KASIH ALLAH DAN MURKA ALLAH
A. Kasih Allah dan murka Allah
Jika Impasibilitas didefinisikan sebagai ketiadaan “perasaan-perasaan” secara total, maka anda tidak hanya mengabaikan bukti-bukti alkitabiah, tetapi anda juga akan jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan kekudusan Allah. Alasannya, kekudusan Allah berkaitan dengan murka Allah (perasaan). Akibat dari mengabaikan murka Allah adalah mengurangi kekudusan Allah. Allah memiliki afeksi yang kuat akan murka-Nya akan dosa, sehingga gagasan yang keliru akan impasibilitas Allah akan segera melawan kekudusan Allah sendiri. Jika demikian, bagaimana seharusnya kasih Allah dan murka Allah dipahami dan dihubungkan satu sama lainnya?
Satu gagasan klise dari kaum Injili mengatakan bahwa Allah membenci dosa tetapi mengasihi orang berdosa. Memang kelihatannya benar, tetapi kita tidak dapat pungkiri bahwa empat belas kali dalam lima puluh Mazmur pertama dikatakan Allah membenci para pendosa (bdk. Yoh. 3:36). Tetapi Allah bukanlah murka yang buta dan tidak dapat ditenangkan. Betapapun emosionalnya murka Allah, murka itu sepenuhnya merupakan respons yang beralasan dan dikehendaki terhadap pelanggaran-pelanggaran yang melawan kekudusan-Nya. Allah dalam kesempurnaan-Nya harus murka terhadap para penyandang gambar-Nya yang memberontak, karena mereka telah menyakiti hati-Nya; Allah dalam kesempurnaan-Nya harus mengasihi para penyandang gambar-Nya yang memberontak, karena Dia adalah Allah yang mengasihi. Apakah anda ingin melihat kasih Allah? Lihatlah Salib! Apakah anda ingin melihat murka Allah? Lihatlah Salib!
Tetapi hal ini akan membawa kita kepada gagasan keliru yang kedua yaitu Allah digambarkan sebagai musuh kita yang tidak dapat didamaikan dan penuh murka, tetapi ditenangkan oleh Yesus, yang mengasihi kita (berdasarkan surat Ibrani). Namun, kita harus melihat bagian lain yang dengan jelas menunjukkan betapa Allah sendiri yang mengutus Anak-Nya (Yoh. 3:16). Dia tidak segan mengirim Anak-Nya. Sang Bapa yang penuh murka yang adil terhadap kita, tetap begitu mengasihi kita sehingga Dia mengutus Anak-Nya. Sang Anak, yang dengan sempurna mencerminkan perkataan dan perbuatan Bapa-Nya, berdiri di hadapan kita dalam murka—murka Allah. Allah sudah menjadi subjek dan objek propisiasi. Dia yang menjadi korban (subjek), dan Dia sendiri menerima korban propisiasi itu (objek) (Rm. 3:21-26). Inilah kemuliaan salib!
B. Kasih Allah dan tujuan penebusan (Atonement)
Konsep penebusan terbatas menurut Carson sangat tidak menguntungkan karena bersifat defensif dan bisa menyesatkan. Alasannya adalah ada bagian-bagian dari firman Tuhan pula yang mengemukakan betapa Allah mengasihi dunia ini. Tetapi Carson juga tidak menutup mata terhadap penebusan Allah bagi umat-Nya (berdasarkan bagian firman Tuhan lainnya). Karena itu, Carson melihat bahwa penebusan itu cukup untuk semua orang dan efektif bagi umat pilihan. Berdasarkan 1 Yohanes 2:2, ia menyatakan bahwa Rasul Yohanes sebenarnya memaksudkan penebusan Kristus memiliki makna “secara potensial untuk semua orang tanpa pembedaan” daripada “secara efektif untuk semua orang tanpa pengecualian.” Hal ini mengingat konteks sejarah waktu itu di mana Rasul Yohanes sedang menghadapi kaum Protognostik yang memiliki pemikiran bahwa mereka sendiri adalah kelompok elit ontologis yang menikmati hubungan khusus dengan Allah karena pemahaman khusus yang telah mereka terima.
Karena itu untuk menjembatani pemahaman Calvinis dan Arminian, Carson menyatakan bahwa Kristus mati untuk semua orang, dalam pengertian bahwa kematian Kristus cukup untuk semua orang dan bahwa Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai Allah yang mengundang, memerintahkan, dan menginginkan keselamatan semua orang semata-mata karena kasih (dalam pengertian ketiga yang dikembangkan pada bab awal). Selain itu, semua orang Kristen juga harus mengakui bahwa, dalam pengertian yang berbeda, Yesus Kristus, menurut tujuan Allah, mati secara efektif hanya untuk umat pilihan-Nya semata, sesuai dengan cara yang digunakan Alkitab dalam membicarakan mengenai kasih Allah yang khusus dan selektif kepada umat pilihan-Nya (dalam pengertian keempat yang dikembangkan di bab awal).
Carson memberikan implikasi pastoral dari topik ini yaitu:
1. Setiap pengkhotbah (dalam konteks bukunya ini, pengkhotbah muda Reformed) harus berani memberitakan dan menyatakan kepada orang yang tidak percaya bahwa “Tuhan mengasihi mereka” (ungkapan ini tidak hanya berlaku kepada orang yang sudah percaya).
2. Memelihara konsep penebusan khusus (Carson menghindari pemakaian kata “terbatas”) dapat mencegah manusia memegahkan diri. Anugerah keselamatan semata-mata berasal dari Allah, bukan keputusan manusia.
C. Kasih Allah kepada dunia ini
Kasih Allah kepada dunia ini patut dipuji karena memanifestasikan pengorbanan diri yang mengagumkan; sedangkan kasih kita kepada dunia ini menjijikkan ketika kasih tersebut bernafsu untuk ikut dalam kejahatan. Kasih Allah kepada dunia ini pantas mendapat pujian karena kasih tersebut membawa Injil untuk mentransformasi dunia; sedangkan kasih kita kepada dunia ini buruk karena kita berusaha untuk serupa dengan dunia.
D. Kasih Allah dan umat Allah
Carson memberikan tiga renungan singkat:
1. Kita tidak boleh lupa untuk bertanggung jawab memelihara diri kita dalam kasih Allah (Yud. 21), mengingat bahwa Allah itu mengasihi dan berbelas kasihan kepada mereka yang mengasihi-Nya dan yang berpegang pada perintah-perintah-Nya (Kel. 20:6).
2. Kasih Allah harus diterima, diserap, dan dirasakan. Sesering mungkin renungkan doa Paulus dalam Efesus 3:14-21. Paulus menghubungkan pengalaman orang Kristen akan kasih Allah itu dengan kedewasaan Kristen (3:19). Sangatlah sulit untuk dipahami apabila seseorang dapat menjadi seorang Kristen yang dewasa tetapi tidak berjalan dalam jalan ini.
3. Jangan sekali-kali meremehkan kuasa kasih Allah untuk meluluhkan dan mentransformasi individu-individu yang paling keras sekalipun. Tentu Tuhan memakai kita menjadi alat-Nya. Karena kasih Allah mentransformasi kita sehingga kita memerantainya juga kepada orang lain. Kita mengasihi karena Dia telah terlebih dahulu mengasihi kita, kita mengampuni karena kita telah diampuni.
The Clue: Dosa yang terutama dan pertama adalah tidak mengasihi Allah dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Untuk hal ini tidak ada cara untuk memperbaikinya, selain apa yang telah Allah sendiri berikan—yaitu di dalam kasih.
Showing posts with label Refleksi Buku. Show all posts
Showing posts with label Refleksi Buku. Show all posts
Thursday, April 10, 2008
Tuesday, April 8, 2008
Ringkasan Buku Doktrin yang Sulit Mengenai Kasih Allah (3)
KASIH ALLAH DAN KEDAULATAN ALLAH
A. Elemen afektif dalam kasih Allah
Allah memiliki elemen afektif seperti yang ditunjukkan-Nya di dalam Hosea 11. Tetapi ketika Ia berkata bahwa hati-Nya berbalik dalam diri-Nya, belas kasihan-Nya bangkit serentak, bukan berarti bahwa Dia telah berubah pikiran, sebaliknya, ini berarti bahwa ancaman jangka panjang dari hukuman yang permanen pasti dikesampingkan. Dengan kata lain, secara praktis, kita harus membatasi pikiran kita terhadap elemen afektif Allah yang terkesan Allah berubah-ubah dan dapat hanyut menurut perasaan manusia. Kasih Allah jauh lebih kaya daripada kasih kita.
B. Kedaulatan dan transendensi Allah
Kedaulatan Allah tidaklah bersifat fatalisme. Alur sentral dari tradisi Kristen tidak mengorbankan kedaulatan Allah yang mutlak dan juga tidak mengurangi tanggung jawab para penyandang gambar-Nya. Ini namanya kompatibilisme. Artinya, kedaulatan Allah yang tidak bersyarat dan tanggung jawab manusia dapat saling kompatibel. Beberapa bukti yang Carson berikan adalah: Saudara Yusuf bekerja, Allah juga bekerja, tetapi beda motivasi (Kej. 50:19-20). Asyur merasa diri kuat padahal Asyur hanya alat di tangan Tuhan (Yes. 10:5 dst.). Ada konspirasi jahat yang mengikutsertakan Herodes, Pilatus, para penguasa non Yahudi, dan para pemimpin Yahudi; tetapi mereka melaksanakan segala sesuatu yang telah Allah tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak Allah (Kis. 4:23-29). Dan terakhir, lihatlah kepada penyaliban Kristus?
Carson sangat berhati-hati sekali mengemukakan konsep ini agar tidak terjebak ke dalam pemahaman open theism. Ketika berbicara imutabilitas Allah (ketidakberubahan-Nya), Dia tidak berubah dalam keberadaan-Nya, tujuan-tujuan-Nya, dan kesempurnaan-Nya. Tetapi ini tidak berarti bahwa Dia tidak dapat berinteraksi dengan para penyandang gambar-Nya di dalam waktu mereka. Tujuan Allah sejak kekekalan adalah mengutus Anak-Nya, tetapi pada saat yang telah ditetapkan dalam kontinum waktu-ruang kita, Sang Anak berinkarnasi.
