Wednesday, October 31, 2007
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (6)
“Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup” (1Ptr. 3:10-11)
Bagian firman Tuhan ini sangat tepat sekali menutup ceramah dari seorang ahli Astronomi Indonesia dari ITB yang bernama DR. Iratius Radiman pada kesempatan ceramah KKR Misi di GIA Lengkong Besar Bandung pada tanggal 28 Oktober 2007. Dengan Tema Kesempatan Terakhir (dari gereja) dan Terang Pengharapan Anak-anak Allah—Roma 8:18-25 (dari beliau), saya menyimpulkan 5 hal:
(1) Allah, Pencipta langit dan bumi ini sungguh luar biasa menciptakan eksistensi jagat raya ini dan tentunya manusia. Ada bertriliyun-triliyun bintang dan galaksi di jagat raya ini. Ada bintang bernama Betelgense yang bisa dimuati matahari kita sebanyak 35 juta buah matahari. Bahkan, bintang v838 Monocerotis dapat memuat 125 juta matahari kita padahal matahari kita sendiri dapat diisi planet bumi buanyak sekali! Hebatnya lagi, bintang v838 Monocerotis ada bertriliyun-triliyun jumlahnya yang membentuk galaksi. Dan huebatnya lagi, galaksi pun sebenarnya ada bertriliyun-triliyun jumlahnya (beliau memberikan gambar-gambar bintang dan galaksi tersebut). Karena itulah tidak heran Pemazmur berkata, “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Mzm. 103:14) dan Kejadian 2:7, “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Man just a dust in the presence of the Lord! Tuhan yang menciptakan semuanya ini sungguh Maha. Merenungkan hal ini, saya semakin takjub akan kebesaran-Nya dan semakin harus menaklukkan diri dengan segala kerendahan hati di hadapan-Nya.
(2) Allah tidak meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Dengan bagian atmosfir yang tipis sekali (seperti ujung bolpoint) untuk melindungi dan memberikan kehidupan di bumi serta dengan kerak bumi yang tipis sekali (seperti kulit kentang) untuk melindungi kehidupan di permukaan bumi dari esensi bumi yang adalah the lake of fire (beliau mengatakan bahwa secara logika, bumi tidak layak dihuni karena merupakan bola api), maka bumi tetap bisa dihuni bahkan dipilih Tuhan untuk didiami oleh “debu” yang dikasihi-Nya. Hal ni sangat mungkin terjadi karena Tuhan yang menjadikannya. Tuhan yang memeliharanya. Dengan perbuatan Tuhan yang ajaib, cukup hanya dengan atmosfir yang tipis dan kerak bumi yang tipis, kehidupan manusia dan ciptaan lain di permukaan bumi tertopang. Amazing!
(3) Sayangnya dosa membuat bumi ini semakin hancur. Bumi semakin hancur akibat ulah manusia. Diperkirakan perang akan terjadi hanya akan memperebutkan air bersih. Penyakit semakin ganas dan bervariasi. Bahan makanan alami akan mengkhawatirkan. Bencana alam akan menjadi-jadi dan meluas. Intinya: Doomsday! Kehidupan sekarang kalau dibiarkan begini terus, maka semua hal di atas akan menjadi nyata ± tahun 2050 (42 tahun dari sekarang). Celakanya, justru kerusakan lingkungan pertama kali muncul karena revolusi di Inggris yang membabat hutan untuk tuang besi. Pada tahun 1987, manusia hanya perlu memenuhi makanannya sendiri (dengan bahan kimia) selama ½ bulan di mana 11½-tahunnya lagi dikonsumsi dari hasil bumi. Tahun 1990, menjadi 1 bulan. Tahun 1995 menjadi 1½ bulan. Tahun 2000 menjadi 2 bulan. Sekarang manusia harus mencari sendiri makanannya selama 3 bulan lamanya. Kalau hendak dipaksa, maka tanah akan berkata, “Oke tetapi ini adalah konsumsi tahun 2008.” Bagaimana jadinya nanti tahun 2008? Merenungkan hal ini, ada penatua yang bercanda, “segera menikah Guan!” Yap, saya ingin segera menikah, bahkan akan saya percepat jadwalnya (tetapi sayang tidak bisa). Atau merenungkan hal yang mengerikan ini, lebih baik segera wafat dan masuk surga yang mulia. Apakah saudara akan masih hidup 42 tahun lagi dan menjadi saksi sejarah kebenaran berita ini?
(4) Kelihatannya memang manusia sudah tidak ada harapan hidup di bumi yang semakin hancur ini. Peringatan Global Warming di mana-mana tetapi malah masih sebatas bincang-bincang padahal sudah dibutuhkan aksi yang revolusioner. NASA dan sekutunya bermimpi untuk mewujudkan koloni di Mars atau ruang angkasa yang tentunya belum akan terwujud dalam kurun waktu 50 tahun lagi. Merenungkan hal ini, saya berseru kepada Tuhan, “Tuhan, tidak ada harapan lagi bagi bumi. Kalau tidak ada harapan bagi bumi, maka manusia tidak akan memiliki harapan lagi karena manusia bergantung kepada bumi ini untuk kehidupannya. Bagaimana manusia harus hidup, Tuhan? Adakah harapan bagi manusia?” Sesuatu di hati saya tidak dapat menahan suara yang berkata, “Aku harapanmu! Aku harapan bagi manusia!” Yesus Kristus harapan manusia! Ini bukan klise! Alasannya: (a) Tuhan Yesus Kristus pemilik bumi ini, Dia berhak dan tahu apa yang dilakukan-Nya, (b) Rencana-Nya yang agung itu tidak dapat dibendung oleh usaha manusia (1Ptr. 3:10), (c) Keselamatan yang sejati bagi jiwa yang terancam hancur dan mengalami binasa yang kekal adalah dari Kristus saja! dan (d) Janji langit dan bumi yang baru berasal dari mulut Yang Mahakudus ini. Karena itu, harapan satu-satunya kepada kehidupan yang kekal setelah doomsday ini adalah hanya di dalam Kristus saja!
