Tuesday, October 23, 2007

KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (4)

DUA PANDANGAN PENEBUSAN BAGI SELURUH CIPTAAN

Untuk menutupi kekurangan ini, penulis melihat upaya dari beberapa pihak dalam melihat dan mengamati relasi antara penebusan Kristus dengan keberadaan seluruh ciptaan. Ada dua pendapat yang memiliki pandangan yang bertolak belakang satu sama lain. Pandangan pertama mengatakan bahwa penebusan yang Kristus kerjakan hanya bagi manusia semata, tidak ada penebusan bagi ciptaan yang lain. Ayat-ayat seperti Roma 8:19-23, Kolose 1:13-20, 1 Korintus 15:28 atau Efesus 1:10 yang dianggap oleh beberapa orang[1] menggambarkan relasi antara penebusan Kristus dengan seluruh ciptaan (kosmos), dipandang hanya sebatas penebusan yang hanya berbicara bagi manusia semata. Orang-orang yang menitikberatkan penebusan hanya bagi manusia melihat bahwa konsep penebusan hanya diperuntukkan bagi manusia saja, dalam hal ini orang-orang percaya.[2] Glen H. Stassen dan David P. Gushee di dalam menyikapi teks Kolose 1:13-20 berpendapat bahwa:
The term redemption is predicated only of “us” (i.e., followers of Jesus) and specifically defined as the forgiveness of sins. Although the whole creation is “fallen” and under “the dominion of darkness,” the nonhuman creation is not sinful. Only humans need forgiveness of sins. But human sinfulness has created alienation between humanity and the rest of creation (Gen. 3:14-19; 9:1-6), and this passage promises reconciliation, an end to that alienation.[3]

Dengan kata lain, Stassen dan Gushee ingin mengatakan bahwa hanya manusia yang jatuh ke dalam dosa sedangkan ciptaan yang lain tidak. Apakah benar demikian? Bukankah ketika manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh tatanan kehidupan terseret pula ke dalam dosa?
Surat Roma 8:18-27 juga dianggap oleh beberapa kalangan tidak berbicara kepada relasi penebusan Kristus dengan kosmos. John C. Gager menuliskan bahwa: “In Paul, this cosmic dimension has been significantly limited to an anthropological category, and its primary reference has become the nonbelieving, human world.”[4] John Reumann menambahkan bahwa Paulus “does cite words that look for cosmic redemption,” tetapi ia melanjutkan “His interest in quoting them is entirely, however, on man, Christian man.” Menurutnya, “Romans 8 thus fits with the interpretation we have reached of the new creation as the new creaturehood of Christian believers, not a cosmic day-dream.”[5]

John Bolt melihat bahwa orang-orang Neo-ortodoks menafsirkan Roma 8 khususnya ayat 19-23, bukan di dalam dimensi kosmologis, tetapi lebih kepada lingkup soteriologi yang antropologis. Menurut Bolt, hal yang mendasar yang menjadi permasalahan mereka adalah pengetahuan dan iman akan penebusan Kristus yang merupakan kunci bagi manusia, tidak dimiliki oleh ciptaan yang lain. Artinya, perhatian Paulus di dalam Roma 8 lebih kepada kehidupan spiritual manusia, dan apa pun yang dikatakan Paulus mengenai ciptaan secara keseluruhan, hanya bersifat insidentil dan tidak merupakan bagian utama dari tulisannya di surat Roma. [6]

Pandangan yang kedua melihat dari sudut pandang yang berbeda. Pandangan ini secara ekstrem melihat bahwa Kristus adalah Kristus Kosmik (Cosmic Christ) yang melihat Kristus sebagai pola yang menghubungkan (the pattern that connects): “divinity and earthiness; emptiness and fullness; suffering and accomplisment. It connects all creatures in the entire universe.”[7] Matthew Fox berpendapat bahwa: “salvation is about God becoming ‘all in all,’” Paul tells us (1Cor. 15:28).[8] Lebih lanjut lagi Fox melihat konsep Kristus Kosmik ini akan mengubah paradigma seseorang:[9]

from anthropocentrism to a living cosmology
from Newton to Einsten
from parts-mentality to wholeness
from rationalism to mysticism
from obedience as a prime to creativity as a prime moral virtue
moral virtue
from personal salvation to communal healing, i.e., compassion
as salvation
from theism (God outside us) to panentheism (God in us and us in God)
from fall-redemption religion to creation-centered spirituality
from the ascetic to the aesthetic

Penulis melihat pemahaman ini terlalu ekstrem, khususnya bila menyangkut pemahaman panenteisme[10] yang mendistorsi begitu banyak natur Allah. Perbedaan yang begitu besar antara teisme dan panenteisme adalah:[11]

TEISME
God is Creator.
Creation is ex nihilo.
God is sovereign over world.
God is absolutely perfect.

God is monopolar.
God is independent of world.
God is actually infinite.
God is unchanging.


PANENTEISME
God is changing.
God is director.
God is working with world.
Creation is ex materia.

God is growing more perfect.
God is bipolar.
God is actually finite.
God is dependent on world.

Panenteisme dalam hal ini telah merusak pemahaman kosmologis yang dapat membuka wawasan kepada konsep penebusan yang lebih utuh.

[1]Beberapa di antaranya: Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids: Eerdmans, 1979) 32-33, 53-54, 275, 282, Robert Recker, “The Redemptive Focus of the Kingdom of God,” Calvin Theological Journal 14/2 (November 1979) 154-186, Francis A. Schaeffer, Pollution and the Death of Man: The Christian View of Ecology (Wheaton: Tyndale House, 1980) 65-77, George Eldon Ladd, A Theology of the New testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1993) 682-683, James D. G. Dunn, The Theology of Paul The Apostle (Grand Rapids: Eerdmans, 1998) 38-43, dan David K. Naugle, “Kristus Kosmik Dalam Surat Kolose: Eksegesis Kolose 1:15-23,” Transformasi 2/1 (Februari 2006) 95-111.
[2]Pemahaman ini sangat mungkin dipengaruhi oleh pandangan dualisme yang memisahkan unsur materi-roh atau jasmani-rohani. Hal yang rohani dianggap penting karena akan membawa keselamatan bagi jiwa mereka, sedangkan hal yang jasmani menjadi tidak penting lagi keberadaannya. Menurut Brian J. Walsh dan J. Richard Middleton, masalah dualisme ini begitu mempengaruhi kehidupan kekristenan. Masalah dualisme muncul setidaknya dalam tiga hal: bagaimana orang percaya memandang konsep kerja, bagaimana orang percaya memandang budaya dan bagaimana orang percaya membaca Alkitab. Hal ini perlu diselidiki dari mana “penyakit” ini berasal. Menurut mereka, konsep dualisme ini berasal dari Plato yang memisahkan antara jiwa dan tubuh. Langkah ini diikuti oleh Agustinus yang memisahkan kehidupan kekal dengan yang temporal. Masalahnya, pemahaman Agustinus ini tidak berbeda dengan pemahaman dualisme Plato (The Transforming Vision: Shaping a Christian World View [Downers Grove: InterVarsity, 1984] 94-116). James K. A. Smith melihat hal yang sama dengan mengatakan: “One of the central themes of the continental Reformed tradition is a holistic affirmation of the goodness of creation and materiality, which is thus also affirms those spheres and modes of life associated with craeturely embodiment (the arts, sociopolitical engagement, etc.). As a result, the Reformed tradition has articulated a persistent critique of the dualism of much of Protestant, especially evangelical, Christianity” (Introducing Radical Orthodoxy: Mapping a Post-secular Theology [Grand Rapids: Baker, 2004] 198).
[3]Kingdom Ethics (Downers Grove: InterVarsity, 2003) 440-441, penekanan oleh penulis buku.
[4]“Functional Diversity in Paul’s Use of End-Time Language,” Journal of Biblical Literature 89 (1970) 329 dikutip dari John Bolt, “The Relation Between Creation and Redemption in Romans 8:18-27,” CTJ 30/1 (April 1995) 38.
[5]Creation and New Creation: The Past, Present, and Future of God’s Creative Activity (Minneapolis: Augsburg, 1973) 329.
[6]“The Relation” 34-51.
[7]Matthew Fox, The Coming of the Cosmic Christ (San Francisco: Harper & Row, 1988) 134.
[8]Ibid. 151.
[9]Ibid. 134-135.
[10]Panenteisme tidak perlu dibingungkan dengan pemahaman panteisme. Panteisme secara literal berarti semua (pan) adalah Allah (teisme), tetapi panenteisme berarti semua di dalam Allah. Konsep ini juga disebut teologi proses (sejak Allah dilihat sebagai pribadi yang berubah), bipolar theism (sejak dipercayai bahwa Allah memiliki dua kutub), organisisme (sejak konsep ini dipahami bahwa dari awalnya semua berasal dari organisme raksasa), dan neoclassical theism (karena dipercaya bahwa Allah terbatas dan sementara, kontras dengan paham classical theism) (Norman L. Geisler, “Panentheism,” dalam Baker Encyclopedia of Christian Apologetics [Grand Rapids: Baker, 1999] 576).
[11]Ibid.

No comments: