Yosua 6
Kontes Mamamia di Indosiar dapat menjadi contoh bagaimana seorang anak perempuan beserta ibunya sehati sepikir untuk mencapai puncak prestasi. Kontes ini semakin menjadi pusat perhatian ketika Fiersha, seorang kontestan yang mengalami kelemahan di matanya dapat terus melaju sampai empat besar (ayo maju terus Fiersha!). Fiersha memang memiliki suara yang sangat bagus, namun demikian ia sangat bergantung kepada mamanya yang senantiasa memperhatikan segala kebutuhannya.
Orang-orang Israel menyadari kelemahan mereka untuk dapat menghancurkan kota Yerikho. Mereka sehati sepikir berlindung dan bergantung kepada Allah yang perkasa. Coba anda bayangkan sejenak kalau ada seseorang atau sekelompok orang yang merasa bangga dengan senjatanya dan pasukannya, kemudian memilih tidak menyanyi namun melepas panah dan tombak ke arah Yerikho, mung-kin kisah runtuhnya tembok Yerikho ini akan berbeda. Atau kalau-pun akan tetap sama kisahnya, maka akan ada penambahan mengenai orang-orang bodoh yang tidak sehati sepikir mengandalkan Tuhan.
Orang-orang seperti ini ada di dalam kehidupan kita. Suami bangga dengan kemampuannya mencari uang sehingga muncul kali-mat, “Kalau bukan karena saya, kalian akan makan batu!” Istri tidak mau kalah. Dengan merawat anak dan menjaga rumah ia berkata, “Kalau bukan karena saya, anakmu akan menjadi maling!” Pemimpin-pemimpin gereja bangga dengan panggilan dan pelayanannya sehingga muncul kalimat, “Kalau bukan karena saya, gereja ini akan hancur!” Jemaat pun tidak mau kalah. Jemaat berkata, “Kalau bukan karena saya, gereja akan sepi!” Seorang siswa atau mahasiswa bangga dengan kepintarannya dan kerajinannya sehingga muncul kalimat, “Saya pantas lulus karena saya memang pintar dan rajin!” Demikian pula dengan pimpinan perusahaan dan karyawan yang saling menganggap diri penting.
Kalimat-kalimat yang sering kita dengar bukan, bahkan mungkin kita ucapkan sendiri? Sehati sepikirlah di dalam bergantung kepada tangan kuasa Tuhan. Kita harus mengakui bahwa tanpa Tuhan, yang tersisa dari kita adalah kehancuran. Bila ada yang tidak sehati sepikir, mari seperti Yosua yang mengajak dan membawa umat-Nya melihat sendiri kuasa Tuhan.
Kita bukan siapa-siapa! Jika kita menyadarinya, maka kita akan diperlihatkan siapa Tuhan kita.
Thursday, August 30, 2007
Tuesday, August 28, 2007
Aku Hidup Untuk Menyatakan Dia
Mazmur 30
Ketika saya berada di sebuah gereja di Magelang untuk menjalankan praktek pelayanan, saya pernah dipercayakan membawakan firman dengan tema, “Apakah orang Kristen boleh mengharapkan kematian?” Tema ini sangat menarik karena juga dialami oleh banyak tokoh-tokoh Alkitab seperti Ayub, Elia, dan Pemazmur. Mereka memohon Tuhan mengambil nyawa mereka karena kesulitan dan pergumulan hidup yang mereka alami. Jadi, kalau ditanya kepada saya, apakah orang Kristen boleh mengharapkan kematian? Maka saya akan menjawab, “Boleh!” Mengapa? Karena permintaan ini sangat wajar secara psikologis yang menunjukkan pergumulan besar yang sedang dialami seorang manusia yang terbatas.
Tetapi yang perlu kita jajaki lebih lanjut adalah bagaimana kalau Tuhan tidak mengabulkan permintaan kita? Ketika kita sakit, usaha bangkrut, keluarga berantakan, atau masalah-masalah lainnya datang, kita memohon Tuhan membawa kita pulang ke Surga agar kita tidak menderita lagi, tetapi Tuhan masih ijinkan kita tetap ada di dalam dunia. Kita masih harus hidup menanggung segala pergumulan ini. Saya rindu kita mengubah permintaan kita dengan pertanyaan, “Tuhan, mengapa Kau masih ingin aku hidup di dalam dunia yang penuh dengan pergumulan ini?” Rasul Paulus di dalam Filipi 1:21-26 memiliki kerinduan juga untuk meninggalkan dunia ini untuk berjumpa dengan Kristus tetapi Paulus sadar bahwa ketika Tuhan masih mengijinkan dia hidup berarti baginya adalah bekerja memberikan buah sampai Tuhan benar-benar puas dan memanggilnya pulang.
