Monday, October 22, 2007

KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (2)

KERUSAKAN EKOLOGI KARENA KEKRISTENAN?

Menurut orang-orang sekuler, kekristenan justru merupakan agama atau lembaga yang paling bertanggungjawab atas kerusakan ekologi selama ini.[1] Diagnosa ini bagi mereka tidak berlebihan jika melihat kepada ajaran-ajaran kekristenan yang lebih mengutamakan manusia daripada ciptaan yang lain.[2]

Ajaran yang pertama adalah kuatnya doktrin antropologi yaitu doktrin yang membahas tentang manusia dan relasinya dengan Allah. H. Paul Santmire berkata:
As the earth groans in travail, it appears that those who stand in the traditions of Luther and Calvin are ill-equipped to respond to the global environmental crisis theologically. . . . The Protestant mind has become fixed, not to say fixated, on what Karl Barth called “the-anthropology,” the doctrine of God and humanity. This has meant, in turn, that protestants generally have approached the earth almost exclusively via the theology of a divinely mandated human dominion over nature.[3]

Pemahaman doktrin ini semakin kuat melalui konsep gambar dan rupa Allah (image of God) yang merupakan kelebihan manusia dibandingkan ciptaan yang lain. Dampaknya sangat jelas yaitu manusia memberhargakan dirinya sendiri dan menanam arogansi di dalam memperlakukan ciptaan yang lain.[4]

Ajaran yang kedua adalah kuatnya doktrin eskatologi, yaitu doktrin yang memfokuskan diri kepada kehidupan di masa yang akan datang. Doktrin ini mendorong orang-orang yang percaya untuk melihat kepada rumah mereka yang sebenarnya di dunia yang lain yaitu surga. Segala bencana yang terjadi di dalam dunia ini hanya sementara waktu dan tidak akan ditemui lagi bila manusia meninggalkan dunia menuju kehidupan yang kekal di surga (Why. 21:4). Menurut J. Passmore, hal ini jelas-jelas menunjukkan kekristenan anti kepada masalah ekologi.[5]
Kekecewaan terhadap pemahaman doktrin di atas sebenarnya ingin mempertanyakan satu hal yang terabaikan selama ini yaitu, apa signifikansi keberadaan ciptaan yang lain yang juga merupakan bagian dari karya Allah? Atau dengan kata lain, seberapa pentingkah ciptaan lain di mata Allah?

Jika keberadaan manusia signifikan dan penting di mata Allah, maka akan ditemukan kaitannya di dalam karya penebusan Kristus yang telah mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Karya penebusan ini yang dapat memampukan manusia berelasi dengan Allah (antropologi) dan memiliki kehidupan kekal bersama dengan Allah (eskatologi). Tetapi bagaimana dengan ciptaan yang lain? Apakah ada hubungannya karya penebusan Kristus dengan ciptaan yang lain sehingga ciptaan yang lain pun dapat menjadi signifikan dan penting di mata Allah?

[1]D. L. Migliore, “Eschatology and Ecology: The Witness of Reformed Theology” dalam Studies in Reformed Theology: Vol. 5: Christian Hope in Context (eds. A. Van Egmon dan D. Van Keulen; 2 vols.; Zoetermeer: Meinema, 2001) 2.11.
[2]Sejarahwan Lynn White, Jr. melihat bahwa kekristenan menanggung beban akan kesalahan yang begitu besar dari degradasi lingkungan karena pengajarannya yang mengajarkan bahwa umat manusia diberikan mandat oleh Tuhan untuk menjalankan dominasi atas seluruh ciptaan yang lain (“The Historical Roots of Our Ecological Crisis,” dalam The Care of Creation [ed. R. J. Berry; Downers Grove: InterVarsity, 2000] 40).
[3]H. Paul Santmire, “Healing The Protestant Mind: Beyond the Theology of Human Dominion” dalam After Nature’s Revolt (ed. Dieter T. Hessel; Minneapolis: Fortress, 1992) 57.
[4]Menurut Andalas, kredo dominasi dan kontrol absolut manusia terhadap ciptaan-ciptaan yang lain memberikan lisensi untuk eksploitasi ekologi. Alam menjadi the suffering other baru karena terus-menerus diperas secara rakus oleh manusia. Mengutip dari Sallie McFague dalam Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a Planet in Peril (2001), Andalas menulis bahwa berbagai krisis alam akhir-akhir ini memperkuat relasi intrinsik antara bencana alam dan perilaku eksploitatif manusia terhadap ekologi. Eksploitasi manusia sudah mencapai taraf melampaui batas kemampuan ekologi untuk menanggungnya. Menurut Sallie, perilaku destruktif manusia terhadap ekologi itu bersumber pada pandangan mengenai ciptaan yang ditata dalam relasi dualistik hierarkis. Paradigma superioritas-subordinasi ini opresif terhadap alam (“Pasca-‘Holocaust’” 6).
[5]J. Passmore, Man’s Responsibility for Nature (New York, 1987) dikutip dari Migliore, “Eschatology” 11. Migliore berkata bahwa orang-orang premilenium dispensasional memandang dunia ini dengan pesimis karena mereka begitu mengharapkan kedatangan Tuhan kedua kali yang akan didahului oleh masa tribulasi, peperangan dan kehancuran dunia. Masalah kerusakan ekologi menjadi salah satu masalah yang diperlukan sebagai bagian dari kehancuran menjelang kedatangan Tuhan. Segala bentuk dukungan untuk menyelesaikan masalah ini dianggap sebagai satu kesia-siaan dan bertentangan dengan penghakiman Allah yang akan datang (ibid. 18).

No comments: