Showing posts with label Alkitab Matter. Show all posts
Showing posts with label Alkitab Matter. Show all posts

Saturday, May 10, 2008

KANON (7)

KESIMPULAN

1. Allah yang menginspirasikan, Allah juga yang menguasai, membimbing, melengkapi umat-Nya untuk mengenali karya khusus-Nya itu. Allah yang memperkenalkan karya-Nya, Allah juga yang memelihara karya-Nya melalui umat-Nya.

2. Allah juga yang pada waktunya, melalui proses yang bertahap untuk merangsang pengenalan, pengumpulan dan pengkonformasian keseluruhan kanon itu secara utuh.

3. Dalam semuanya ini perlu diperhatikan bahwa yang menjadikan suatu kitab atau tulisan atau surat bersifat kanonikal bukanlah manusia, umat Allah, bapa-bapa gereja ataupun konsili-konsili gerejawi, melainkan inspirasi Allah yang ditetapkan dan dilakukan-Nya—sebagai ciri kanon—dapat dikenali oleh umat Allah.

4. Semenjak kanon Alkitab dikonformasikan, Alkitab sudah lengkap dan tidak mengalami penambahan tulisan/sisipan apapun lagi. Allah dapat dan berhak untuk membuat manusia menemukan apa yang sudah diinspirasikan-Nya, namun sampai sekarang belum ditemukan. Ia juga berhak dan dapat—kalau mau—menginspirasikan kitab/tulisan yang lain untuk ditambahkan pada kanon yang sudah ada sekarang. Tetapi:

a. Kita tidak boleh lupa bahwa Allah pun berhak dan dapat menilai serta menutup kanon seperti yang sudah ada sekarang, karena itu sudah direncanakan dan dinilai cukup bagi manusia untuk mengenal jalan keselamatan dan hal-hal lain berkenaan dengan keselamatannya.

b. Sampai saat ini kita sudah melihat bahwa melalui sejarah, kanon Alkitab sudah selesai, lengkap dan tertutup.

c. Bahkan dalam Alkitab sendiri ada petunjuk tentang hal ini:
v Sejak nabi terakhir Maleakhi, tradisi Yahudi mengenal “silent years” selama 400 tahun. Maksudnya, selama itu tidak ada wahyu yang diberikan, termasuk inspirasi; sejak itu kanon PL sudah ditutup.
v Dalam Wahyu 22:18-19 ada peringatan yang dilontarkan bagi barangsiapa yang mengurangi atau menambahkan apa yang sudah tertulis.

d. Di atas semua itu kita sudah memegang prinsip/kepercayaan bahwa seluruh proses kanonisasi berada di bawah control Roh Kudus, sehingga segala kekeliruan atau kelalaian berupa terlewatnya satu atau lebih kitab/surat, di rasa tidak masuk akal. Kalaupun ada perbantahan, akhirnya kita melihat penyelesaian yang di luar batas pengertian manusiawi semata (perhatikan kasus kitab Ester, surat Yudas, 2 Petrus, dan lain-lain).

e. Jikalau terjadi penambahan atau pengurangan dari/terhadap kanon yang sudah ada sekarang, maka ini dapat menimbulkan akibat:
Ø Kegoncangan terhadap standar iman, karena belum lengkap atau ada yang dianggap tidak relevan sehingga dikurangi.
Ø Kegoncangan dalam hal doktrin keselamatan dan keselamatan itu sendiri, karena apa yang sudah tertulis, yang merupakan kesaksian tentang keselamatan di dalam Kristus, ternyata belum sempurna.

Sunday, May 4, 2008

KANON (6)

BEBERAPA ASPEK YANG PERLU DIPERHATIKAN?:

1. Pembaca modern adalah fihak yang hidup sejauh ± 2000 tahun dari kejadian yang sebenarnya. Masalahnya kita tidak memiliki fakta-fakta yang lengkap untuk setiap kejadian.

2. Kita seharusnya menyakini bahwa para saksi mata (penulis-penulis Alkitab) adalah pribadi-pribadi yang dapat dipercaya. Mereka telah melaporkan apa yang mereka lihat, saksikan sebagaimana adanya.