(5) Pengharapan yang tertuju kepada Kristus saja memang membuat pandangan kita kepada surga menjadi sangat jelas, tetapi tidak berarti pandangan yang jelas ini membuat kita bereuforia sehingga kita lupa berpijak di bumi yang merana ini dan melakukan mandat budaya di kehidupan kita. Kita perlu selalu sadar bahwa, dunia semakin hancur akibat ulah manusia (DR. Radiman mengakui bahwa sedikit sekali anak-anak Tuhan di bumi ini yang tentunya menjaga bumi dari segala kerusakan yang ditimbulkan umat manusia—yang menurut saya belum tentu anak-anak Tuhan yang ada menjaganya, jangan-jangan justru yang mengakibatkannya. Celaka orang Kristen!). Sudah seharusnya anak-anak Tuhan tidak lagi sembarangan lagi hidup, melainkan sungguh-sungguh hidup di dalam kekudusan (1Ptr. 3:11), menjalankan mandat Injili dan mandat budaya. Takutlah kepada Tuhan karena, “ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup. . . sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan” (Ibr. 10:31; 12:29)! Takutlah kepada Tuhan dengan berjanji, “Tuhan, aku takut melakukan dosa karena aku takut itu akan merusak relasiku dengan-Mu.” Jalankan mandat Injili kepada mereka yang belum memiliki pengharapan yang sejati di dalam Kristus! Terapkan mandat budaya mengingat kepada kesejahteraan umat manusia dan mengingat kepada Roma 8:19-25, di mana seluruh ciptaan pun adalah bagian ciptaan Tuhan yang menantikan hal yang sama seperti orang-orang percaya kelak nanti. They’re our fellowbrothers! (Francis Schaffer)
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (5)
(Abraham Kuyper)
Ayat 19
Subjek dari penantian akan kemuliaan jelas mengacu kepada kata “seluruh makhluk/ciptaan.” Masalahnya, kata ini terus diperdebatkan sejak masa bapak gereja Agustinus sampai sekarang. Perdebatan yang diperbincangkan adalah, apakah ciptaan di sini dimengerti dalam arti luas—Paulus memaksudkannya dengan seluruh isi alam semesta yang didukung dengan kata pasa pada (segala makhluk; ay. 22)—atau dalam arti yang terbatas?[1]
Kalau melihat konteks di dalam perikop ini, maka pengertian ciptaan harus dipahami dalam arti yang terbatas. Di dalam Roma 8:19, 21, dan 23, kata “seluruh makhluk” dan “anak-anak Allah” jelas terpisah, sehingga pendapat bahwa manusia—khususnya orang percaya (believers)—termasuk ke dalam kata “seluruh makhluk,” tidak tepat. Demikian juga tidak tepat dengan mengartikan ciptaan ini dengan orang yang tidak percaya (unbelievers), karena sulit untuk dipahami bahwa orang yang tidak percaya menantikan kemuliaan yang akan datang. Lebih jelas lagi, pada ayat 20 dikatakan, “. . . bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia . . . ,” menunjukkan bahwa “makhluk” di sini tidak memiliki kehendak atau pilihan untuk takluk kepada kesia-siaan, melainkan ada pribadi yang menjatuhkan pilihan atau kehendak bagi mereka—dalam hal ini adalah Allah.[2] Sedangkan Adam yang merupakan wakil dari seluruh ciptaan, memiliki pilihan atau kehendak untuk jatuh ke dalam kesia-siaan dan kebinasaan, ketika Adam memilih untuk makan buah pengetahuan yang baik dan jahat itu. Jadi, manusia tidak termasuk ke dalam arti kata ciptaan pada bagian ini. Selain itu, malaikat pun tidak termasuk ke dalam kata ciptaan di sini, karena malaikat tidak ditaklukkan kepada kebinasaan, baik oleh dosa manusia atau perbuatan mereka sendiri.
Pembahasan di atas melapangkan kemungkinan yang paling benar yang dapat masuk ke dalam referensi kata ini yaitu seluruh ciptaan (tidak hanya pengertian “makhluk” seperti yang dipakai LAI), baik bergerak (animate) atau tidak bergerak (inanimate); kata lain yang dipakai adalah subhuman nature, nonhuman creation atau natural world. Ciptaan ini dipersonifikasikan di dalam Roma 8:19-23 seperti yang dicatat di dalam PL, di mana selalu digambarkan memiliki emosi, intelektual, dan kehendak. Namun, meskipun ciptaan pada Roma 8:19-23 dipersonifikasikan, penderitaan yang dialami akibat dosa manusia tidak boleh didemitologisasikan atau diantropologisasikan. Penderitaan sekarang yang dialami oleh seluruh ciptaan adalah nyata dan Allah akan membawa penderitaan mereka kepada kesudahannya, ketika Kristus datang kedua kali dan menyempurnakan penebusan anak-anak Allah. Sebagai ciptaan yang pada mulanya memiliki relasi dengan manusia, mahkota ciptaan Allah (Kej. 1:26-30; 2:19), maka pemulihan ciptaan menantikan pemulihan manusia sebagai gambar dan rupa Allah.
Ayat 20
Latarbelakang dari Roma 8:20-22 adalah Kejadian 3:17-19, di mana menggambarkan kutukan kepada tanah dikarenakan dosa asal manusia.[3] Jika di dalam Roma 5:12-19, Paulus menjelaskan kejatuhan Adam yang membawa dosa dan kematian bagi umat manusia, maka di dalam Roma 8:20-22 ini Paulus melanjutkan dampak kejatuhan tersebut di dalam diri seluruh ciptaan. Hahne menegaskan bahwa, “The fall of Adam had cosmic consequences.”[4] Ada solidaritas antara manusia dengan seluruh ciptaan berkenaan dengan masalah dosa. Cranfield menolong menggambarkan solidaritas ini dengan mengatakan:
What sense is there in saying that ‘subhuman creation—the Jungfrau, for example, or the Matterhorn, or the planet Venus—suffers frustration by being prevented from properly fulfilling the purpose of its existence? The answer must surely be that the whole magnificent theatre of the universe, together with all its splendid properties and all the varied chorus of subhuman life, created for God’s glory, is cheated of its true fulfilment so long as man, the chief actor in the great drama of God’s praise, fails to contribute his rational part . . . just as all the other players in a concerto would be frustrated of their purpose if the soloist were to fail to play his part.[5]
Dampak yang ditimbulkan oleh manusia ini memberikan perbedaan yang sangat mendasar antara manusia dengan ciptaan yang lain, yaitu seluruh ciptaan ditaklukkan ke dalam kesia-siaan tersebut, bukan oleh kehendaknya sendiri. Kata “bukan oleh kehendaknya sendiri” jelas sekali menunjuk kepada seluruh ciptaan di mana ciptaan tidak bersukacita atas kejatuhan Adam, melainkan membuatnya merana karena membawanya ke dalam kesia-siaan. Masalahnya, apakah Adam—dosanya membawa kematian dan kebinasaan bagi dunia (bdk. Rm. 5:12)—yang menaklukkan seluruh ciptaan ke dalam kesia-siaan, ataukah ini merupakan pekerjaan Allah?
Seperti sudah disinggung di penjabaran ayat 19 di atas, bahwa kata “yang menaklukkan” memiliki implikasi otoritas, di mana Adam sudah kehilangan otoritas karena dosa yang diperbuatnya. Menaklukkan seluruh ciptaan ini dikonotasikan mengontrol dunia di mana Adam sudah kehilangan kontrol itu akibat dosanya—demikian juga dengan setan, apapun perannya di dalam proses kejatuhan manusia. Jadi, bukan Adam yang menaklukkan ciptaan ke dalam kesia-siaan. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan kata “dalam pengharapan” yang menunjukkan bahwa siapapun yang menaklukkan ciptaan ke dalam kesia-siaan maka dia pula yang akan membawa seluruh ciptaan ke dalam pengharapan—hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Adam dan setan. Karena itu, satu-satunya yang memiliki otoritas dan dapat membawa seluruh ciptaan kepada pengharapan adalah hanya Tuhan. Tuhan sendiri yang memiliki hak dan kuasa untuk menghukum seluruh ciptaan ke dalam kesia-siaan karena dosa manusia.
Namun permasalahan yang timbul adalah pada kata depan dia. ditambah akusatif, pengertiannya mengarah kepada seseorang, yang bukan sebagai pelaku (agency) dari penaklukkan—seperti yang Tuhan kerjakan—melainkan penyebab penaklukkan itu, yang mengacu kepada Adam[6] (Mzm. 8:7; bdk. 1Kor. 15:27; Ef. 1:22; Flp. 3:21; Ibr. 2:5-8; 1Ptr. 3:22). Tetapi melihat kepada konteks ayat ini, kata depan dia. ditambah akusatif harus direferensikan kepada kegagalan Adam (on account of Adam’s transgression), bukan kepada fungsi yang Allah berikan kepadanya, atau frasa ini akan kelihatan lebih kompleks (on account of him to whom all things were subjected). Moo memberikan alasan yang lebih baik dengan melihat alasan Paulus memilih kata depan dia. ditambah akusatif untuk menampilkan ketetapan Allah (God’s decree) sebagai penyebab dari penaklukkan tersebut.[7]
Jadi, ciptaan telah ditaklukkan oleh Allah—Hakim dan Penyelamat yang agung—sebagai akibat dari kejatuhan manusia. Namun penaklukkan ini hendaknya tidak dipandang sebagai hukuman akhir yang tidak dapat dipulihkan lagi, sebaliknya, ada keyakinan yang teguh akan janji Allah bagi pemulihan seluruh ciptaan, tanpa terkecuali.
[1]Witherington III memberikan delapan kemungkinan yang dapat dimaksud dengan ciptaan pada bagian ini, yaitu: all humanity, unbelieving humanity alone, believing humanity alone, angels alone, subhuman nature (both creature and creation), subhuman nature plus angels, unbelievers and nature, and subhuman nature plus humanity in general (Paul’s Letter to the Romans [Grand Rapids: Eerdmans, 2004] 222).