Yang perlu kita saluti dari konsep Carson adalah ia tetap memegang teguh akan kedaulatan Allah atas segala sesuatu, dan tujuan-tujuan-Nya baik. Manusia kadang melakukan hal-hal yang baik, yang didorong oleh anugerah Allah, dan Dia memperoleh penghargaan; kita seringkali melakukan hal-hal yang jahat, dan meskipun kita tidak pernah bisa lari dari kedaulatan Allah, kita sendirilah yang harus bertanggung jawab dan harus disalahkan. Great statement! Transendensi Allah yang berdaulat dan kepribadian-Nya terdapat di dalam Alkitab. Kedua-duanya adalah aspek-aspek terberi (given). Jangan coba-coba angkat kedua hal ini ketika berbicara tentang Allah. Hasilnya Open Theism! Dan Carson jelas menolak dengan tegas konsep ini!
C. Impasibilitas (bebas dari perasaan dan penderitaan) yang dibatasi dengan tepat
Impasibilitas yang tepat adalah ketika melihat seluruh emosi Allah, termasuk kasih-Nya–dalam semua aspeknya—tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan Allah, kuasa Allah, dan kehendak Allah. Jika Allah mengasihi, itu karena Dia memilih untuk mengasihi; jika Dia menderita, itu karena Dia memilih untuk menderita. Perasaan-perasaan Alah tidak seperti perasaan kita yang secara tiba-tiba meluap keluar kendali, tetapi perasaan Allah seperti segala sesuatu lainnya dalam Allah, ditunjukkan bersama-sama dengan kepenuhan dari seluruh kesempurnaan-Nya yang lain. Allah tidak “jatuh cinta” dengan umat pilihan-Nya, Dia tidak “jatuh cinta” dengan kita; Dia memberikan afeksi-Nya kepada kita. Dia tidak mempredestinasikan kita karena ingin membuat lelucon; sebaliknya, dalam kasih Dia menentukan kita dari semula untuk menjadi anak-anak-Nya (Ef. 1:4-5).
Kesimpulan:
(1) Allah menyatakan kasih ini bersama-sama dengan seluruh kesempurnaan-Nya yang lain, tetapi ini tidak menjadikan kasih-Nya kalah dari semuanya itu.
(2) Kasih-Nya berasal dari karakter-Nya sendiri; tidak tergantung kepada keindahan orang-orang yang dikasihi yang berada di luar diri-Nya sendiri. Karena itulah kita seharusnya mengasihi orang bukan karena apa yang ada di dalam diri orang tersebut, melainkan karena kita sudah diubahkan oleh Injil, kasih kita seharusnya berasal dari diri kita sendiri, bukan didapat dari keindahan orang-orang yang dikasihi. Karena itulah cara Allah. Dia mengasihi karena kasih merupakan salah satu kesempurnaan-Nya, dalam harmoni yang sempurna dengan semua kesempurnaan-Nya yang lain.
“Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1Yoh. 4:10)
Ringkasan Buku Doktrin yang Sulit Mengenai Kasih Allah (2)
ALLAH ADALAH KASIH
A. Cara yang tidak tepat untuk memulainya.
Pemahaman Allah adalah kasih biasanya menempatkan kasih Allah dalam kata agapao. Namun apakah kata ini memang dapat menunjukkan secara jelas akan kasih Allah? Carson membuktikan secara sederhana bahwa kata agapao tidak bisa serta merta menggambarkan kasih Allah karena secara studi kata, kata ini juga dipakai di bagian lain secara jahat—bukan dalam bentuk kasih yang “lebih tinggi” (lih. 2Sam. 13, kisah Amnon dan Tamar). Poin utama dari maksud Carson ini adalah kita tidak dapat memahami natur kasih Allah hanya dengan studi kata yang cacat secara metodologi.
B. Bagaimana untuk memulainya: Ayat dalam konteksnya.
Carson memberikan contoh dari Yohanes 5:16-30, bagaimana melihat kasih Allah di dalam konteksnya ayatnya. Ada 2 hal yang menjadi latar belakang dari implikasi ucapan Yesus yang mengotorisasi aktivitas sabat-Nya sendiri (ay. 17): (1) “Keanakan” (Sonship) sangat sering merupakan sebuah kategori fungsional di dalam Alkitab. Artinya, Yesus secara implisit mengklaim diri-Nya sebagai Anak Allah, dengan hak untuk mengikuti pola pekerjaan Allah sendiri tetapkan, dan (2) Yesus memang berhak “bekerja” pada hari sabat karena Ia adalah Allah yang “bekerja” bahkan pada hari sabat (sehingga pemeliharaan-Nya tetap berlangsung), tetapi Dia tidak “bekerja” dengan cara yang melanggar hari sabat. Tentu saja, ini merupakan jalan keluar yang hanya berlaku bagi Allah saja. Klaim Yesus sebagai Anak Allah yang menyerupai Allah dalam segala hal (prinsip anak seperti bapanya) membenarkan pekerjaan sabat-Nya sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, ada 5 poin yang Carson simpulkan pada bagian Yohanes 5:16-30:
1. Yesus menyangkal bahwa Dia melawan Allah dengan menempatkan diri-Nya sebagai pengganti Allah. Justru sebaliknya: Ia bergantung sepenuhnya pada Bapa dan tunduk kepada Bapa → Dia dapat mengerjakan hanya apa yang Dia lihat Bapa kerjakan (subordinasi) sebab Dia mengerjakan apapun yang dikerjakan Bapa (tindakan yang koekstensif).
2. Yesus adalah Anak Allah yang begitu unik dan tidak terbatas sehingga Bapa menunjukkan kepada-Nya semua yang Dia kerjakan, karena kasih kepada-Nya, dan Anak bergantung pada Bapa-Nya dan mengerjakan segala sesuatu yang dikerjakan Bapa.
3. Hubungan antara Bapa dan Anak merupakan standar bagi semua hubungan kasih yang lain. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal memberikan alasan bahwa: jika Allah tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, bagaimanakah mungkin Dia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia (Rm. 8:32)?
4. Kesempurnaan ketaatan Anak (melakukan segala yang diperintahkan Bapa) didasarkan kepada kasih-Nya kepada Bapa (14:31).
5. Ayat 20 menjelaskan bahwa Anak akan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti Bapa yaitu membangkitkan orang mati. Yesus berbeda dengan misalnya Elia—perantara untuk menghidupkan orang mati. Dia juga memiliki hak prerogatif karena Bapa telah “menunjukkan” kepada-Nya.
C. Beberapa refleksi sintesis penutup
1. Kasih Bapa kepada Anak, dan kasih Anak kepada Bapa, tidak dapat dibatasi hanya pada hubungan Kristus yang terjadi mulai dari Inkarnasi saja, tetapi secara intrinsik hubungan ini bersifat intra-Trinitarian. Hal ini membuat kita paham bahwa Allah adalah kasih karena selalu terdapat orientasi kepada pribadi yang lain dalam kasih Allah. Seluruh manifestasi kasih Allah itu muncul dari realitas yang lebih dalam dan lebih fundamental: kasih terjadi di dalam natur Allah itu sendiri. Allah adalah kasih.
2. Pola kasih Bapa kepada Anak dan sebaliknya menjadi model dan insentif bagi relasi kita dengan Yesus. Jika kita mengasihi Dia, kita akan menuruti segala perintah-Nya (14:15); di sini, jika kita menuruti segala perintah-Nya, kita tetap berada di dalam kasih-Nya. Karena itu, relasi kita dengan Yesus mencerminkan relasi Yesus dengan Bapa-Nya yang di Sorga—tentu saja, merupakan tema utama dalam Yohanes 17.
“Kita bukan lagi budak tetapi sahabat. Apa yang telah membuat perubahan ini adalah bahwa dalam kegenapan waktu, Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, dan Anak taat; bahwa Bapa mengasihi Anak dan memutuskan bahwa semua orang harus menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa; dan Bapa dan Anak, dalam harmoni rencana dan visi yang sempurna, pada waktu yang telah Allah tentukan, memainkan peranan mereka—Bapa mengutus, memberi mandat, “menunjukkan,” dan Anak datang, mengungkapkan, menyingkapkan apa yang telah “ditunjukkan” kepada-Nya, dan dalam ketaatan berjalan menuju Salib. Dan kita, ahli waris kovenan yang baru, telah mendapatkan hak istimewa untuk ikut masuk ke dalam rencana yang gemilang ini. Kita adalah sahabat Allah. . . . Dan kita telah mendapatkan hak istimewa yang tak ternilai, tidak hanya diselamatkan oleh kasih Allah, tetapi juga ditunjukkan kasih itu, diberitahu tentang-Nya, dan diizinkan untuk ikut di dalam pikiran Allah.” (Carson)
A. Cara yang tidak tepat untuk memulainya.
Pemahaman Allah adalah kasih biasanya menempatkan kasih Allah dalam kata agapao. Namun apakah kata ini memang dapat menunjukkan secara jelas akan kasih Allah? Carson membuktikan secara sederhana bahwa kata agapao tidak bisa serta merta menggambarkan kasih Allah karena secara studi kata, kata ini juga dipakai di bagian lain secara jahat—bukan dalam bentuk kasih yang “lebih tinggi” (lih. 2Sam. 13, kisah Amnon dan Tamar). Poin utama dari maksud Carson ini adalah kita tidak dapat memahami natur kasih Allah hanya dengan studi kata yang cacat secara metodologi.
B. Bagaimana untuk memulainya: Ayat dalam konteksnya.
Carson memberikan contoh dari Yohanes 5:16-30, bagaimana melihat kasih Allah di dalam konteksnya ayatnya. Ada 2 hal yang menjadi latar belakang dari implikasi ucapan Yesus yang mengotorisasi aktivitas sabat-Nya sendiri (ay. 17): (1) “Keanakan” (Sonship) sangat sering merupakan sebuah kategori fungsional di dalam Alkitab. Artinya, Yesus secara implisit mengklaim diri-Nya sebagai Anak Allah, dengan hak untuk mengikuti pola pekerjaan Allah sendiri tetapkan, dan (2) Yesus memang berhak “bekerja” pada hari sabat karena Ia adalah Allah yang “bekerja” bahkan pada hari sabat (sehingga pemeliharaan-Nya tetap berlangsung), tetapi Dia tidak “bekerja” dengan cara yang melanggar hari sabat. Tentu saja, ini merupakan jalan keluar yang hanya berlaku bagi Allah saja. Klaim Yesus sebagai Anak Allah yang menyerupai Allah dalam segala hal (prinsip anak seperti bapanya) membenarkan pekerjaan sabat-Nya sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, ada 5 poin yang Carson simpulkan pada bagian Yohanes 5:16-30:
1. Yesus menyangkal bahwa Dia melawan Allah dengan menempatkan diri-Nya sebagai pengganti Allah. Justru sebaliknya: Ia bergantung sepenuhnya pada Bapa dan tunduk kepada Bapa → Dia dapat mengerjakan hanya apa yang Dia lihat Bapa kerjakan (subordinasi) sebab Dia mengerjakan apapun yang dikerjakan Bapa (tindakan yang koekstensif).