3. Kita harus percaya bahwa untuk setiap pertanyaan/problem terdapat jawaban/penjelasan yang memadai. Bahkan, hal-hal yang kelihatannya seperti berkontradiksi akan memiliki jawaban dari dalamnya.

Tuesday, April 29, 2008

KANON (5)

Perjanjian Baru

1. Situasi sebelum terjadinya kanonisasi PB:

a. Bertumbuhnya suatu penghormatan dan penghargaan terhadap tulisan para rasul yang dipelihara dan dianggap bernilai. Sebelumnya hanya PL dan perkataan Yesus yang tertulis yang dianggap berotoritas, sedangkan yang lain hanya sebagai tulisan suci. Sekali lagi di sini nyata penguasaan dan pengarahan Roh Kudus atas umat-Nya untuk mengenali inspirasi-Nya.

b. Bertumbuhnya gereja menimbulkan kebutuhan adanya standar iman dan perbuatan yang lengkap, atau dengan kata lain, kebutuhan teologi dan etika. Bagaimanakah cara gereja memecahkan suatu persoalan teologis dan praktis?

c. Waktu itu biasanya kepada jemaat dibacakan surat dari para rasul yang disampaikan kepada mereka secara bergilir (1Tes. 5:27; Kol. 4:16). Sampai di sini mereka menemukan sedikit permasalahan, karena kutipan-kutipan yang dibuat oleh bapa-bapa gereja untuk mendukung penjelasan mereka dalam menangani kasus ternyata ada yang merupakan campuran kitab kanon dan Apokrifa (mis. Tatian dalam “Diatessaron” dan Justin Martir dalam “Memoris”).

d. Timbulnya ketidaksamaan sikap penerimaan terhadap tulisan-tulisan apostolic oleh beberapa bapa gereja, misalnya:
Ø Teofilus dari Antiokhia mengutip dari kitab Markus dan Yohanes dengan catatan sebagai yang dibawa oleh Roh (Spirit Bearers). Tetapi waktu mengutip dari surat-surat Paulus, ia tidak menunjukkan sikap sebagai seorang pengutip yang mengutip dari tulisan kudus.
Ø Tatian dalam mempersiapkan “harmoni dari Injil-Injil”-nya, “The Diatessaron” (ca. 170) hanya memasukkan ke-4 injil dan kemudian juga menerima pengaruh surat-surat Paulus. Tetapi kemudian Jerome menolak beberapa kitab/surat Paulus.

e. Timbulnya bidat-bidat:
ü Pada 140 AD, Marcion mengajarkan suatu ajaran tentang perbedaan Allah PL dan PB. Ia menolak PL dan dalam kanonnya ia hanya mengakui beberapa kitab tertentu sebagai firman Allah (mis. Hanya injil Lukas).
ü Efek dari konflik dengan gnostisisme. Gnostisisme yang mulai berkembang sejak abad kedua merasa perlu memiliki literature yang kudus dan mereka menolak PL. Mereka menciptakan kitab-kitab Injil yang baru untuk menjadi dasar bagi doktrin, pengajaran, dan kepercayaan mereka, misalnya injil Petrus, injil Tomas, injil Filipus, Injil kebenaran, dan lain-lain.

f. Rangsangan misi
Injil sudah mulai tersebar ke mana-mana sehingga dibutuhkan Kitab Suci bagi umat percaya dari suku dan bahasa yang berbeda. Untuk itu perlu dilakukan penerjemahan Kitab Suci, dan dengan demikian perlu dikenali dan disusun suatu kanon yang sah dan lengkap.
Semua ini merupakan suatu situasi atau rangsangan yang secara tidak langsung menimbulkan suatu kebutuhan untuk mengumpulkan dan menyatukan kitab-kitab kanonikal dan mengkonfrontasikannya sebagai kanon Alkitab yang menjadi dasar dan standar iman kepercayaan dan perbuatan umat Kristen. Kendati demikian, di balik semua itu, sebenarnya peranan Roh Kuduslah yang telah mengarahkan dan mewujudkan kebutuhan kanonisasi kitab-kitab yang diinspirasikan Allah pada umat-Nya itu. Dengan demikian timbulnya kanon Alkitab sama sekali bukan karena keinginan dan situasi yang bersifat manusiawi, melainkan berasal dari ketetapan dan rencana Allah Tritunggal yang sempurna di dalam dan melalui sejarah manusia.