[2]Kata “ditaklukkan” memiliki implikasi otoritas yang tidak cocok bila dikaitkan dengan Adam yang sudah jatuh ke dalam dosa dan tidak memiliki otoritas atas apapun juga. Menaklukkan ciptaan kepada kesia-siaan menunjukkan kontrol atas dunia ini, di mana Adam sudah kehilangan dominasi atas dunia karena dosanya.
[3]Pemikiran Paulus sangat mungkin sekali dipengaruhi oleh tulisan apokaliptik Yahudi. Contoh tulisan apokaliptik yang mirip dengan kisah Alkitab adalah, Kejadian 6 yang diinterpretasikan oleh 1 Enoch 6-11 di mana ciptaan terdistorsi akibat dosa malaikat yang jatuh (watchers) dan pengikut-pengikutnya (giants). Meskipun asal dosa yang dilakukan oleh malaikat yang jatuh lebih dianggap daripada oleh Adam, hasilnya tetap sama: ciptaan telah rusak karena dosa. Hasilnya adalah dunia ini memerlukan pemulihan (10:7). Bumi yang rusak ini berteriak kepada Allah untuk dilepaskan dari belenggu dosa. Bagian ini mirip sekali dengan apa yang Paulus katakan di dalam Roma 8:19-22, di mana ciptaan telah terbelenggu oleh dosa dan mengeluh kepada Tuhan untuk dibebaskan (Harry Alan Hahne, Paul’s Apocalyptic Theology in Romans 8:19-22 [http://www.balboa-software.com/hahne/Rom8Apocalyptic.pdf#search=’romans%208% 3A1923%20jewish%20apocalyptic’] 3).
[4]The Birth Pangs of creation: The Eschatological Transformation of the Natural World in Romans 8:19-22 (http://www.balboa-software.com/hahne/BirthPangs.pdf#search=’joseph%20lee%20nelson%20 the%20groaning’) 5.
[5]“Some Observations on Romans 8:19-21,” dalam Reconciliation and Hope: Essays on Atonement and Eschatology (ed. R. Banks; Grand Rapids: Eerdmans, 1974) 224-230 dikutip dari David Wilkinson, The Message of Creation (Downers Grove: InterVarsity, 2002) 239.
[6]Albert M. Wolters, Creation Regained [2nd edition; Grand Rapids: Eerdmans, 2005] 56.
[7]Douglas Moo melihatnya bahwa kasus ini dapat membuat dia. ditambah akusatif sama pengertiannya dengan dia. ditambah genitif (The Epistle to the Romans [NICNT; Grand Rapids: Eerdmans, 1996) 516). Joseph A. Fitzmyer mendukung penggunaan dia. ditambah akusatif mengarah kepada Allah, meskipun penggunaan dia. ditambah akusatif yang mengindikasikan subjek sangat jarang (Romans: The Anchor Bible [New York: Doubleday, 1993] 508).
Thursday, October 25, 2007
HARAPANKU INDONESIA (MY HOPE)
Program ini adalah program yang diselenggarakan oleh Dr. Billy Graham ke seluruh dunia dan tibalah saatnya dilakukan di Indonesia yang kita cinta. Tulisan atau keterangan di bawah adalah potongan informasi yang dibuat untuk Jemaat di tempat saya melayani. Untuk keterangan lebih lanjut khususnya untuk acara televisinya dapat saya konfirmasikan lebih lengkap dan tepat. Atau rekan-rekan dapat mendapatkan informasi lebih lanjut di Indonesia@harapanku.com.
Matius dan Kawan-kawan
Saya percaya bahwa kita semua pasti mempunyai kawan-kawan dekat, sanak saudara, atau tetangga yang belum mengenal kasih Kristus. Padahal kita tahu bahwa Dialah harapan yang sesungguhnya bagi segala bangsa. Program “Harapanku Indonesia” merupakan suatu rencana untuk menjangkau mereka semua dengan berita keselamatan melalui acara “Matius dan Kawan-kawan”. Acara ini sangat praktis yang didasarkan atas kisah Injil yang ditulis dan dicatat oleh Matius, seorang pemungut cukai yang dulunya bernama Lewi. Kristus mula-mula memanggil Matius. Kemudian pada suatu hari Matius mengundang kawan-kawannya ke rumahnya untuk berjumpa dengan Yesus dan mendengarkan Dia memberitakan Kabar Baik (Matius 9:9-13; Lukas 5:27-32). Dari kisah inilah istilah acara “Matius dan Kawan-kawan” diambil. Bagian inti program “Harapanku Indonesia” adalah acara yang bernama “Matius dan Kawan-kawan” tersebut.
Bagaimana Menjadi “Matius”?
Melalui acara “Matius dan Kawan-kawan”, banyak anggota jemaat akan mengisi Kartu-kartu Doa dengan menuliskan nama dari 10 orang sanak saudara, kawan dekat atau tetangga yang belum mengenal Kristus, kemudian mendoakan mereka tiap-tiap hari. Jemaat Tuhan diharapkan terus berusaha untuk menjalin persahabatan dengan orang-orang itu dan mulai sharing (berbagi) dengan mereka mengenai kasih Kristus.
Selanjutnya pada suatu tanggal yang ditentukan jemaat akan mengundang kawan-kawan itu datang ke rumah mereka untuk bersama-sama menonton sebuah drama TV/VCD yang berisi suatu pesan moral yang berbicara mengenai kasih Kristus (tanggal penayangan yang sudah pasti 15 Desember 2007 di RCTI pkl. 16.30 WIB dan 21, 22 Desember 2007 di TVRI pkl. 20.00 dan 26 Desember 2007 di Trans TV pkl. 18.00). Sesudah menyaksikan acara tersebut, selama beberapa menit jemaat dapat mensharingkan pengalamannya menggantungkan harapannya kepada Kristus kemudian mengajak kawan-kawan tersebut untuk juga menggantungkan pengharapan kepada Kristus.