Pemazmur dalam bagian yang kita baca menyadari bahwa kemurahan Tuhan yang menyelamatkannya dari marabahaya membuatnya harus bersyukur karena berarti ada kesempatan lagi untuk memuji, merasakan kasih Tuhan dan memberitakan kesetiaan-Nya (ay. 4, 8, 10). Bagi Pemazmur dan Paulus, hidup ini sangat berharga dan harus digunakan sebaik-baiknya selama Tuhan masih mempercayakan kehidupan. Toh, bukankah kalau kita dipanggil pulang, kita tidak perlu kuatir lagi karena kita sudah mendapatkan tempat di Sorga? Tuhan Yesus menyadari bahwa hidup-Nya adalah menjalankan misi Allah Bapa. Dia memberikan hidup-Nya sampai titik darah penghabisan. Maukah saudara mengikuti Kristus, bekerja memberikan buah selama dipercayakan hidup?
Aku hidup dan bekerja memberikan buah sampai Dia panggilku.
Ketika saya berada di sebuah gereja di Magelang untuk menjalankan praktek pelayanan, saya pernah dipercayakan membawakan firman dengan tema, “Apakah orang Kristen boleh mengharapkan kematian?” Tema ini sangat menarik karena juga dialami oleh banyak tokoh-tokoh Alkitab seperti Ayub, Elia, dan Pemazmur. Mereka memohon Tuhan mengambil nyawa mereka karena kesulitan dan pergumulan hidup yang mereka alami. Jadi, kalau ditanya kepada saya, apakah orang Kristen boleh mengharapkan kematian? Maka saya akan menjawab, “Boleh!” Mengapa? Karena permintaan ini sangat wajar secara psikologis yang menunjukkan pergumulan besar yang sedang dialami seorang manusia yang terbatas.
Tetapi yang perlu kita jajaki lebih lanjut adalah bagaimana kalau Tuhan tidak mengabulkan permintaan kita? Ketika kita sakit, usaha bangkrut, keluarga berantakan, atau masalah-masalah lainnya datang, kita memohon Tuhan membawa kita pulang ke Surga agar kita tidak menderita lagi, tetapi Tuhan masih ijinkan kita tetap ada di dalam dunia. Kita masih harus hidup menanggung segala pergumulan ini. Saya rindu kita mengubah permintaan kita dengan pertanyaan, “Tuhan, mengapa Kau masih ingin aku hidup di dalam dunia yang penuh dengan pergumulan ini?” Rasul Paulus di dalam Filipi 1:21-26 memiliki kerinduan juga untuk meninggalkan dunia ini untuk berjumpa dengan Kristus tetapi Paulus sadar bahwa ketika Tuhan masih mengijinkan dia hidup berarti baginya adalah bekerja memberikan buah sampai Tuhan benar-benar puas dan memanggilnya pulang.
Pemazmur dalam bagian yang kita baca menyadari bahwa kemurahan Tuhan yang menyelamatkannya dari marabahaya membuatnya harus bersyukur karena berarti ada kesempatan lagi untuk memuji, merasakan kasih Tuhan dan memberitakan kesetiaan-Nya (ay. 4, 8, 10). Bagi Pemazmur dan Paulus, hidup ini sangat berharga dan harus digunakan sebaik-baiknya selama Tuhan masih mempercayakan kehidupan. Toh, bukankah kalau kita dipanggil pulang, kita tidak perlu kuatir lagi karena kita sudah mendapatkan tempat di Sorga? Tuhan Yesus menyadari bahwa hidup-Nya adalah menjalankan misi Allah Bapa. Dia memberikan hidup-Nya sampai titik darah penghabisan. Maukah saudara mengikuti Kristus, bekerja memberikan buah selama dipercayakan hidup?
Aku hidup dan bekerja memberikan buah sampai Dia panggilku.
Tuesday, August 21, 2007
Kebangkitan di tengah penderitaan
(1 Petrus 1:3-12)
Surat Rasul Petrus yang pertama dapat dikatakan surat penderitaan (bacalah seluruh isi surat ini). Jemaat Tuhan pada zaman itu mengalami begitu banyak tantangan atau cobaan, baik dari dalam (1Ptr. 4:3) maupun dari luar jemaat (1Ptr. 2:18). Yang menarik adalah, Petrus memulai surat penderitaan ini dengan berita kebangkitan Tuhan Yesus. Loh, apa hubungannya kebangkitan Yesus dengan penderitaan? Bukankah berita kebangkitan adalah berita kemenangan—bukan berita kesengsaraan?
