Membaca buku ini memperlengkapi pemahaman saya akan penggambaran Kristus yang tiada tara dalam sepanjang perjalanan-Nya di dunia yang “sakit” ini. Buku ini membekali saya dalam menghadapi pandangan-pandangan “Kristen” yang akhir-akhir ini berusaha mengkerdilkan iman kekristenan dan mencoba mengobrak-abrik keagungan Kristus yang tiada taranya ini.
Prinsip “Jesus Seminar” yang meragukan keotentisitasan perkataan Yesus di Injil sangat-sangat subjektif sifatnya. Demikian pula bagaimana sejarah membuktikan akan Gereja yang memaparkan Kristus (cth. Monastisisme, Mistisisme), telah menjadikan Yesus sebagai “Yesus yang lain” yang hanya dipakai sebagai pendukung konteks pergumulan gereja, atau dengan kata lain mendompleng Kemahaan Kristus. Meskipun pemaparan Gereja tidak sefatal “Jesus Seminar”—masih ada hal positif yang bisa didapat—tetap saja menjadikan Kristus tidak tiada taranya lagi.
John Stott dengan penuh hati-hati dan percaya diri mengungkapkan Kristus yang tiada taranya ini dengan mengawalinya dari pemahaman PB itu sendiri yang meninggikan dan mengagungkan Kristus. Pemaparannya yang sangat apik pada bab kedua karena meng-compact isi dari PB bukan sesuatu yang mudah, tetapi Stott telah berhasil melakukannya sehingga memberikan suatu worldview penafsiran yang bertanggung jawab. Pada bab keempat bukunya ini, Stott memilih kitab Wahyu untuk dipaparkan lebih banyak daripada lainnya. Mengapa demikian?
Pertama, kitab Wahyu adalah tulisan yang bersifat apokaliptis. Karena masuk ke dalam genre sastra yang khusus, maka perlu sekali kitab ini ditangani secara khusus pula.
Kedua, Kita ini berisi suatu galeri gambaran-gambaran tentang Tuhan Yesus Kristus. Untuk setiap kitab PB lainnya, kita bisa mengisolasi penekanan khususnya. Setiap kitab Injil dan setiap surat memiliki temanya yang khusus. Namun tidak demikian halnya dengan Kitab Wahyu, yang berisi berbagai gambaran tentang Kristus. Kitab ini memaparkan Dia sebagai Yang Awal dan Yang Akhir, Anak Domba dan Singa, pencuri pada waktu malam, Raja di atas segala raja, Hakim Ilahi, dan Mempelai Laki-laki Sorgawi. Metafora ini dan yang lain mengalir dari pemikiran Yohanes yang subur. Kita harus menilai dengan adil galeri gambaran-gambaran ini.
Ketiga, Kitab Wahyu merupakan klimaks dari PB. Tanpa memperdulikan waktu penulisan dokumen-dokumen PB, gereja sudah bertindak bijaksana dengan mengurutkan kanon PB sedemikian rupa sehingga dimulai dengan kisah tentang Yesus (keempat kitab Injil) dan kisah tentang gereja mula-mula (Kisah Para Rasul); berlanjut dengan 22 surat pengajaran rasuli tentang iman, kehidupan, dan pengharapan Kristen; dan berakhir dengan Kitab Wahyu yang membawa kekekalan mendekat.
Pada bab kesimpulan, Stott menyadari bahwa dirinya tidak layak sebenarnya untuk menyatakan kritik-kritik yang negatif kepada pemaparan gereja tentang Kristus; dengan beranggapan bahwa dirinyalah yang lebih baik. Dirinya dapat jatuh ke dalam kesombongan yang tak tertahankan jika saja bukan Allah yang dengan penuh kemurahan memberikan kepada kita dalam Kitab Suci suatu kriteria yang dengannya kita menilai semua gerakan dan tradisi manusia.
Karena itu, tidak heran di dalam akhir dari tulisannya, Stott memberikan sebuah kisah yang diambil dari almarhum Donald Coggan, mantan uskup agung Canterbury (sekalipun dia tidak bisa mengingat siapa penulisnya yang asli):
Ada seorang pemahat yang pernah, begitu kata mereka, memahat sebuah patung Tuhan kita. Dan orang banyak datang dari tempat-tempat yang jauh untuk melihatnya—Kristus dengan segala kekuatan dan kelemahlembutan-Nya. Mereka mau berjalan berkeliling patung tersebut, berusaha menangkap keindahannya, menatapnya di sini dan dari sudut ini, di sana dari sudut sana. Namun tetap keagungannya tidak tertangkap oleh mereka, sampai mereka mengonsultasikan kepada si pemahat sendiri. Dia akan tetap menjawab, “Hanya ada satu sudut yang darinya keindahan patung ini benar-benar bisa dinikmati. Anda harus berlutut.”
Penerbit Momentum—262 hlm.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment