Thursday, October 18, 2007

KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (1)

Nature, the world, has no value, no interest for Christians.
The Christian thinks only of himself and the salvation of his soul.
(Ludwig Aeuerbach)

PELIKNYA MASALAH EKOLOGI
Alarm bencana ekologi berdering keras di seluruh dunia. Tsunami, badai, banjir, tanah longsor, pemanasan global dan bencana ekologi lainnya membantu manusia untuk melihat holocaust ekologi yang menjadi monster menakutkan bagi manusia.[1] Semua bencana yang terjadi ini dipicu oleh ulah manusia yang diakui kedudukannya sebagai makhluk hidup yang tertinggi yang memiliki akal budi, kehendak dan perasaan dibandingkan seluruh ciptaan Tuhan yang lain. Kedudukan ini dimanfaatkan sedemikian rupa oleh manusia dengan menguasai dan mengeksploitasi ciptaan yang lain untuk kesejahteraan dirinya sendiri. Mulai dari pencemaran udara oleh asap-asap pabrik dan kendaraan bermotor, pencemaran air oleh limbah-limbah hasil produksi dan limbah rumah tangga, sampai kepada penebangan-penebangan liar di hutan dengan alasan perluasan area pemukiman dan industri. Disadari atau tidak, semua pencemaran ini membawa akibat yang fatal bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, misalnya masalah kekurangan air bersih yang sudah terasa di berbagai belahan dunia.[2] Cepat atau lambat, semua masalah ini akan membawa manusia kepada holocaust yang dahsyat—kematian seluruh umat manusia. Apakah selama ini kekristenan memberikan jawaban?

[1]Mutiara Andalas, “Pasca-‘Holocaust’ Ekologi,” Kompas (9 Januari 2006) 6.
[2]Sarono mengutip karya Vandhana Shiva (2002) dalam bukunya “Water Wars: Privatisasi, Profit, dan Polusi” yang memaparkan betapa langkanya air bersih di Maquiladora, Meksiko. Akibatnya, anak-anak dan bayi terpaksa minum Coca Cola dan Pepsi. Untuk wilayah Indonesia sendiri, sebagai contoh DKI Jakarta pada tahun 2003, dari 43 kecamatan yang ada, 11 kecamatan dinyatakan mulai mengalami krisis air, sedangkan 17 kecamatan dinyatakan rawan kekurangan air (“Air, Penyulut Perang Abad Ini?,” Suara Pembaruan [21 Maret 2004]).

No comments: