan yang kedua melihat dari sudut pandang yang berbeda. Pandangan ini secara ekstrem melihat bahwa Kristus adalah Kristus Kosmik (Cosmic Christ) yang melihat Kristus sebagai pola yang menghubungkan (the pattern that connects): “divinity and earthiness; emptiness and fullness; suffering and accomplisment. It connects all creatures in the entire universe.”[7] Matthew Fox berpendapat bahwa: “salvation is about God becoming ‘all in all,’” Paul tells us (1Cor. 15:28).[8] Lebih lanjut lagi Fox melihat konsep Kristus Kosmik ini akan mengubah paradigma seseorang:[9]
from anthropocentrism to a living cosmology
from Newton to Einsten
from parts-mentality to wholeness
from rationalism to mysticism
from obedience as a prime to creativity as a prime moral virtue
moral virtue
from personal salvation to communal healing, i.e., compassion
as salvation
from theism (God outside us) to panentheism (God in us and us in God)
from fall-redemption religion to creation-centered spirituality
from the ascetic to the aesthetic
Penulis melihat pemahaman ini terlalu ekstrem, khususnya bila menyangkut pemahaman panenteisme[10] yang mendistorsi begitu banyak natur Allah. Perbedaan yang begitu besar antara teisme dan panenteisme adalah:[11]
TEISME
God is Creator.
Creation is ex nihilo.
God is sovereign over world.
God is absolutely perfect.
God is monopolar.
God is independent of world.
God is actually infinite.
God is unchanging.
PANENTEISME
God is changing.
God is director.
God is working with world.
Creation is ex materia.
God is growing more perfect.
God is bipolar.
God is actually finite.
God is dependent on world.
Panenteisme dalam hal ini telah merusak pemahaman kosmologis yang dapat membuka wawasan kepada konsep penebusan yang lebih utuh.
[1]Beberapa di antaranya: Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids: Eerdmans, 1979) 32-33, 53-54, 275, 282, Robert Recker, “The Redemptive Focus of the Kingdom of God,” Calvin Theological Journal 14/2 (November 1979) 154-186, Francis A. Schaeffer, Pollution and the Death of Man: The Christian View of Ecology (Wheaton: Tyndale House, 1980) 65-77, George Eldon Ladd, A Theology of the New testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1993) 682-683, James D. G. Dunn, The Theology of Paul The Apostle (Grand Rapids: Eerdmans, 1998) 38-43, dan David K. Naugle, “Kristus Kosmik Dalam Surat Kolose: Eksegesis Kolose 1:15-23,” Transformasi 2/1 (Februari 2006) 95-111.
[2]Pemahaman ini sangat mungkin dipengaruhi oleh pandangan dualisme yang memisahkan unsur materi-roh atau jasmani-rohani. Hal yang rohani dianggap penting karena akan membawa keselamatan bagi jiwa mereka, sedangkan hal yang jasmani menjadi tidak penting lagi keberadaannya. Menurut Brian J. Walsh dan J. Richard Middleton, masalah dualisme ini begitu mempengaruhi kehidupan kekristenan. Masalah dualisme muncul setidaknya dalam tiga hal: bagaimana orang percaya memandang konsep kerja, bagaimana orang percaya memandang budaya dan bagaimana orang percaya membaca Alkitab. Hal ini perlu diselidiki dari mana “penyakit” ini berasal. Menurut mereka, konsep dualisme ini berasal dari Plato yang memisahkan antara jiwa dan tubuh. Langkah ini diikuti oleh Agustinus yang memisahkan kehidupan kekal dengan yang temporal. Masalahnya, pemahaman Agustinus ini tidak berbeda dengan pemahaman dualisme Plato (The Transforming Vision: Shaping a Christian World View [Downers Grove: InterVarsity, 1984] 94-116). James K. A. Smith melihat hal yang sama dengan mengatakan: “One of the central themes of the continental Reformed tradition is a holistic affirmation of the goodness of creation and materiality, which is thus also affirms those spheres and modes of life associated with craeturely embodiment (the arts, sociopolitical engagement, etc.). As a result, the Reformed tradition has articulated a persistent critique of the dualism of much of Protestant, especially evangelical, Christianity” (Introducing Radical Orthodoxy: Mapping a Post-secular Theology [Grand Rapids: Baker, 2004] 198).
[3]Kingdom Ethics (Downers Grove: InterVarsity, 2003) 440-441, penekanan oleh penulis buku.
[4]“Functional Diversity in Paul’s Use of End-Time Language,” Journal of Biblical Literature 89 (1970) 329 dikutip dari John Bolt, “The Relation Between Creation and Redemption in Romans 8:18-27,” CTJ 30/1 (April 1995) 38.