2. Proses kanonisasi[1]

Secara singkat proses kanonisasi berlangsung melalui beberapa tahap:

a. Selecting Procedure, dilakukan oleh para rasul atau di antara para rasul/penulis kitab kanonikal itu sendiri.
v Yohanes 20:30 Ia menyeleksi apa yang ditulisnya.
v Lukas 1:1-4 Menunjukkan ada banyak tulisan/sumber lain, sebelum Lukas menyelidiki dan menyeleksinya untuk menyusun tulisannya.

b. Reading Procedure. Ciri kitab kanon adalah adanya suatu perintah untuk membacakannya berulang kali di gereja atau perkumpulan umat percaya. Ini menunjukkan adanya otoritas dalam tulisan itu yang melalui proses pembacaan dapat dikenali (1Tes. 5:27; Why. 1:3).

c. Circulating Procedure. Tulisan-tulisan yang dibacakan sebagai suatu karya tulis yang berotoritas di hadapan gereja-gereja itu diedarkan dan dikumpulkan oleh gereja-gereja (Why. 1:11; yang diedarkan di sekitar gereja-gereja di Asia kecil).

d. Collecting Procedure. Prosedur ketiga (Circulating) akan membawa pada suatu kebiasaan/tindakan untuk mengumpulkan tulisan-tulisan profetik dan apostolik itu. Misalnya, pada waktu surat 2 Petrus ditulis (66 AD), surat-surat Paulus sudah dipandang sebagai kanon dan sudah dikumpulkan (2Ptr. 3:15-16).

e. Quatation Procedure. Ketika Yudas dalam suratnya mengutip dari surat Petrus (Yud. 17-18; 2Ptr. 3:3), ia bukan hanya menerima tulisan Petrus sebagai karangan/tulisan biasa, melainkan sebagai suatu tulisan yang berotoritas, yaitu yang bersifat kanon. Begitu juga ketika Paulus mengutip tulisan Lukas (Luk. 10:7) dalam suratnya kepada Timotius (1Tim. 5:18).

f. Pengakuan oleh para tokoh gereja dan konsili-konsili:
· Antar abad 3-4 AD sebenarnya sudah ada tokoh/bapa gereja yang menerima dan menyusun tulisan/kitab yang sudah melalui prosedur di atas secara utuh, seperti yang kita miliki sekarang.
· Berdekatan dengan waktu itu juga susunan kanon itu dikonformasikan melalui konsili-konsili gerejawi, misalnya: Nicea (325-340), Hippo (393), dan Kartago (397 dan 419).

[1]Geisler dan Nix, General Introduction 184-186.

Thursday, April 17, 2008

KANON (4)

PROSEDUR KANONISASI KITAB-KITAB KANON PL DAN PB

Hal pengumpulan dan pemeliharaan kitab-kitab kanonikal oleh umat Allah merupakan bagian dari langkah kanonisasi. Berbeda dengan hal pengumpulan tulisan-tulisan agamawi lainnya, proses kanonisasi Nampak berjalan wajar bahkan agak “tersendat,” karena keragu-raguan yang timbul pada beberapa orang, seperti yang sudah dibahas di atas. Pengumpulan dilakukan/terjadi secara bertahap di mana kitab-kitab kanonikal itu ditambahkan pada kumpulan kitab kanonikal yang terdahulu yang sudah dikenali, sampai akhirnya lengkaplah seluruh kanon Alkitab. Melalui semuanya itu tampaklah adanya campur tangan yang tidak terlihat oleh mata lahiriah dari Sang Pemberi inspirasi. Untuk itu pada bagian terakhir ini kita akan membahas mengenai prosedur kanonisasi secara ringkas.