2. Yesus adalah Anak Allah yang begitu unik dan tidak terbatas sehingga Bapa menunjukkan kepada-Nya semua yang Dia kerjakan, karena kasih kepada-Nya, dan Anak bergantung pada Bapa-Nya dan mengerjakan segala sesuatu yang dikerjakan Bapa.
3. Hubungan antara Bapa dan Anak merupakan standar bagi semua hubungan kasih yang lain. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal memberikan alasan bahwa: jika Allah tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, bagaimanakah mungkin Dia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia (Rm. 8:32)?
4. Kesempurnaan ketaatan Anak (melakukan segala yang diperintahkan Bapa) didasarkan kepada kasih-Nya kepada Bapa (14:31).
5. Ayat 20 menjelaskan bahwa Anak akan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti Bapa yaitu membangkitkan orang mati. Yesus berbeda dengan misalnya Elia—perantara untuk menghidupkan orang mati. Dia juga memiliki hak prerogatif karena Bapa telah “menunjukkan” kepada-Nya.
C. Beberapa refleksi sintesis penutup
1. Kasih Bapa kepada Anak, dan kasih Anak kepada Bapa, tidak dapat dibatasi hanya pada hubungan Kristus yang terjadi mulai dari Inkarnasi saja, tetapi secara intrinsik hubungan ini bersifat intra-Trinitarian. Hal ini membuat kita paham bahwa Allah adalah kasih karena selalu terdapat orientasi kepada pribadi yang lain dalam kasih Allah. Seluruh manifestasi kasih Allah itu muncul dari realitas yang lebih dalam dan lebih fundamental: kasih terjadi di dalam natur Allah itu sendiri. Allah adalah kasih.
2. Pola kasih Bapa kepada Anak dan sebaliknya menjadi model dan insentif bagi relasi kita dengan Yesus. Jika kita mengasihi Dia, kita akan menuruti segala perintah-Nya (14:15); di sini, jika kita menuruti segala perintah-Nya, kita tetap berada di dalam kasih-Nya. Karena itu, relasi kita dengan Yesus mencerminkan relasi Yesus dengan Bapa-Nya yang di Sorga—tentu saja, merupakan tema utama dalam Yohanes 17.
“Kita bukan lagi budak tetapi sahabat. Apa yang telah membuat perubahan ini adalah bahwa dalam kegenapan waktu, Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, dan Anak taat; bahwa Bapa mengasihi Anak dan memutuskan bahwa semua orang harus menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa; dan Bapa dan Anak, dalam harmoni rencana dan visi yang sempurna, pada waktu yang telah Allah tentukan, memainkan peranan mereka—Bapa mengutus, memberi mandat, “menunjukkan,” dan Anak datang, mengungkapkan, menyingkapkan apa yang telah “ditunjukkan” kepada-Nya, dan dalam ketaatan berjalan menuju Salib. Dan kita, ahli waris kovenan yang baru, telah mendapatkan hak istimewa untuk ikut masuk ke dalam rencana yang gemilang ini. Kita adalah sahabat Allah. . . . Dan kita telah mendapatkan hak istimewa yang tak ternilai, tidak hanya diselamatkan oleh kasih Allah, tetapi juga ditunjukkan kasih itu, diberitahu tentang-Nya, dan diizinkan untuk ikut di dalam pikiran Allah.” (Carson)
Wednesday, December 5, 2007
Ringkasan Buku Doktrin yang Sulit Mengenai Kasih Allah (1)
D. A. Carson
Penerbit Momentum
“Buku ini sangat inspiratif sekali bagi saya sejak awal halaman sampai pada akhirnya”
MENGENAI PENDISTORSIAN TERHADAP KASIH ALLAH
A. Mengapa doktrin mengenai kasih Allah dianggap sulit?
1. Di antara dunia dan kekristenan terjadi perbedaan yang sangat signifikan di dalam memaknai tentang kasih Allah. Doktrin mengenai kasih Allah menurut Alkitab sudah diganti dengan paham kasih yang sekedar menghibur dan hampir selalu menggambarkan bahwa kekuatan tertinggi memiliki sifat yang baik. Misalnya dalam film Star Wars yang membahas mengenai Force yang ambigu tetapi condong kepada kemenangan akhir diraih oleh sisi “terang” dari Force. ET, yang menggambarkan dongeng inkarnasi yang menyentuh hati yang mencapai klimaksnya pada kebangkitan dan kenaikan. Kemudian film Contact yang menunjukkan suatu intelegensia yang tidak dijelaskan dipenuhi dengan kasih, pemeliharaan yang bijak, dan menimbulkan kekaguman (wawasan dunianya monistis, naturalis, dan pluralis).
2. Kasih Allah telah disanitasi, didemokratisasi, dan yang terpenting sudah dijadikan sentimental. Sekarang ini, banyak orang yang kelihatannya tidak sulit untuk mempercayai kasih Allah; mereka lebih sulit untuk mempercayai keadilan, murka, dan kebenaran yang tidak berkontradiksi mengenai Allah yang Mahatahu.
3. Gerakan Postmodernisme menjadikan doktrin kasih Allah universal.
4. Ketidakmampuan kita yang tersebar luas untuk memikirkan secara mendalam pertanyaan-pertanyaan fundamental (mis. Mengapa Tuhan mengijinkan kelaparan massal atau Hitler dan Pol Pot berkuasa membantai manusia?) yang memampukan kita untuk mempertahankan doktrin Allah dalam proporsi dan keseimbangan yang alkitabiah (Tertantang?—red.).
5. Kasih Allah kadang-kadang digambarkan di dalam lingkungan Kristen sebagai sesuatu yang lebih mudah dan lebih jelas daripada kenyataannya.
B. Beberapa cara berbeda yang dipakai Alkitab dalam membicarakan kasih Allah.
1. Kasih Allah yang intra-Trinitarian.
2. Kasih providensial Allah kepada semua orang yang telah diciptakan.
3. Maksud penyelamatan Allah terhadap dunia ciptaan-Nya yang telah jatuh ke dalam dosa (condong Arminian).
4. Kasih Allah yang khusus, efektif, dan selektif kepada umat pilihan-Nya (condong Calvinis).
5. Kasih Allah kadang-kadang dikatakan ditujukan kepada umat-Nya dengan suatu cara yang sementara atau bersyarat—yaitu bersyaratkan ketaatan.
Kesimpulan bab 1:
1. Kita tidak boleh melihat cara-cara membicarakan mengenai kasih Allah ini sebagai kasih-kasih yang berdiri sendiri dan terkotak-kotak. Tidak akan membantu jika kita mulai dengan terlalu sering berbicara mengenai kasih Allah yang providensial, kasih-Nya yang memilih, kasih-Nya yang intra-Trinitarian, dan sebagainya, seolah-olah masing-masing terisolasi dari yang lainnya.
2. Kita juga tidak dapat membenarkan salah satu dari cara-cara untuk berbicara mengenai kasih Allah seperti ini dikurangi oleh yang lainnya.
3. Bahkan, kita tidak dapat, sekalipun berdasarkan bukti Kitab Suci, membenarkan salah satu cara itu untuk menundukkan cara-cara lainnya.
The Truth: kita harus menggenggam kebenaran-kebenaran ini secara bersamaan dan belajar mengintegrasikan semuanya dalam proporsi dan keseimbangan yang alkitabiah.
Disadur dari D. A. Carson
Penerbit Momentum
“Buku ini sangat inspiratif sekali bagi saya sejak awal halaman sampai pada akhirnya”
MENGENAI PENDISTORSIAN TERHADAP KASIH ALLAH
A. Mengapa doktrin mengenai kasih Allah dianggap sulit?
1. Di antara dunia dan kekristenan terjadi perbedaan yang sangat signifikan di dalam memaknai tentang kasih Allah. Doktrin mengenai kasih Allah menurut Alkitab sudah diganti dengan paham kasih yang sekedar menghibur dan hampir selalu menggambarkan bahwa kekuatan tertinggi memiliki sifat yang baik. Misalnya dalam film Star Wars yang membahas mengenai Force yang ambigu tetapi condong kepada kemenangan akhir diraih oleh sisi “terang” dari Force. ET, yang menggambarkan dongeng inkarnasi yang menyentuh hati yang mencapai klimaksnya pada kebangkitan dan kenaikan. Kemudian film Contact yang menunjukkan suatu intelegensia yang tidak dijelaskan dipenuhi dengan kasih, pemeliharaan yang bijak, dan menimbulkan kekaguman (wawasan dunianya monistis, naturalis, dan pluralis).
2. Kasih Allah telah disanitasi, didemokratisasi, dan yang terpenting sudah dijadikan sentimental. Sekarang ini, banyak orang yang kelihatannya tidak sulit untuk mempercayai kasih Allah; mereka lebih sulit untuk mempercayai keadilan, murka, dan kebenaran yang tidak berkontradiksi mengenai Allah yang Mahatahu.
3. Gerakan Postmodernisme menjadikan doktrin kasih Allah universal.
4. Ketidakmampuan kita yang tersebar luas untuk memikirkan secara mendalam pertanyaan-pertanyaan fundamental (mis. Mengapa Tuhan mengijinkan kelaparan massal atau Hitler dan Pol Pot berkuasa membantai manusia?) yang memampukan kita untuk mempertahankan doktrin Allah dalam proporsi dan keseimbangan yang alkitabiah (Tertantang?—red.).
5. Kasih Allah kadang-kadang digambarkan di dalam lingkungan Kristen sebagai sesuatu yang lebih mudah dan lebih jelas daripada kenyataannya.
B. Beberapa cara berbeda yang dipakai Alkitab dalam membicarakan kasih Allah.
1. Kasih Allah yang intra-Trinitarian.
2. Kasih providensial Allah kepada semua orang yang telah diciptakan.
3. Maksud penyelamatan Allah terhadap dunia ciptaan-Nya yang telah jatuh ke dalam dosa (condong Arminian).
4. Kasih Allah yang khusus, efektif, dan selektif kepada umat pilihan-Nya (condong Calvinis).
5. Kasih Allah kadang-kadang dikatakan ditujukan kepada umat-Nya dengan suatu cara yang sementara atau bersyarat—yaitu bersyaratkan ketaatan.