Dari bagian firman Tuhan yang kita baca ini, saya menarik 2 kesimpulan, mengapa Petrus menghubungkan berita kebangkitan dengan penderitaan:
Pertama, Kebangkitan Yesus adalah harapan di tengah penderitaan. Setiap kita yang sudah diselamatkan dari dosa dan dilahirkan kembali melalui kebangkitan Yesus tidak berarti bebas dari penderitaan di dalam dunia yang berdosa ini. Sakit penyakit, kemiskinan, penutupan gereja, penganiayaan, dan penderitaan lainnya silih berganti datang menghampiri kita. Namun, kebangkitan Yesus membawa kita kepada kehidupan yang baru dan penuh pengharapan (ay. 3). Surga akan menjadi bagian kekal ketika kita meninggalkan dunia ini atau ketika Tuhan datang kedua kalinya (ay. 4). Saat ini, Tuhan yang sudah bangkit itu menjanjikan pemeliharaan. Bayangkan, dipelihara oleh kekuatan Allah—bukan kekuatan manusia! Petrus berkata, “Bergembiralah akan hal itu!” (ay. 6).
Kedua, penderitaan membuktikan kemurnian iman kita yang dibangkitkan di dalam Kristus. Terkadang sulit untuk melihat apakah seseorang sudah tinggal di dalam Tuhan atau belum. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah melalui ujian penderitaan. Setiap orang yang sudah tinggal di dalam Tuhan akan melihat penderitaan sebagai ujian bagi kemurnian imannya, bukan sebagai sesuatu yang harus disesali. Kita yang sudah mati dan dibangkitkan di dalam Kristus tidaklah boleh menjadi anak-anak gampang (Ibr. 12:5-8). Anak-anak gampang akan mudah meninggalkan Tuhan di tengah badai penderitaan.
Percayalah, Tuhan yang sudah bangkit itu saat ini sedang berjalan di samping kita dan membisik kepada kita, “ayo anak-Ku, bertahanlah, sedikit lagi.”
Kebangkitan-Nya, harapan di tengah penderitaan.
Surat Rasul Petrus yang pertama dapat dikatakan surat penderitaan (bacalah seluruh isi surat ini). Jemaat Tuhan pada zaman itu mengalami begitu banyak tantangan atau cobaan, baik dari dalam (1Ptr. 4:3) maupun dari luar jemaat (1Ptr. 2:18). Yang menarik adalah, Petrus memulai surat penderitaan ini dengan berita kebangkitan Tuhan Yesus. Loh, apa hubungannya kebangkitan Yesus dengan penderitaan? Bukankah berita kebangkitan adalah berita kemenangan—bukan berita kesengsaraan?
Dari bagian firman Tuhan yang kita baca ini, saya menarik 2 kesimpulan, mengapa Petrus menghubungkan berita kebangkitan dengan penderitaan:
Pertama, Kebangkitan Yesus adalah harapan di tengah penderitaan. Setiap kita yang sudah diselamatkan dari dosa dan dilahirkan kembali melalui kebangkitan Yesus tidak berarti bebas dari penderitaan di dalam dunia yang berdosa ini. Sakit penyakit, kemiskinan, penutupan gereja, penganiayaan, dan penderitaan lainnya silih berganti datang menghampiri kita. Namun, kebangkitan Yesus membawa kita kepada kehidupan yang baru dan penuh pengharapan (ay. 3). Surga akan menjadi bagian kekal ketika kita meninggalkan dunia ini atau ketika Tuhan datang kedua kalinya (ay. 4). Saat ini, Tuhan yang sudah bangkit itu menjanjikan pemeliharaan. Bayangkan, dipelihara oleh kekuatan Allah—bukan kekuatan manusia! Petrus berkata, “Bergembiralah akan hal itu!” (ay. 6).
Kedua, penderitaan membuktikan kemurnian iman kita yang dibangkitkan di dalam Kristus. Terkadang sulit untuk melihat apakah seseorang sudah tinggal di dalam Tuhan atau belum. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah melalui ujian penderitaan. Setiap orang yang sudah tinggal di dalam Tuhan akan melihat penderitaan sebagai ujian bagi kemurnian imannya, bukan sebagai sesuatu yang harus disesali. Kita yang sudah mati dan dibangkitkan di dalam Kristus tidaklah boleh menjadi anak-anak gampang (Ibr. 12:5-8). Anak-anak gampang akan mudah meninggalkan Tuhan di tengah badai penderitaan.
Percayalah, Tuhan yang sudah bangkit itu saat ini sedang berjalan di samping kita dan membisik kepada kita, “ayo anak-Ku, bertahanlah, sedikit lagi.”
Kebangkitan-Nya, harapan di tengah penderitaan.
Subscribe to:
Posts (Atom)