[5]Creation and New Creation: The Past, Present, and Future of God’s Creative Activity (Minneapolis: Augsburg, 1973) 329.
[6]“The Relation” 34-51.
[7]Matthew Fox, The Coming of the Cosmic Christ (San Francisco: Harper & Row, 1988) 134.
[8]Ibid. 151.
[9]Ibid. 134-135.
[10]Panenteisme tidak perlu dibingungkan dengan pemahaman panteisme. Panteisme secara literal berarti semua (pan) adalah Allah (teisme), tetapi panenteisme berarti semua di dalam Allah. Konsep ini juga disebut teologi proses (sejak Allah dilihat sebagai pribadi yang berubah), bipolar theism (sejak dipercayai bahwa Allah memiliki dua kutub), organisisme (sejak konsep ini dipahami bahwa dari awalnya semua berasal dari organisme raksasa), dan neoclassical theism (karena dipercaya bahwa Allah terbatas dan sementara, kontras dengan paham classical theism) (Norman L. Geisler, “Panentheism,” dalam Baker Encyclopedia of Christian Apologetics [Grand Rapids: Baker, 1999] 576).
[11]Ibid.
Untuk menutupi kekurangan ini, penulis melihat upaya dari beberapa pihak dalam melihat dan mengamati relasi antara penebusan Kristus dengan keberadaan seluruh ciptaan. Ada dua pendapat yang memiliki pandangan yang bertolak belakang satu sama lain. Pandangan pertama mengatakan bahwa penebusan yang Kristus kerjakan hanya bagi manusia semata, tidak ada penebusan bagi ciptaan yang lain. Ayat-ayat seperti Roma 8:19-23, Kolose 1:13-20, 1 Korintus 15:28 atau Efesus 1:10 yang dianggap oleh beberapa orang[1] menggambarkan relasi antara penebusan Kristus dengan seluruh ciptaan (kosmos), dipandang hanya sebatas penebusan yang hanya berbicara bagi manusia semata. Orang-orang yang menitikberatkan penebusan hanya bagi manusia melihat bahwa konsep penebusan hanya diperuntukkan bagi manusia saja, dalam hal ini orang-orang percaya.[2] Glen H. Stassen dan David P. Gushee di dalam menyikapi teks Kolose 1:13-20 berpendapat bahwa:
The term redemption is predicated only of “us” (i.e., followers of Jesus) and specifically defined as the forgiveness of sins. Although the whole creation is “fallen” and under “the dominion of darkness,” the nonhuman creation is not sinful. Only humans need forgiveness of sins. But human sinfulness has created alienation between humanity and the rest of creation (Gen. 3:14-19; 9:1-6), and this passage promises reconciliation, an end to that alienation.[3]
Dengan kata lain, Stassen dan Gushee ingin mengatakan bahwa hanya manusia yang jatuh ke dalam dosa sedangkan ciptaan yang lain tidak. Apakah benar demikian? Bukankah ketika manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh tatanan kehidupan terseret pula ke dalam dosa?
Surat Roma 8:18-27 juga dianggap oleh beberapa kalangan tidak berbicara kepada relasi penebusan Kristus dengan kosmos. John C. Gager menuliskan bahwa: “In Paul, this cosmic dimension has been significantly limited to an anthropological category, and its primary reference has become the nonbelieving, human world.”[4] John Reumann menambahkan bahwa Paulus “does cite words that look for cosmic redemption,” tetapi ia melanjutkan “His interest in quoting them is entirely, however, on man, Christian man.” Menurutnya, “Romans 8 thus fits with the interpretation we have reached of the new creation as the new creaturehood of Christian believers, not a cosmic day-dream.”[5]
John Bolt melihat bahwa orang-orang Neo-ortodoks menafsirkan Roma 8 khususnya ayat 19-23, bukan di dalam dimensi kosmologis, tetapi lebih kepada lingkup soteriologi yang antropologis. Menurut Bolt, hal yang mendasar yang menjadi permasalahan mereka adalah pengetahuan dan iman akan penebusan Kristus yang merupakan kunci bagi manusia, tidak dimiliki oleh ciptaan yang lain. Artinya, perhatian Paulus di dalam Roma 8 lebih kepada kehidupan spiritual manusia, dan apa pun yang dikatakan Paulus mengenai ciptaan secara keseluruhan, hanya bersifat insidentil dan tidak merupakan bagian utama dari tulisannya di surat Roma. [6]
Pandangan yang kedua melihat dari sudut pandang yang berbeda. Pandangan ini secara ekstrem melihat bahwa Kristus adalah Kristus Kosmik (Cosmic Christ) yang melihat Kristus sebagai pola yang menghubungkan (the pattern that connects): “divinity and earthiness; emptiness and fullness; suffering and accomplisment. It connects all creatures in the entire universe.”[7] Matthew Fox berpendapat bahwa: “salvation is about God becoming ‘all in all,’” Paul tells us (1Cor. 15:28).[8] Lebih lanjut lagi Fox melihat konsep Kristus Kosmik ini akan mengubah paradigma seseorang:[9]
from anthropocentrism to a living cosmology
from Newton to Einsten
from parts-mentality to wholeness
from rationalism to mysticism
from obedience as a prime to creativity as a prime moral virtue
moral virtue
from personal salvation to communal healing, i.e., compassion
as salvation
from theism (God outside us) to panentheism (God in us and us in God)
from fall-redemption religion to creation-centered spirituality
from the ascetic to the aesthetic
Penulis melihat pemahaman ini terlalu ekstrem, khususnya bila menyangkut pemahaman panenteisme[10] yang mendistorsi begitu banyak natur Allah. Perbedaan yang begitu besar antara teisme dan panenteisme adalah:[11]
TEISME
God is Creator.
Creation is ex nihilo.
God is sovereign over world.
God is absolutely perfect.
God is monopolar.
God is independent of world.
God is actually infinite.
God is unchanging.
PANENTEISME
God is changing.
God is director.
God is working with world.
Creation is ex materia.
God is growing more perfect.
God is bipolar.
God is actually finite.
God is dependent on world.
Panenteisme dalam hal ini telah merusak pemahaman kosmologis yang dapat membuka wawasan kepada konsep penebusan yang lebih utuh.
[1]Beberapa di antaranya: Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids: Eerdmans, 1979) 32-33, 53-54, 275, 282, Robert Recker, “The Redemptive Focus of the Kingdom of God,” Calvin Theological Journal 14/2 (November 1979) 154-186, Francis A. Schaeffer, Pollution and the Death of Man: The Christian View of Ecology (Wheaton: Tyndale House, 1980) 65-77, George Eldon Ladd, A Theology of the New testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1993) 682-683, James D. G. Dunn, The Theology of Paul The Apostle (Grand Rapids: Eerdmans, 1998) 38-43, dan David K. Naugle, “Kristus Kosmik Dalam Surat Kolose: Eksegesis Kolose 1:15-23,” Transformasi 2/1 (Februari 2006) 95-111.
[2]Pemahaman ini sangat mungkin dipengaruhi oleh pandangan dualisme yang memisahkan unsur materi-roh atau jasmani-rohani. Hal yang rohani dianggap penting karena akan membawa keselamatan bagi jiwa mereka, sedangkan hal yang jasmani menjadi tidak penting lagi keberadaannya. Menurut Brian J. Walsh dan J. Richard Middleton, masalah dualisme ini begitu mempengaruhi kehidupan kekristenan. Masalah dualisme muncul setidaknya dalam tiga hal: bagaimana orang percaya memandang konsep kerja, bagaimana orang percaya memandang budaya dan bagaimana orang percaya membaca Alkitab. Hal ini perlu diselidiki dari mana “penyakit” ini berasal. Menurut mereka, konsep dualisme ini berasal dari Plato yang memisahkan antara jiwa dan tubuh. Langkah ini diikuti oleh Agustinus yang memisahkan kehidupan kekal dengan yang temporal. Masalahnya, pemahaman Agustinus ini tidak berbeda dengan pemahaman dualisme Plato (The Transforming Vision: Shaping a Christian World View [Downers Grove: InterVarsity, 1984] 94-116). James K. A. Smith melihat hal yang sama dengan mengatakan: “One of the central themes of the continental Reformed tradition is a holistic affirmation of the goodness of creation and materiality, which is thus also affirms those spheres and modes of life associated with craeturely embodiment (the arts, sociopolitical engagement, etc.). As a result, the Reformed tradition has articulated a persistent critique of the dualism of much of Protestant, especially evangelical, Christianity” (Introducing Radical Orthodoxy: Mapping a Post-secular Theology [Grand Rapids: Baker, 2004] 198).
[3]Kingdom Ethics (Downers Grove: InterVarsity, 2003) 440-441, penekanan oleh penulis buku.
[4]“Functional Diversity in Paul’s Use of End-Time Language,” Journal of Biblical Literature 89 (1970) 329 dikutip dari John Bolt, “The Relation Between Creation and Redemption in Romans 8:18-27,” CTJ 30/1 (April 1995) 38.
[5]Creation and New Creation: The Past, Present, and Future of God’s Creative Activity (Minneapolis: Augsburg, 1973) 329.
[6]“The Relation” 34-51.
[7]Matthew Fox, The Coming of the Cosmic Christ (San Francisco: Harper & Row, 1988) 134.
[8]Ibid. 151.
[9]Ibid. 134-135.
[10]Panenteisme tidak perlu dibingungkan dengan pemahaman panteisme. Panteisme secara literal berarti semua (pan) adalah Allah (teisme), tetapi panenteisme berarti semua di dalam Allah. Konsep ini juga disebut teologi proses (sejak Allah dilihat sebagai pribadi yang berubah), bipolar theism (sejak dipercayai bahwa Allah memiliki dua kutub), organisisme (sejak konsep ini dipahami bahwa dari awalnya semua berasal dari organisme raksasa), dan neoclassical theism (karena dipercaya bahwa Allah terbatas dan sementara, kontras dengan paham classical theism) (Norman L. Geisler, “Panentheism,” dalam Baker Encyclopedia of Christian Apologetics [Grand Rapids: Baker, 1999] 576).
[11]Ibid.
Monday, October 22, 2007
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (3)
BLIND SPOTS KEKRISTENAN
Menurut John Jefferson Davis, salah satu penyebab yang menjadikan relasi antara ciptaan dengan konsep penebusan terabaikan atau kurang jelas adalah kurangnya pembahasan tersebut di dalam buku-buku teologi sistematika. Ini yang Davis sebut titik buta (blind spots) di dalam kekristenan.[1] Davis mencoba menelusuri buku-buku tersebut sejak tahun 1970 yaitu sejak awal diperingatinya hari bumi sedunia sebagai komitmen seluruh dunia dalam membangun kesadaran akan pemeliharaan lingkungan. Davis mendapati bahwa fokus akan doktrin penciptaan dari buku-buku tersebut hanya terletak pada pembahasan evolusi, umur bumi, dan penciptaan hari pertama, tidak kepada pembahasan seluruh ciptaan dan relasinya dengan penebusan Kristus. Menurutnya, ada beberapa kesarjanaan yang alkitabiah yang sudah mulai menapaki dampak kosmik di dalam karya penebusan Kristus (Kol. 1:20). Namun langkah ini tidak diikuti oleh para teolog injili.[2] Karena itu, Davis menyimpulkan dan memberikan saran sebagai berikut:
It is likewise apparent that evangelical theologians generally do not see any connections between the atoning work of Christ and the future of the earth and Christian responsibility for its proper stewardship. . . . This paper concludes with a call for evangelical theologians to engage in further development of the doctrines of creation and the atonement with a view toward unfolding in a more systematic and integrated way the contemporary implications of these Biblical truths for Christian stewardship of the environment.[3]
[1]“Ecological ‘Blind Spots’ in the Structure and Content of Recent Evangelical Systematic Theologies,” Journal of the Evangelical Theological Society 43/2 (June 2000) 273.
[2]Ibid. 273-275. Menurut H. Wayne House, gereja mula-mula sebenarnya telah mengkorelasikan karya penciptaan dan karya penebusan Allah sebagai satu campuran (blended) yang mendemonstrasikan kesatuan dari maksud dan tujuan Allah. Pemahaman ini terus dipertahankan untuk melawan pengaruh dari gnostisisme. Gnostisisme melihat bahwa Allah bertentangan dengan ciptaan, ortodoksi melihat ciptaan Allah baik adanya. Di saat gnostik melihat Kristus sebagai makhluk kosmik, di dalam ortodoks perspektif Yesus Kristus adalah Allah seutuhnya dan manusia seutuhnya. Jika gereja menerima Kristus di dalam kerangka gnostik, maka gereja akan menghilangkan kesejarahan Yesus, Allah yang menjadi manusia seutuhnya, kematian secara fisik di kayu salib dan kebangkitan fisik dari kubur. Namun House mengindikasikan teologi modern pada zaman sekarang telah terjebak kepada pengaruh gnostik. House berkata: “Contrary to this biblical approach is the tendency in modern theology to see the creation as inferior and material and the new creation, the redemptive creation, as superior and immaterial, to see creation as being squarely set over against the new order that has come in Christ, finally to be realized in the complete establishment of the new creation. In so doing, modern theology has reverted back to errors refuted by the doctors of the church and once again placed the people of God at the mercy of false orthopraxy that comes from heretodoxy (“Creation and Redemption: A Study of Kingdom Interplay,” JETS 35/1 [March 1992] 3-4).
[3]“Ecological ‘Blind Spots’” 285.