Kesimpulan bab 1:
1. Kita tidak boleh melihat cara-cara membicarakan mengenai kasih Allah ini sebagai kasih-kasih yang berdiri sendiri dan terkotak-kotak. Tidak akan membantu jika kita mulai dengan terlalu sering berbicara mengenai kasih Allah yang providensial, kasih-Nya yang memilih, kasih-Nya yang intra-Trinitarian, dan sebagainya, seolah-olah masing-masing terisolasi dari yang lainnya.
2. Kita juga tidak dapat membenarkan salah satu dari cara-cara untuk berbicara mengenai kasih Allah seperti ini dikurangi oleh yang lainnya.
3. Bahkan, kita tidak dapat, sekalipun berdasarkan bukti Kitab Suci, membenarkan salah satu cara itu untuk menundukkan cara-cara lainnya.
The Truth: kita harus menggenggam kebenaran-kebenaran ini secara bersamaan dan belajar mengintegrasikan semuanya dalam proporsi dan keseimbangan yang alkitabiah.
Disadur dari D. A. Carson
Monday, September 17, 2007
John Stott—Kristus yang Tiada Tara (The Incomparable Christ)
Membaca buku ini memperlengkapi pemahaman saya akan penggambaran Kristus yang tiada tara dalam sepanjang perjalanan-Nya di dunia yang “sakit” ini. Buku ini membekali saya dalam menghadapi pandangan-pandangan “Kristen” yang akhir-akhir ini berusaha mengkerdilkan iman kekristenan dan mencoba mengobrak-abrik keagungan Kristus yang tiada taranya ini.
Prinsip “Jesus Seminar” yang meragukan keotentisitasan perkataan Yesus di Injil sangat-sangat subjektif sifatnya. Demikian pula bagaimana sejarah membuktikan akan Gereja yang memaparkan Kristus (cth. Monastisisme, Mistisisme), telah menjadikan Yesus sebagai “Yesus yang lain” yang hanya dipakai sebagai pendukung konteks pergumulan gereja, atau dengan kata lain mendompleng Kemahaan Kristus. Meskipun pemaparan Gereja tidak sefatal “Jesus Seminar”—masih ada hal positif yang bisa didapat—tetap saja menjadikan Kristus tidak tiada taranya lagi.
John Stott dengan penuh hati-hati dan percaya diri mengungkapkan Kristus yang tiada taranya ini dengan mengawalinya dari pemahaman PB itu sendiri yang meninggikan dan mengagungkan Kristus. Pemaparannya yang sangat apik pada bab kedua karena meng-compact isi dari PB bukan sesuatu yang mudah, tetapi Stott telah berhasil melakukannya sehingga memberikan suatu worldview penafsiran yang bertanggung jawab. Pada bab keempat bukunya ini, Stott memilih kitab Wahyu untuk dipaparkan lebih banyak daripada lainnya. Mengapa demikian?
Pertama, kitab Wahyu adalah tulisan yang bersifat apokaliptis. Karena masuk ke dalam genre sastra yang khusus, maka perlu sekali kitab ini ditangani secara khusus pula.
Kedua, Kita ini berisi suatu galeri gambaran-gambaran tentang Tuhan Yesus Kristus. Untuk setiap kitab PB lainnya, kita bisa mengisolasi penekanan khususnya. Setiap kitab Injil dan setiap surat memiliki temanya yang khusus. Namun tidak demikian halnya dengan Kitab Wahyu, yang berisi berbagai gambaran tentang Kristus. Kitab ini memaparkan Dia sebagai Yang Awal dan Yang Akhir, Anak Domba dan Singa, pencuri pada waktu malam, Raja di atas segala raja, Hakim Ilahi, dan Mempelai Laki-laki Sorgawi. Metafora ini dan yang lain mengalir dari pemikiran Yohanes yang subur. Kita harus menilai dengan adil galeri gambaran-gambaran ini.
Ketiga, Kitab Wahyu merupakan klimaks dari PB. Tanpa memperdulikan waktu penulisan dokumen-dokumen PB, gereja sudah bertindak bijaksana dengan mengurutkan kanon PB sedemikian rupa sehingga dimulai dengan kisah tentang Yesus (keempat kitab Injil) dan kisah tentang gereja mula-mula (Kisah Para Rasul); berlanjut dengan 22 surat pengajaran rasuli tentang iman, kehidupan, dan pengharapan Kristen; dan berakhir dengan Kitab Wahyu yang membawa kekekalan mendekat.
Pada bab kesimpulan, Stott menyadari bahwa dirinya tidak layak sebenarnya untuk menyatakan kritik-kritik yang negatif kepada pemaparan gereja tentang Kristus; dengan beranggapan bahwa dirinyalah yang lebih baik. Dirinya dapat jatuh ke dalam kesombongan yang tak tertahankan jika saja bukan Allah yang dengan penuh kemurahan memberikan kepada kita dalam Kitab Suci suatu kriteria yang dengannya kita menilai semua gerakan dan tradisi manusia.