Perjanjian Lama

Kanonisasi PL dilakukan melalui beberapa orang yang memegang peranan penting di tengah bangsa Israel bersama dengan umat Allah secara global. Mereka inilah yang mempunyai role penting dalam hal kanonisasi PL, di antaranya adalah:

o Para nabi Allah (mis. 2Raj. 22:14-16).
o Para raja bersama dengan rakyat Yahudi (2Raj. 23:2-3); Klerus bersama dengan umat Allah (Neh. 10:28-29).
o Ezra, sebagai ahli Taurat, merupakan orang terakhir yang diperkirakan mengumpulkan semua kitab kanonikal PL dan menyatukannya (Ez. 7:6, 10, 14). Ini terjadi kira-kira abad 5 BC, yaitu pada masa Arthasasta I (465-424 BC). Pada waktu itu Hagai dan Zakharia yang mencatat tahun pelayanan mereka, dan juga Maleakhi (yang walau tidak jelas tahun pelayanannya, namun besar kemungkinan hidup dan menulis kitabnya ± 450 BC); mereka merupakan penulis kitab kanonikal terakhir.

Data pengakuan terhadap kanon PL terpagi didapati dalam:
1. Fakta penerjamahan PL ke dalam bahasa Yunani di Aleksandria yang dilakukan atas perintah Ptolemy Philadelpus (285-247 BC). Penerjemahan ini dilakukan oleh 72 orang Yahudi selama 70 hari, sehingga dikenal dengan sebuatan LXX (Septuaginta). Fakta ini mengindikasikan bahwa waktu itu (sekitar abad 3 BC) PL telah berakhir.

2. Kesaksian Yesus bin Sirakh (± 170 BC) dalam karangannya yang terkenal, The Ecclus, menunjukkan bahwa ia sudah mengenal seluruh PL dan menghormatinya sebagai tulisan suci dan berotoritas dari para nabi yang mendapat inspirasi Roh Allah.

3. Philo (13 BC- 50 AD), sejarawan dan filsuf Yahudi yang walaupun tidak menerima inspirasi Allah (yang khusus atas orang tertentu), tetapi kutipan-kutipan yang dibuatnya (dari kitab Taurat) menunjukkan bahwa ia amat menghormati kitab itu sebagai sumber hikmat. Ia tidak pernah mengutip dari kitab-kitab Apokrifa yang waktu itu banyak didapati. Hal ini jelas memperlihatkan adanya suatu pengenalan akan otoritas yang berbeda dalam PL.

4. Catatan yang ditemukan dan ditulis oleh bapa-bapa gereja beberapa waktu kemudian menunjukkan sudah terjadinya kanon PL (walaupun ada satu atau dua kitab yang “diragukan” misalnya Ester, Ratapan).
5. Kanon PL secara lengkap dinyatakan sah dan diterima ketika Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya menerima dan mengenali kitab kanon PL itu (Luk. 24:44-45; Gal. 3:6-13; 2Kor. 6:16-17; Rm. 14:11; 1Ptr. 1:24-25; Kis. 4:25-26). Juga Yohanes dalam kitab Wahyu yang ditulisnya banyak mengutip PL dan menyatakan bahwa semua itu akan digenapi. Jadi kanon PL bukan hasil penurunan tradisi baik dari/oleh umat Yahudi maupun oleh para bapa gereja (Origen, Athanasius, Jerome).

Monday, April 14, 2008

KANON (3)

KRITERIA PENGUJIAN

Karena itu mengenali suatu kitab sebagai tulisan yang kanonikal berarti mengenali asal usul kitab yang bersangkutan secara ketat sebagai kitab yang berotoritas, yang diinspirasikan. Untuk itu ada beberapa cirri yang perlu diperhatikan di dalam mengenali kitab-kitab kanonikal tersebut.

Pendekatan Secara Negatif (Negative Approach)[1]
1. Kriteria pertama adalah bukan karena sebuah kitab berusia tua (kuno) yang dikenali sebagai kanon. Pada waktu itu terdapat cukup banyak kitab kuno, bahkan lebih kuno dari kanon yang ada, tetapi tidak termasuk kanon, seperti misalnya kitab “peperangan Tuhan” (Bil. 21:14), Kitab Orang Jujur (Kitab Yasar, Yos. 10:13). Selain itu ada kitab-kitab yang ternyata usianya tidak terlalu tua, tetapi justru termasuk kanon, seperti misalnya tulisan Musa yang ditulis ketika ia masih hidup, sudah diterima dan diakui sebagai kanon (Ul. 31:24-26). Daniel, seorang nabi yang sezaman dengan Yeremia, mengakui tulisan Yeremia sebagai tulisan yang berotoritas atau kanonikal (bdk. Dan. 9:2). Jadi usia kitab tidak menentukan dan tidak menjadi factor pengenal yang baik/tepat atas kitab kanonikal.

2. Kriteria berikutnya bukan karena sebuah kitab yang berbahasa Ibrani yang dikenali sebagai kanon. Seperti halnya argument di atas, ada kitab/tulisan yang lain yang juga berbahasa Ibrani, tetapi tidak termasuk kanon, misalnya kitab-kitab Ecclesiasticus dan Apokrifa. Sebaliknya, justru ada bagian kitab PL yang tidak menggunakan bahasa Ibrani, melainkan Aramaik, tetapi termasuk kanon (Dan. 2:4b-7:28; Ez. 4:8-6:18; 7:12-26).

3. Kriteria selanjutnya yang dikatakan “tidak bertentangan dengan hokum Taurat” juga tidak merupakan penguji yang akurat. Hal ini dikarenakan pada umumnya orang-orang Yahudi yang saleh bila menulis kitab-kitab, khususnya yang bersifat religious, selalu bersesuaian dengan kitab Taurat, yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh kaum Yahudi sebagai standar utama dari semua doktrin dan pengajaran serta kehidupan etis mereka (lih. Mis. Talmud dan Midrash; karangan Iddo, pelihat raja; 2Taw. 12:15).
Untuk kanon PB, criteria “yang dikarang oleh Paulus” juga tidak berarti semua surat/tulisan Paulus termasuk kanon, karena ternyata ada surat-surat Paulus yang tidak termasuk kanon (surat Laodikia, Kol. 4:16; surat Korintus yang hilang [1Kor. 5:9]).

4. Kriteria “yang bernilai dan bersifat religious” juga tidak merupakan penguji yang tepat. Hal ini pun tidak dapat dijadikan patokan karena pada waktu itu (zaman Alkitab) ternyata sudah ada literature agama yang tidak sedikit, namun tidak termasuk kanon karena umat Allah tidak mengenali adanya otoritas di dalamnya (misalnya, kitab-kitab Apokrifa dan Ecclesiasticus; bdk. Yohanes dan Lukas yang menyaksikan adanya literature agama pada zaman mereka; Yoh. 21:25; Luk. 1:1-4).

Pendekatan secara positif:[2]
1. Kriteria yang benar yang perlu dijadikan ukuran adalah: Apakah kitab/tulisan tersebut berotoritas ilahi?
Apakah yang dikatakan dalam kitab itu mempunyai bobot otoritas Allah? (bandingkan kutipan Yesus atas Yesaya dalam Markus 1:22; orang-orang yang mendengar, melihat dan mengenali adanya otoritas di dalam perkataan/pembacaan Tuhan Yesus atas bagian PL itu.) Kitab Kanonikal memiliki penunjuk diri yang jelas dan biasanya ada dalam bentuk pengkalimatan: “Maka berfirmanlah Allah . . .; Maka Allah berkata kepada . . .; Firman Allah pun sampai kepada . . .”
Paulus dengan tegas dan berani mengklaim bahwa tulisannya bukanlah karena keinginan/maksud manusia, melainkan karena Yesus. Ia menekankan otoritas yang ada di dalam tulisannya itu (Gal. 1:1, 12).

2. Kriteria benar berikutnya adalah: Apakah kitab itu bersifat prophetic/apostolic?
Firman yang diinspirasikan Allah dalam Roh-Nya terjadi melalui orang-orang pilihan Allah yang sudah dipersiapkan-Nya. Tidak sembarang orang/umat yang menuliskan wahyu khusus Allah itu (2Ptr. 1:20-21; Ibr. 1:1).

Catatan:
· Tulisan yang kemudian juga diajarkan oleh rasul[3] Palsu ditolak oleh otoritas rasuli Paulus (Gal. 1:6-7; 2:4).
· Kadang Alkitab memang mencatat ucapan, kritikan, nubuat yang dikeluarkan oleh orang yang diragukan kenabiannya, atau bahkan dari luar umat Allah, misalnya nubuat Bileam (Bil. 24:17); kutipan dari orang kafir atau sasta Yunani (Yoh. 11:49-50; Kis. 17:28; 1Kor. 15:33; Tit. 1:12). Untuk ini perlu dipahami bahwa semua itu tetap dicatat oleh para penulis ke dalam kanon, dan ini tentunya terjadi di bawah control Roh Kudus serta dapat dipertanggungjawabkan argumentasinya.
· Tulisan asli dari men of God itulah yang diterima, jika tidak, maka ditolak. Misalnya, dalam 2 Tesalonika 2:2-3, ada tulisan yang seolah-olah ditulis men of God, tetapi ternyata bukan. Tulisan Koheleth tentang riwayat Salomo yang juga ditolak. Di sini kita dapat melihat bahwa Roh yang menginspirasikan adalah juga Roh yang menolong umat Allah untuk mengenali karya asli dari men of God yang mendapat inspirasi, sehingga manipulasi dan kekeliruan yang mungkin dibuat manusia dapat terhindarkan.

3. Kriteria benar selanjutnya mengacu ukuran: Apakah kitab itu otentik/orisinil?
Pertanyaannya di sini adalah: Apakah kitab itu mengatakan hal yang benar tentang Allah, manusia dan lain-lain, sehingga terdapat persesuaian atau keselrasan dengan kanon yang terdahulu? Kuncinya adalah sebuah kitab tidak boleh memiliki kontradiksi dengan kebenaran yang standar secara keseluruhan. Itulah sebabnya kita lihat misalnya:
§ Kisah Para Rasul 17:11, orang Kristen Berea menguji penalaran Paulus apakah memang itu sesuai dengan kitab suci (PL) yang waktu itu sudah mereka miliki.
§ Penolakan terhadap kitab Apokrifa karena ada hal yang kurang logis, tidak konsekuen dengan apa yang sebenarnya, baik dalam hal lokasi geografis, moral, Allah, dan lain-lain.
Pada prinsipnya, firman Allah yang diinspirasikan itu tentunya haruslah logis dan konsekuen dengan kebenaran Allah sendiri.

4. Kriteria benar lainnya adalah: Adakah suatu kuasa yang dinamis di dalamnya?
Yang dimaksud ialah kuasa yang hidup dan aktif di dalam tulisan itu (bdk. Ibr. 4:12), sehingga memiliki suatu daya gerak/mobilisasi yang mendorong manusia untuk berbuat/melakukannya, untuk pengajaran, penginjilan (2Tim. 3:16). Bagi mereka yang menaati berita kanon itu sungguh melihat serta mengalami perubahan atau pembaharuan di dalam hidupnya.

5. Kriteria benar lainnya adalah: Apakah kitab itu secara umum diterima umat Allah?
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pengenalan kanon PB adalah melalui suatu jangka waktu dan itu menunjukkan bahwa hal diterimanya kitab-kitab kanonikal itu merupakan suatu kesaksian tersendiri dari siding-sidang gereja, melainkan merupakan suatu kesaksian bersama atas suatu fakta bahwa semua kanon itu sudah diterima oleh bapa-bapa gereja terdahulu.[4]

[1]Ibid. 130-132.
[2]Ibid. 138-143.
[3]Kualifikasi Rasul:
1. Rasul adalah seorang yang telah melihat Tuhan Yesus setelah kebangkitan dengan mata kepalanya sendiri (Kis. 1:2-3, 22; 4:33).
2. Rasul adalah seorang yang secara khusus diutus oleh Tuhan Yesus, dengan demikian Paulus di jalan menuju Damsyik melalui wahyu diutus oleh Kristus termasuk di dalamnya (Kis. 26:15-18; 1Kor. 9:1; 15:7-9).
3. Rasul diutus dengan tugas khusus yaitu untuk melakukan penginjilan (Mat. 10:1-7), menjadi saksi (Kis. 1:8), dan mengajar.
[4]Bagaimana halnya dengan kasus seperti kitab-kitab Wahyu, 2 Petrus, Ester, Yudas, yang pada mulanya mengalami pertentangan yang besar untuk dapat diterima sebagai bagian dari kanon? Untuk ini ada beberapa prinsip yang perlu kita pegang: Pertama, Roh Kudus yang menginspirasikan akan menerangi umat Allah untuk mengenali karya-Nya. Kedua, umat Allah yang terdahulu, yang sezaman merekalah yang umumnya lebih dulu mengenali (kitab Musa oleh Yosua; surat Paulus oleh rasul Petrus). Keragu-raguan baru timbul kemudian dari beberapa/sekelompok kecil orang Kristen dengan alasan masing-masing. Ketiga, pada akhir penggalan sejarah ternyata terjadi penerimaan universal terhadap kitab-kitab kanonikal tersebut walaupun melalui waktu yang bertahap.

KANON (2)

PENETAPAN KANON ALKITAB

Pengertian Dasar

Ada perbedaan besar antara patokan yang ditetapkan Allah dan pengenalan manusia terhadap kitab-kitab yang ditetapkan Allah sebagai kanon. Yang menjadikan suatu kitab itu kanonikal dan berotoritas adalah inspirasi Allah, bukannya pengenalan dan pengakuan manusia serta konsili gerejawi yang mengesahkan kanon tersebut. Justru karena sifat kanon yang dikandung dalam kitab yang diinspirasikan itulah yang menjadikan kitab itu berotoritas serta memiliki ciri-ciri sebagai kanon yang dapat diuji, dikenali dan ditemukan oleh umat percaya. Inilah pengertian dasar yang perlu diterapkan dan apa criteria yang harus dikenakan untuk menemukan kanon kitab tersebut di antara kitab-kitab ataupun tulisan-tulisan lainnya.
Catatan:
- Gereja bukanlah penetap kanon, tetapi penemu kanon.
- Gereja bukan ibu (yang menghasilkan) kanon, tetapi anak (atau hasil) dari keberadaan kanon.
- Gereja bukanlah yang menghakimi kanon, melainkan melayani kanon.
- Gereja bukanlah pengatur (regulator) kanon, melainkan yang mengenali kanon (recognizer).

Saturday, April 12, 2008

KANON (1)

PENGERTIAN TENTANG KANON

A. Secara hurufiah
Kata “kanon” berasal dari kata Yunani kuno, kanon, yang dilatinkan dengan arti “tongkat yang lurus” (reed), sebagai alat pengukur, penguji kelurusan; penggaris (ruler), yang biasa dipakai oleh tukang kayu. Istilah ini juga diperkirakan dimiliki oleh bahasa Ibrani, “qaneh,” yakni semacam buluh. Dalam PL, istilah ini dipakai dengan pengertian sebagai tombak pengukur (Yeh. 40:3; 42:16).

B. Secara Metafora
Konsep hurufiah istilah “kanon” kemudian berkembang dan menjadi konsep dasar pengertian metafora (yaitu: standar, norma, criteria untuk menguji sesuatu). Dalam masa pra-Kristen (zaman Yunani) pengertian metafora ini sudah umum dipakai, misalnya untuk menggambarkan standar di bidang seni, sastra/literature, etika dan lain-lain. Dalam PB Paulus juga sudah memakai pengertian metafora ini yang sebenarnya sudah mendekati pengertian teologis (Gal. 6:16, “ . . . semua orang, yang member dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera dan rahmat atas mereka. . .”).

C. Secara Teologis
Istilah “kanon” terus berkembang pengertiannya. Di kalangan Kristen abad permulaan kata ini kemudian mengandung pengertian “patokan iman,” “tulisan-tulisan normatif atau otoritatif” (misalnya, bapa-bapa gereja sejak Irenaeus memakai sebutan “Canon of the Church,” “Canon of the Truth,” dan “Canon of the Faith” untuk menunjuk pada pengajaran yang normatif). Namun pemakaian yang dengan jelas mempunyai hubungan dengan Alkitab baru muncul pertama kali sekitar tahun 350 AD oleh Athanasius yang didalamnya mengandung pengertian baik secara aktif (yaitu sebagai standar) maupun secara pasif (yaitu yang dikenali gereja sebagai kanonikal). Dengan demikian kanon merupakan kitab-kitab yang diterima, dikenali oleh gereja sebagai kitab yang mempunyai sebagaimana seharusnya firman Allah.[1]

Taken from Dr. Daniel Lukas Lukito's Lecture


[1]Lih. Norman Geisler & William E. Nix, A General Introduction to the Bible (Chicago: Moody, 1982) 127-128.