Menurut John Jefferson Davis, salah satu penyebab yang menjadikan relasi antara ciptaan dengan konsep penebusan terabaikan atau kurang jelas adalah kurangnya pembahasan tersebut di dalam buku-buku teologi sistematika. Ini yang Davis sebut titik buta (blind spots) di dalam kekristenan.[1] Davis mencoba menelusuri buku-buku tersebut sejak tahun 1970 yaitu sejak awal diperingatinya hari bumi sedunia sebagai komitmen seluruh dunia dalam membangun kesadaran akan pemeliharaan lingkungan. Davis mendapati bahwa fokus akan doktrin penciptaan dari buku-buku tersebut hanya terletak pada pembahasan evolusi, umur bumi, dan penciptaan hari pertama, tidak kepada pembahasan seluruh ciptaan dan relasinya dengan penebusan Kristus. Menurutnya, ada beberapa kesarjanaan yang alkitabiah yang sudah mulai menapaki dampak kosmik di dalam karya penebusan Kristus (Kol. 1:20). Namun langkah ini tidak diikuti oleh para teolog injili.[2] Karena itu, Davis menyimpulkan dan memberikan saran sebagai berikut:
It is likewise apparent that evangelical theologians generally do not see any connections between the atoning work of Christ and the future of the earth and Christian responsibility for its proper stewardship. . . . This paper concludes with a call for evangelical theologians to engage in further development of the doctrines of creation and the atonement with a view toward unfolding in a more systematic and integrated way the contemporary implications of these Biblical truths for Christian stewardship of the environment.[3]
[1]“Ecological ‘Blind Spots’ in the Structure and Content of Recent Evangelical Systematic Theologies,” Journal of the Evangelical Theological Society 43/2 (June 2000) 273.
[2]Ibid. 273-275. Menurut H. Wayne House, gereja mula-mula sebenarnya telah mengkorelasikan karya penciptaan dan karya penebusan Allah sebagai satu campuran (blended) yang mendemonstrasikan kesatuan dari maksud dan tujuan Allah. Pemahaman ini terus dipertahankan untuk melawan pengaruh dari gnostisisme. Gnostisisme melihat bahwa Allah bertentangan dengan ciptaan, ortodoksi melihat ciptaan Allah baik adanya. Di saat gnostik melihat Kristus sebagai makhluk kosmik, di dalam ortodoks perspektif Yesus Kristus adalah Allah seutuhnya dan manusia seutuhnya. Jika gereja menerima Kristus di dalam kerangka gnostik, maka gereja akan menghilangkan kesejarahan Yesus, Allah yang menjadi manusia seutuhnya, kematian secara fisik di kayu salib dan kebangkitan fisik dari kubur. Namun House mengindikasikan teologi modern pada zaman sekarang telah terjebak kepada pengaruh gnostik. House berkata: “Contrary to this biblical approach is the tendency in modern theology to see the creation as inferior and material and the new creation, the redemptive creation, as superior and immaterial, to see creation as being squarely set over against the new order that has come in Christ, finally to be realized in the complete establishment of the new creation. In so doing, modern theology has reverted back to errors refuted by the doctors of the church and once again placed the people of God at the mercy of false orthopraxy that comes from heretodoxy (“Creation and Redemption: A Study of Kingdom Interplay,” JETS 35/1 [March 1992] 3-4).
[3]“Ecological ‘Blind Spots’” 285.
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (2)
KERUSAKAN EKOLOGI KARENA KEKRISTENAN?
Menurut orang-orang sekuler, kekristenan justru merupakan agama atau lembaga yang paling bertanggungjawab atas kerusakan ekologi selama ini.[1] Diagnosa ini bagi mereka tidak berlebihan jika melihat kepada ajaran-ajaran kekristenan yang lebih mengutamakan manusia daripada ciptaan yang lain.[2]
Ajaran yang pertama adalah kuatnya doktrin antropologi yaitu doktrin yang membahas tentang manusia dan relasinya dengan Allah. H. Paul Santmire berkata:
As the earth groans in travail, it appears that those who stand in the traditions of Luther and Calvin are ill-equipped to respond to the global environmental crisis theologically. . . . The Protestant mind has become fixed, not to say fixated, on what Karl Barth called “the-anthropology,” the doctrine of God and humanity. This has meant, in turn, that protestants generally have approached the earth almost exclusively via the theology of a divinely mandated human dominion over nature.[3]
Pemahaman doktrin ini semakin kuat melalui konsep gambar dan rupa Allah (image of God) yang merupakan kelebihan manusia dibandingkan ciptaan yang lain. Dampaknya sangat jelas yaitu manusia memberhargakan dirinya sendiri dan menanam arogansi di dalam memperlakukan ciptaan yang lain.[4]
Ajaran yang kedua adalah kuatnya doktrin eskatologi, yaitu doktrin yang memfokuskan diri kepada kehidupan di masa yang akan datang. Doktrin ini mendorong orang-orang yang percaya untuk melihat kepada rumah mereka yang sebenarnya di dunia yang lain yaitu surga. Segala bencana yang terjadi di dalam dunia ini hanya sementara waktu dan tidak akan ditemui lagi bila manusia meninggalkan dunia menuju kehidupan yang kekal di surga (Why. 21:4). Menurut J. Passmore, hal ini jelas-jelas menunjukkan kekristenan anti kepada masalah ekologi.[5]
Kekecewaan terhadap pemahaman doktrin di atas sebenarnya ingin mempertanyakan satu hal yang terabaikan selama ini yaitu, apa signifikansi keberadaan ciptaan yang lain yang juga merupakan bagian dari karya Allah? Atau dengan kata lain, seberapa pentingkah ciptaan lain di mata Allah?
Jika keberadaan manusia signifikan dan penting di mata Allah, maka akan ditemukan kaitannya di dalam karya penebusan Kristus yang telah mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Karya penebusan ini yang dapat memampukan manusia berelasi dengan Allah (antropologi) dan memiliki kehidupan kekal bersama dengan Allah (eskatologi). Tetapi bagaimana dengan ciptaan yang lain? Apakah ada hubungannya karya penebusan Kristus dengan ciptaan yang lain sehingga ciptaan yang lain pun dapat menjadi signifikan dan penting di mata Allah?
[1]D. L. Migliore, “Eschatology and Ecology: The Witness of Reformed Theology” dalam Studies in Reformed Theology: Vol. 5: Christian Hope in Context (eds. A. Van Egmon dan D. Van Keulen; 2 vols.; Zoetermeer: Meinema, 2001) 2.11.
[2]Sejarahwan Lynn White, Jr. melihat bahwa kekristenan menanggung beban akan kesalahan yang begitu besar dari degradasi lingkungan karena pengajarannya yang mengajarkan bahwa umat manusia diberikan mandat oleh Tuhan untuk menjalankan dominasi atas seluruh ciptaan yang lain (“The Historical Roots of Our Ecological Crisis,” dalam The Care of Creation [ed. R. J. Berry; Downers Grove: InterVarsity, 2000] 40).
[3]H. Paul Santmire, “Healing The Protestant Mind: Beyond the Theology of Human Dominion” dalam After Nature’s Revolt (ed. Dieter T. Hessel; Minneapolis: Fortress, 1992) 57.
[4]Menurut Andalas, kredo dominasi dan kontrol absolut manusia terhadap ciptaan-ciptaan yang lain memberikan lisensi untuk eksploitasi ekologi. Alam menjadi the suffering other baru karena terus-menerus diperas secara rakus oleh manusia. Mengutip dari Sallie McFague dalam Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a Planet in Peril (2001), Andalas menulis bahwa berbagai krisis alam akhir-akhir ini memperkuat relasi intrinsik antara bencana alam dan perilaku eksploitatif manusia terhadap ekologi. Eksploitasi manusia sudah mencapai taraf melampaui batas kemampuan ekologi untuk menanggungnya. Menurut Sallie, perilaku destruktif manusia terhadap ekologi itu bersumber pada pandangan mengenai ciptaan yang ditata dalam relasi dualistik hierarkis. Paradigma superioritas-subordinasi ini opresif terhadap alam (“Pasca-‘Holocaust’” 6).
[5]J. Passmore, Man’s Responsibility for Nature (New York, 1987) dikutip dari Migliore, “Eschatology” 11. Migliore berkata bahwa orang-orang premilenium dispensasional memandang dunia ini dengan pesimis karena mereka begitu mengharapkan kedatangan Tuhan kedua kali yang akan didahului oleh masa tribulasi, peperangan dan kehancuran dunia. Masalah kerusakan ekologi menjadi salah satu masalah yang diperlukan sebagai bagian dari kehancuran menjelang kedatangan Tuhan. Segala bentuk dukungan untuk menyelesaikan masalah ini dianggap sebagai satu kesia-siaan dan bertentangan dengan penghakiman Allah yang akan datang (ibid. 18).
Menurut orang-orang sekuler, kekristenan justru merupakan agama atau lembaga yang paling bertanggungjawab atas kerusakan ekologi selama ini.[1] Diagnosa ini bagi mereka tidak berlebihan jika melihat kepada ajaran-ajaran kekristenan yang lebih mengutamakan manusia daripada ciptaan yang lain.[2]
Ajaran yang pertama adalah kuatnya doktrin antropologi yaitu doktrin yang membahas tentang manusia dan relasinya dengan Allah. H. Paul Santmire berkata:
As the earth groans in travail, it appears that those who stand in the traditions of Luther and Calvin are ill-equipped to respond to the global environmental crisis theologically. . . . The Protestant mind has become fixed, not to say fixated, on what Karl Barth called “the-anthropology,” the doctrine of God and humanity. This has meant, in turn, that protestants generally have approached the earth almost exclusively via the theology of a divinely mandated human dominion over nature.[3]
Pemahaman doktrin ini semakin kuat melalui konsep gambar dan rupa Allah (image of God) yang merupakan kelebihan manusia dibandingkan ciptaan yang lain. Dampaknya sangat jelas yaitu manusia memberhargakan dirinya sendiri dan menanam arogansi di dalam memperlakukan ciptaan yang lain.[4]
Ajaran yang kedua adalah kuatnya doktrin eskatologi, yaitu doktrin yang memfokuskan diri kepada kehidupan di masa yang akan datang. Doktrin ini mendorong orang-orang yang percaya untuk melihat kepada rumah mereka yang sebenarnya di dunia yang lain yaitu surga. Segala bencana yang terjadi di dalam dunia ini hanya sementara waktu dan tidak akan ditemui lagi bila manusia meninggalkan dunia menuju kehidupan yang kekal di surga (Why. 21:4). Menurut J. Passmore, hal ini jelas-jelas menunjukkan kekristenan anti kepada masalah ekologi.[5]
Kekecewaan terhadap pemahaman doktrin di atas sebenarnya ingin mempertanyakan satu hal yang terabaikan selama ini yaitu, apa signifikansi keberadaan ciptaan yang lain yang juga merupakan bagian dari karya Allah? Atau dengan kata lain, seberapa pentingkah ciptaan lain di mata Allah?
Jika keberadaan manusia signifikan dan penting di mata Allah, maka akan ditemukan kaitannya di dalam karya penebusan Kristus yang telah mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Karya penebusan ini yang dapat memampukan manusia berelasi dengan Allah (antropologi) dan memiliki kehidupan kekal bersama dengan Allah (eskatologi). Tetapi bagaimana dengan ciptaan yang lain? Apakah ada hubungannya karya penebusan Kristus dengan ciptaan yang lain sehingga ciptaan yang lain pun dapat menjadi signifikan dan penting di mata Allah?
[1]D. L. Migliore, “Eschatology and Ecology: The Witness of Reformed Theology” dalam Studies in Reformed Theology: Vol. 5: Christian Hope in Context (eds. A. Van Egmon dan D. Van Keulen; 2 vols.; Zoetermeer: Meinema, 2001) 2.11.
[2]Sejarahwan Lynn White, Jr. melihat bahwa kekristenan menanggung beban akan kesalahan yang begitu besar dari degradasi lingkungan karena pengajarannya yang mengajarkan bahwa umat manusia diberikan mandat oleh Tuhan untuk menjalankan dominasi atas seluruh ciptaan yang lain (“The Historical Roots of Our Ecological Crisis,” dalam The Care of Creation [ed. R. J. Berry; Downers Grove: InterVarsity, 2000] 40).
[3]H. Paul Santmire, “Healing The Protestant Mind: Beyond the Theology of Human Dominion” dalam After Nature’s Revolt (ed. Dieter T. Hessel; Minneapolis: Fortress, 1992) 57.
[4]Menurut Andalas, kredo dominasi dan kontrol absolut manusia terhadap ciptaan-ciptaan yang lain memberikan lisensi untuk eksploitasi ekologi. Alam menjadi the suffering other baru karena terus-menerus diperas secara rakus oleh manusia. Mengutip dari Sallie McFague dalam Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a Planet in Peril (2001), Andalas menulis bahwa berbagai krisis alam akhir-akhir ini memperkuat relasi intrinsik antara bencana alam dan perilaku eksploitatif manusia terhadap ekologi. Eksploitasi manusia sudah mencapai taraf melampaui batas kemampuan ekologi untuk menanggungnya. Menurut Sallie, perilaku destruktif manusia terhadap ekologi itu bersumber pada pandangan mengenai ciptaan yang ditata dalam relasi dualistik hierarkis. Paradigma superioritas-subordinasi ini opresif terhadap alam (“Pasca-‘Holocaust’” 6).
[5]J. Passmore, Man’s Responsibility for Nature (New York, 1987) dikutip dari Migliore, “Eschatology” 11. Migliore berkata bahwa orang-orang premilenium dispensasional memandang dunia ini dengan pesimis karena mereka begitu mengharapkan kedatangan Tuhan kedua kali yang akan didahului oleh masa tribulasi, peperangan dan kehancuran dunia. Masalah kerusakan ekologi menjadi salah satu masalah yang diperlukan sebagai bagian dari kehancuran menjelang kedatangan Tuhan. Segala bentuk dukungan untuk menyelesaikan masalah ini dianggap sebagai satu kesia-siaan dan bertentangan dengan penghakiman Allah yang akan datang (ibid. 18).
Thursday, October 18, 2007
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (1)
Nature, the world, has no value, no interest for Christians.
The Christian thinks only of himself and the salvation of his soul.
(Ludwig Aeuerbach)
PELIKNYA MASALAH EKOLOGI
Alarm bencana ekologi berdering keras di seluruh dunia. Tsunami, badai, banjir, tanah longsor, pemanasan global dan bencana ekologi lainnya membantu manusia untuk melihat holocaust ekologi yang menjadi monster menakutkan bagi manusia.[1] Semua bencana yang terjadi ini dipicu oleh ulah manusia yang diakui kedudukannya sebagai makhluk hidup yang tertinggi yang memiliki akal budi, kehendak dan perasaan dibandingkan seluruh ciptaan Tuhan yang lain. Kedudukan ini dimanfaatkan sedemikian rupa oleh manusia dengan menguasai dan mengeksploitasi ciptaan yang lain untuk kesejahteraan dirinya sendiri. Mulai dari pencemaran udara oleh asap-asap pabrik dan kendaraan bermotor, pencemaran air oleh limbah-limbah hasil produksi dan limbah rumah tangga, sampai kepada penebangan-penebangan liar di hutan dengan alasan perluasan area pemukiman dan industri. Disadari atau tidak, semua pencemaran ini membawa akibat yang fatal bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, misalnya masalah kekurangan air bersih yang sudah terasa di berbagai belahan dunia.[2] Cepat atau lambat, semua masalah ini akan membawa manusia kepada holocaust yang dahsyat—kematian seluruh umat manusia. Apakah selama ini kekristenan memberikan jawaban?
[1]Mutiara Andalas, “Pasca-‘Holocaust’ Ekologi,” Kompas (9 Januari 2006) 6.
[2]Sarono mengutip karya Vandhana Shiva (2002) dalam bukunya “Water Wars: Privatisasi, Profit, dan Polusi” yang memaparkan betapa langkanya air bersih di Maquiladora, Meksiko. Akibatnya, anak-anak dan bayi terpaksa minum Coca Cola dan Pepsi. Untuk wilayah Indonesia sendiri, sebagai contoh DKI Jakarta pada tahun 2003, dari 43 kecamatan yang ada, 11 kecamatan dinyatakan mulai mengalami krisis air, sedangkan 17 kecamatan dinyatakan rawan kekurangan air (“Air, Penyulut Perang Abad Ini?,” Suara Pembaruan [21 Maret 2004]).
The Christian thinks only of himself and the salvation of his soul.
(Ludwig Aeuerbach)
PELIKNYA MASALAH EKOLOGI
Alarm bencana ekologi berdering keras di seluruh dunia. Tsunami, badai, banjir, tanah longsor, pemanasan global dan bencana ekologi lainnya membantu manusia untuk melihat holocaust ekologi yang menjadi monster menakutkan bagi manusia.[1] Semua bencana yang terjadi ini dipicu oleh ulah manusia yang diakui kedudukannya sebagai makhluk hidup yang tertinggi yang memiliki akal budi, kehendak dan perasaan dibandingkan seluruh ciptaan Tuhan yang lain. Kedudukan ini dimanfaatkan sedemikian rupa oleh manusia dengan menguasai dan mengeksploitasi ciptaan yang lain untuk kesejahteraan dirinya sendiri. Mulai dari pencemaran udara oleh asap-asap pabrik dan kendaraan bermotor, pencemaran air oleh limbah-limbah hasil produksi dan limbah rumah tangga, sampai kepada penebangan-penebangan liar di hutan dengan alasan perluasan area pemukiman dan industri. Disadari atau tidak, semua pencemaran ini membawa akibat yang fatal bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, misalnya masalah kekurangan air bersih yang sudah terasa di berbagai belahan dunia.[2] Cepat atau lambat, semua masalah ini akan membawa manusia kepada holocaust yang dahsyat—kematian seluruh umat manusia. Apakah selama ini kekristenan memberikan jawaban?
[1]Mutiara Andalas, “Pasca-‘Holocaust’ Ekologi,” Kompas (9 Januari 2006) 6.
Subscribe to:
Posts (Atom)