Setiap Jemaat Bisa Terlibat
Kaum awam di setiap gereja dapat turut ambil bagian dalam prakarsa nasional ini. Jemaat terlebih dahulu akan menerima pelatihan, bahan-bahan bacaan serta petunjuk-petunjuk untuk dapat memperkenalkan saudara, kawan-kawan dekat, atau para tetangga kepada kasih Kristus. Apa yang akan dilakukan jemaat seperti meniru apa yang dilakukan oleh Matius dalam kisah di atas, dengan menempuh langkah-langkah yang mudah sebagai berikut:
5 Langkah yang Mudah:
1. Lihat Sekeliling: Perhatikan siapa-siapa di antara sanak keluarga, tetangga, dan kawan-kawan dekat Anda yang benar-benar membutuhkan Kristus. Tulis nama-nama mereka di atas Kartu Doa “Matius dan Kawan-kawan” (akan diberikan dalam pelatihan)
2. Lihat ke Atas: Berdoalah tiap-tiap hari untuk nama-nama yang Anda tulis dan mintalah supaya Tuhan memberi Anda kesempatan untuk berbicara dengan mereka tentang harapan Anda dalam Kristus
4. Lihat ke Depan: Undanglah orang-orang yang Anda daftarkan itu untuk datang minum teh/kopi ke rumah Anda dan bersama-sama menonton acara TV/VCD. Buatlah mereka agar merasa seperti di rumah sendiri dan ciptakan suasana yang nyaman untuk menonton acara TV/VCD. Selesai acara itu, jelaskan kepada tamu-tamu Anda bagaimana mereka dapat menaruh harapan pada Kristus dengan menaruh iman, dan pimpinlah mereka dalam suatu doa yang sederhana mengundang Kristus masuk ke dalam kehidupan mereka.
5. Lihat Selanjutnya: Pakailah brosur “Hidup di dalam Kristus” atau bahan-bahan lain yang disediakan gembala Anda untuk membimbing jiwa-jiwa baru di dalam menghayati iman mereka dan membantu mereka berdoa, membaca Alkitab dan mempelajarinya. Ajak mereka juga ke gereja Anda, agar bertumbuh dalam kehidupan mereka yang baru bersama Kristus
Jangan ketinggalan! Marilah bergabung dengan jutaan orang di seluruh dunia, menjadi “Matius-Matius” dengan terlibat memperkenalkan Kasih Kristus kepada kawan-kawan kita. Tuhan Yesus memberkati.
Tuesday, October 23, 2007
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (4)
Untuk menutupi kekurangan ini, penulis melihat upaya dari beberapa pihak dalam melihat dan mengamati relasi antara penebusan Kristus dengan keberadaan seluruh ciptaan. Ada dua pendapat yang memiliki pandangan yang bertolak belakang satu sama lain. Pandangan pertama mengatakan bahwa penebusan yang Kristus kerjakan hanya bagi manusia semata, tidak ada penebusan bagi ciptaan yang lain. Ayat-ayat seperti Roma 8:19-23, Kolose 1:13-20, 1 Korintus 15:28 atau Efesus 1:10 yang dianggap oleh beberapa orang[1] menggambarkan relasi antara penebusan Kristus dengan seluruh ciptaan (kosmos), dipandang hanya sebatas penebusan yang hanya berbicara bagi manusia semata. Orang-orang yang menitikberatkan penebusan hanya bagi manusia melihat bahwa konsep penebusan hanya diperuntukkan bagi manusia saja, dalam hal ini orang-orang percaya.[2] Glen H. Stassen dan David P. Gushee di dalam menyikapi teks Kolose 1:13-20 berpendapat bahwa:
The term redemption is predicated only of “us” (i.e., followers of Jesus) and specifically defined as the forgiveness of sins. Although the whole creation is “fallen” and under “the dominion of darkness,” the nonhuman creation is not sinful. Only humans need forgiveness of sins. But human sinfulness has created alienation between humanity and the rest of creation (Gen. 3:14-19; 9:1-6), and this passage promises reconciliation, an end to that alienation.[3]
Dengan kata lain, Stassen dan Gushee ingin mengatakan bahwa hanya manusia yang jatuh ke dalam dosa sedangkan ciptaan yang lain tidak. Apakah benar demikian? Bukankah ketika manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh tatanan kehidupan terseret pula ke dalam dosa?
Surat Roma 8:18-27 juga dianggap oleh beberapa kalangan tidak berbicara kepada relasi penebusan Kristus dengan kosmos. John C. Gager menuliskan bahwa: “In Paul, this cosmic dimension has been significantly limited to an anthropological category, and its primary reference has become the nonbelieving, human world.”[4] John Reumann menambahkan bahwa Paulus “does cite words that look for cosmic redemption,” tetapi ia melanjutkan “His interest in quoting them is entirely, however, on man, Christian man.” Menurutnya, “Romans 8 thus fits with the interpretation we have reached of the new creation as the new creaturehood of Christian believers, not a cosmic day-dream.”[5]
John Bolt melihat bahwa orang-orang Neo-ortodoks menafsirkan Roma 8 khususnya ayat 19-23, bukan di dalam dimensi kosmologis, tetapi lebih kepada lingkup soteriologi yang antropologis. Menurut Bolt, hal yang mendasar yang menjadi permasalahan mereka adalah pengetahuan dan iman akan penebusan Kristus yang merupakan kunci bagi manusia, tidak dimiliki oleh ciptaan yang lain. Artinya, perhatian Paulus di dalam Roma 8 lebih kepada kehidupan spiritual manusia, dan apa pun yang dikatakan Paulus mengenai ciptaan secara keseluruhan, hanya bersifat insidentil dan tidak merupakan bagian utama dari tulisannya di surat Roma. [6]
Pandangan yang kedua melihat dari sudut pandang yang berbeda. Pandangan ini secara ekstrem melihat bahwa Kristus adalah Kristus Kosmik (Cosmic Christ) yang melihat Kristus sebagai pola yang menghubungkan (the pattern that connects): “divinity and earthiness; emptiness and fullness; suffering and accomplisment. It connects all creatures in the entire universe.”[7] Matthew Fox berpendapat bahwa: “salvation is about God becoming ‘all in all,’” Paul tells us (1Cor. 15:28).[8] Lebih lanjut lagi Fox melihat konsep Kristus Kosmik ini akan mengubah paradigma seseorang:[9]
from anthropocentrism to a living cosmology
from Newton to Einsten
from parts-mentality to wholeness
from rationalism to mysticism
from obedience as a prime to creativity as a prime moral virtue
moral virtue
from personal salvation to communal healing, i.e., compassion
as salvation
from theism (God outside us) to panentheism (God in us and us in God)
from fall-redemption religion to creation-centered spirituality
from the ascetic to the aesthetic
Penulis melihat pemahaman ini terlalu ekstrem, khususnya bila menyangkut pemahaman panenteisme[10] yang mendistorsi begitu banyak natur Allah. Perbedaan yang begitu besar antara teisme dan panenteisme adalah:[11]
TEISME
God is Creator.
Creation is ex nihilo.
God is sovereign over world.
God is absolutely perfect.
God is monopolar.
God is independent of world.
God is actually infinite.
God is unchanging.
PANENTEISME
God is changing.
God is director.
God is working with world.
Creation is ex materia.
God is growing more perfect.
God is bipolar.
God is actually finite.
God is dependent on world.
Panenteisme dalam hal ini telah merusak pemahaman kosmologis yang dapat membuka wawasan kepada konsep penebusan yang lebih utuh.
[1]Beberapa di antaranya: Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids: Eerdmans, 1979) 32-33, 53-54, 275, 282, Robert Recker, “The Redemptive Focus of the Kingdom of God,” Calvin Theological Journal 14/2 (November 1979) 154-186, Francis A. Schaeffer, Pollution and the Death of Man: The Christian View of Ecology (Wheaton: Tyndale House, 1980) 65-77, George Eldon Ladd, A Theology of the New testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1993) 682-683, James D. G. Dunn, The Theology of Paul The Apostle (Grand Rapids: Eerdmans, 1998) 38-43, dan David K. Naugle, “Kristus Kosmik Dalam Surat Kolose: Eksegesis Kolose 1:15-23,” Transformasi 2/1 (Februari 2006) 95-111.
[2]Pemahaman ini sangat mungkin dipengaruhi oleh pandangan dualisme yang memisahkan unsur materi-roh atau jasmani-rohani. Hal yang rohani dianggap penting karena akan membawa keselamatan bagi jiwa mereka, sedangkan hal yang jasmani menjadi tidak penting lagi keberadaannya. Menurut Brian J. Walsh dan J. Richard Middleton, masalah dualisme ini begitu mempengaruhi kehidupan kekristenan. Masalah dualisme muncul setidaknya dalam tiga hal: bagaimana orang percaya memandang konsep kerja, bagaimana orang percaya memandang budaya dan bagaimana orang percaya membaca Alkitab. Hal ini perlu diselidiki dari mana “penyakit” ini berasal. Menurut mereka, konsep dualisme ini berasal dari Plato yang memisahkan antara jiwa dan tubuh. Langkah ini diikuti oleh Agustinus yang memisahkan kehidupan kekal dengan yang temporal. Masalahnya, pemahaman Agustinus ini tidak berbeda dengan pemahaman dualisme Plato (The Transforming Vision: Shaping a Christian World View [Downers Grove: InterVarsity, 1984] 94-116). James K. A. Smith melihat hal yang sama dengan mengatakan: “One of the central themes of the continental Reformed tradition is a holistic affirmation of the goodness of creation and materiality, which is thus also affirms those spheres and modes of life associated with craeturely embodiment (the arts, sociopolitical engagement, etc.). As a result, the Reformed tradition has articulated a persistent critique of the dualism of much of Protestant, especially evangelical, Christianity” (Introducing Radical Orthodoxy: Mapping a Post-secular Theology [Grand Rapids: Baker, 2004] 198).
[3]Kingdom Ethics (Downers Grove: InterVarsity, 2003) 440-441, penekanan oleh penulis buku.
[4]“Functional Diversity in Paul’s Use of End-Time Language,” Journal of Biblical Literature 89 (1970) 329 dikutip dari John Bolt, “The Relation Between Creation and Redemption in Romans 8:18-27,” CTJ 30/1 (April 1995) 38.
[5]Creation and New Creation: The Past, Present, and Future of God’s Creative Activity (Minneapolis: Augsburg, 1973) 329.
[6]“The Relation” 34-51.
[7]Matthew Fox, The Coming of the Cosmic Christ (San Francisco: Harper & Row, 1988) 134.
[8]Ibid. 151.
[9]Ibid. 134-135.
[10]Panenteisme tidak perlu dibingungkan dengan pemahaman panteisme. Panteisme secara literal berarti semua (pan) adalah Allah (teisme), tetapi panenteisme berarti semua di dalam Allah. Konsep ini juga disebut teologi proses (sejak Allah dilihat sebagai pribadi yang berubah), bipolar theism (sejak dipercayai bahwa Allah memiliki dua kutub), organisisme (sejak konsep ini dipahami bahwa dari awalnya semua berasal dari organisme raksasa), dan neoclassical theism (karena dipercaya bahwa Allah terbatas dan sementara, kontras dengan paham classical theism) (Norman L. Geisler, “Panentheism,” dalam Baker Encyclopedia of Christian Apologetics [Grand Rapids: Baker, 1999] 576).
[11]Ibid.
Monday, October 22, 2007
IN MEMORIAM
SUPONO B. WAGITO
30 MARET 1955 - 11 SEPTEMBER 2007
Pak Pono atau sering saya panggil Pak Pon! memang kelihatannya bukan siapa-siapa di mata banyak orang. Mengapa demikian? Karena Pak Pon hanya seorang petugas kebersihan di gereja yang dilayaninya selama hampir 30 tahun. Beliau selama ± 52 tahun semasa hidupnya menegarkan hatinya terhadap Injil Tuhan yang disampaikan kepadanya. Tetapi menjelang masa akhir hidupnya ± 2 minggu, beliau menetapkan diri untuk percaya dalam hatinya dan mengaku dengan mulutnya bahwa Tuhan Yesus Kristus yang selama ini didengarnya namun yang diabaikannya, sekarang dengan tegas telah menjadi Juruselamatnya. Selama ± 2 minggu saya percaya beliau mendapati dirinya tidak sendirian lagi tetapi ada seorang penolong dan pemasti hidupnya kelak. Mengapa saya dapat memastikan demikian?
Ketika kami mengunjungi Pak Pon di Rumah Sakit karena beliau menderita gagal ginjal, saya mendengar ada orang-orang yang menceritakan kembali tentang Kristus sebagai Juruselamat. Mereka pun mendoakan Pak Pon. Pak Pon meresponi Injil dan doa tersebut dengan menyebut nama Yesus dan meresponi tantangan keselamatan ini. Pada hari minggu, beberapa hari menjelang kepergiannya, Pak Pon dengan kursi roda mengikuti ibadah di gereja. Itu adalah ibadah resminya yang terakhir, tetapi ibadah yang sejati berkecamuk di dalam hidupnya sepulang dari gereja.
Secuil Kisah Beliau
Hampir setiap kali saya melangkah ke kantor, saya berpapasan dengan beliau. Seperti biasa, kami bertegur sapa. Kadang Pak Pon tersenyum dan merentangkan tangannya menyambut tangan saya, namun seringkali juga Pak Pon hanya menatap kaku seperti banyaknya masalah bagi sebagian besar orang. Tetapi Pak Pon bukan orang yang sering mengeluh. Dia mengeluh hanya ketika sedang sakit dan pusing dengan kehidupan rumah tangganya. Untuk pekerjaan, never heard tuh! Bahkan menurut kesaksian beberapa orang, beberapa tahun lalu mengingat dedikasi, usia, dan taraf hidupnya, Pak Pon ditawari modal untuk berdagang oleh gereja. Namun apa daya, Pak Pon malah sedih dan menangis karena dia menduga dirinya dipecat dari gereja. Tak ayal, gereja hanya bisa tersenyum akan keluguan seorang Pak Pon dan dia dapat terus bekerja di gereja. Hati yang mengasihi dan setia kepada pekerjaannya. Kadang saya sendiri tidak merasa lebih mengasihi dan setia kepada panggilan saya sebagai seorang penginjil.
Ijinkan saya mengungkapkan penghargaan saya kepada beliau dan kepada Tuhan atas pengalaman hidup bersamanya selama 6 bulan saya bersua dengannya.
Kiranya Tuhan terus bekerja di dalam hati Pak Pon - Pak Pon yang lain sehingga genap orang-orang pilihan-Nya mengaku dengan mulut dan percaya dalam hati bahwa Yesus adalah Tuhan!
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (3)
Menurut John Jefferson Davis, salah satu penyebab yang menjadikan relasi antara ciptaan dengan konsep penebusan terabaikan atau kurang jelas adalah kurangnya pembahasan tersebut di dalam buku-buku teologi sistematika. Ini yang Davis sebut titik buta (blind spots) di dalam kekristenan.[1] Davis mencoba menelusuri buku-buku tersebut sejak tahun 1970 yaitu sejak awal diperingatinya hari bumi sedunia sebagai komitmen seluruh dunia dalam membangun kesadaran akan pemeliharaan lingkungan. Davis mendapati bahwa fokus akan doktrin penciptaan dari buku-buku tersebut hanya terletak pada pembahasan evolusi, umur bumi, dan penciptaan hari pertama, tidak kepada pembahasan seluruh ciptaan dan relasinya dengan penebusan Kristus. Menurutnya, ada beberapa kesarjanaan yang alkitabiah yang sudah mulai menapaki dampak kosmik di dalam karya penebusan Kristus (Kol. 1:20). Namun langkah ini tidak diikuti oleh para teolog injili.[2] Karena itu, Davis menyimpulkan dan memberikan saran sebagai berikut:
It is likewise apparent that evangelical theologians generally do not see any connections between the atoning work of Christ and the future of the earth and Christian responsibility for its proper stewardship. . . . This paper concludes with a call for evangelical theologians to engage in further development of the doctrines of creation and the atonement with a view toward unfolding in a more systematic and integrated way the contemporary implications of these Biblical truths for Christian stewardship of the environment.[3]
[1]“Ecological ‘Blind Spots’ in the Structure and Content of Recent Evangelical Systematic Theologies,” Journal of the Evangelical Theological Society 43/2 (June 2000) 273.