Karena itu, tidak heran di dalam akhir dari tulisannya, Stott memberikan sebuah kisah yang diambil dari almarhum Donald Coggan, mantan uskup agung Canterbury (sekalipun dia tidak bisa mengingat siapa penulisnya yang asli):
Ada seorang pemahat yang pernah, begitu kata mereka, memahat sebuah patung Tuhan kita. Dan orang banyak datang dari tempat-tempat yang jauh untuk melihatnya—Kristus dengan segala kekuatan dan kelemahlembutan-Nya. Mereka mau berjalan berkeliling patung tersebut, berusaha menangkap keindahannya, menatapnya di sini dan dari sudut ini, di sana dari sudut sana. Namun tetap keagungannya tidak tertangkap oleh mereka, sampai mereka mengonsultasikan kepada si pemahat sendiri. Dia akan tetap menjawab, “Hanya ada satu sudut yang darinya keindahan patung ini benar-benar bisa dinikmati. Anda harus berlutut.”
Penerbit Momentum—262 hlm.
Prinsip “Jesus Seminar” yang meragukan keotentisitasan perkataan Yesus di Injil sangat-sangat subjektif sifatnya. Demikian pula bagaimana sejarah membuktikan akan Gereja yang memaparkan Kristus (cth. Monastisisme, Mistisisme), telah menjadikan Yesus sebagai “Yesus yang lain” yang hanya dipakai sebagai pendukung konteks pergumulan gereja, atau dengan kata lain mendompleng Kemahaan Kristus. Meskipun pemaparan Gereja tidak sefatal “Jesus Seminar”—masih ada hal positif yang bisa didapat—tetap saja menjadikan Kristus tidak tiada taranya lagi.
John Stott dengan penuh hati-hati dan percaya diri mengungkapkan Kristus yang tiada taranya ini dengan mengawalinya dari pemahaman PB itu sendiri yang meninggikan dan mengagungkan Kristus. Pemaparannya yang sangat apik pada bab kedua karena meng-compact isi dari PB bukan sesuatu yang mudah, tetapi Stott telah berhasil melakukannya sehingga memberikan suatu worldview penafsiran yang bertanggung jawab. Pada bab keempat bukunya ini, Stott memilih kitab Wahyu untuk dipaparkan lebih banyak daripada lainnya. Mengapa demikian?
Pertama, kitab Wahyu adalah tulisan yang bersifat apokaliptis. Karena masuk ke dalam genre sastra yang khusus, maka perlu sekali kitab ini ditangani secara khusus pula.
Kedua, Kita ini berisi suatu galeri gambaran-gambaran tentang Tuhan Yesus Kristus. Untuk setiap kitab PB lainnya, kita bisa mengisolasi penekanan khususnya. Setiap kitab Injil dan setiap surat memiliki temanya yang khusus. Namun tidak demikian halnya dengan Kitab Wahyu, yang berisi berbagai gambaran tentang Kristus. Kitab ini memaparkan Dia sebagai Yang Awal dan Yang Akhir, Anak Domba dan Singa, pencuri pada waktu malam, Raja di atas segala raja, Hakim Ilahi, dan Mempelai Laki-laki Sorgawi. Metafora ini dan yang lain mengalir dari pemikiran Yohanes yang subur. Kita harus menilai dengan adil galeri gambaran-gambaran ini.
Ketiga, Kitab Wahyu merupakan klimaks dari PB. Tanpa memperdulikan waktu penulisan dokumen-dokumen PB, gereja sudah bertindak bijaksana dengan mengurutkan kanon PB sedemikian rupa sehingga dimulai dengan kisah tentang Yesus (keempat kitab Injil) dan kisah tentang gereja mula-mula (Kisah Para Rasul); berlanjut dengan 22 surat pengajaran rasuli tentang iman, kehidupan, dan pengharapan Kristen; dan berakhir dengan Kitab Wahyu yang membawa kekekalan mendekat.
Pada bab kesimpulan, Stott menyadari bahwa dirinya tidak layak sebenarnya untuk menyatakan kritik-kritik yang negatif kepada pemaparan gereja tentang Kristus; dengan beranggapan bahwa dirinyalah yang lebih baik. Dirinya dapat jatuh ke dalam kesombongan yang tak tertahankan jika saja bukan Allah yang dengan penuh kemurahan memberikan kepada kita dalam Kitab Suci suatu kriteria yang dengannya kita menilai semua gerakan dan tradisi manusia.
Karena itu, tidak heran di dalam akhir dari tulisannya, Stott memberikan sebuah kisah yang diambil dari almarhum Donald Coggan, mantan uskup agung Canterbury (sekalipun dia tidak bisa mengingat siapa penulisnya yang asli):
Ada seorang pemahat yang pernah, begitu kata mereka, memahat sebuah patung Tuhan kita. Dan orang banyak datang dari tempat-tempat yang jauh untuk melihatnya—Kristus dengan segala kekuatan dan kelemahlembutan-Nya. Mereka mau berjalan berkeliling patung tersebut, berusaha menangkap keindahannya, menatapnya di sini dan dari sudut ini, di sana dari sudut sana. Namun tetap keagungannya tidak tertangkap oleh mereka, sampai mereka mengonsultasikan kepada si pemahat sendiri. Dia akan tetap menjawab, “Hanya ada satu sudut yang darinya keindahan patung ini benar-benar bisa dinikmati. Anda harus berlutut.”
Penerbit Momentum—262 hlm.
Subscribe to:
Posts (Atom)