[2]Ibid. 273-275. Menurut H. Wayne House, gereja mula-mula sebenarnya telah mengkorelasikan karya penciptaan dan karya penebusan Allah sebagai satu campuran (blended) yang mendemonstrasikan kesatuan dari maksud dan tujuan Allah. Pemahaman ini terus dipertahankan untuk melawan pengaruh dari gnostisisme. Gnostisisme melihat bahwa Allah bertentangan dengan ciptaan, ortodoksi melihat ciptaan Allah baik adanya. Di saat gnostik melihat Kristus sebagai makhluk kosmik, di dalam ortodoks perspektif Yesus Kristus adalah Allah seutuhnya dan manusia seutuhnya. Jika gereja menerima Kristus di dalam kerangka gnostik, maka gereja akan menghilangkan kesejarahan Yesus, Allah yang menjadi manusia seutuhnya, kematian secara fisik di kayu salib dan kebangkitan fisik dari kubur. Namun House mengindikasikan teologi modern pada zaman sekarang telah terjebak kepada pengaruh gnostik. House berkata: “Contrary to this biblical approach is the tendency in modern theology to see the creation as inferior and material and the new creation, the redemptive creation, as superior and immaterial, to see creation as being squarely set over against the new order that has come in Christ, finally to be realized in the complete establishment of the new creation. In so doing, modern theology has reverted back to errors refuted by the doctors of the church and once again placed the people of God at the mercy of false orthopraxy that comes from heretodoxy (“Creation and Redemption: A Study of Kingdom Interplay,” JETS 35/1 [March 1992] 3-4).
[3]“Ecological ‘Blind Spots’” 285.
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (2)
Menurut orang-orang sekuler, kekristenan justru merupakan agama atau lembaga yang paling bertanggungjawab atas kerusakan ekologi selama ini.[1] Diagnosa ini bagi mereka tidak berlebihan jika melihat kepada ajaran-ajaran kekristenan yang lebih mengutamakan manusia daripada ciptaan yang lain.[2]
Ajaran yang pertama adalah kuatnya doktrin antropologi yaitu doktrin yang membahas tentang manusia dan relasinya dengan Allah. H. Paul Santmire berkata:
As the earth groans in travail, it appears that those who stand in the traditions of Luther and Calvin are ill-equipped to respond to the global environmental crisis theologically. . . . The Protestant mind has become fixed, not to say fixated, on what Karl Barth called “the-anthropology,” the doctrine of God and humanity. This has meant, in turn, that protestants generally have approached the earth almost exclusively via the theology of a divinely mandated human dominion over nature.[3]
Pemahaman doktrin ini semakin kuat melalui konsep gambar dan rupa Allah (image of God) yang merupakan kelebihan manusia dibandingkan ciptaan yang lain. Dampaknya sangat jelas yaitu manusia memberhargakan dirinya sendiri dan menanam arogansi di dalam memperlakukan ciptaan yang lain.[4]
Ajaran yang kedua adalah kuatnya doktrin eskatologi, yaitu doktrin yang memfokuskan diri kepada kehidupan di masa yang akan datang. Doktrin ini mendorong orang-orang yang percaya untuk melihat kepada rumah mereka yang sebenarnya di dunia yang lain yaitu surga. Segala bencana yang terjadi di dalam dunia ini hanya sementara waktu dan tidak akan ditemui lagi bila manusia meninggalkan dunia menuju kehidupan yang kekal di surga (Why. 21:4). Menurut J. Passmore, hal ini jelas-jelas menunjukkan kekristenan anti kepada masalah ekologi.[5]
Kekecewaan terhadap pemahaman doktrin di atas sebenarnya ingin mempertanyakan satu hal yang terabaikan selama ini yaitu, apa signifikansi keberadaan ciptaan yang lain yang juga merupakan bagian dari karya Allah? Atau dengan kata lain, seberapa pentingkah ciptaan lain di mata Allah?
Jika keberadaan manusia signifikan dan penting di mata Allah, maka akan ditemukan kaitannya di dalam karya penebusan Kristus yang telah mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Karya penebusan ini yang dapat memampukan manusia berelasi dengan Allah (antropologi) dan memiliki kehidupan kekal bersama dengan Allah (eskatologi). Tetapi bagaimana dengan ciptaan yang lain? Apakah ada hubungannya karya penebusan Kristus dengan ciptaan yang lain sehingga ciptaan yang lain pun dapat menjadi signifikan dan penting di mata Allah?
[1]D. L. Migliore, “Eschatology and Ecology: The Witness of Reformed Theology” dalam Studies in Reformed Theology: Vol. 5: Christian Hope in Context (eds. A. Van Egmon dan D. Van Keulen; 2 vols.; Zoetermeer: Meinema, 2001) 2.11.
[2]Sejarahwan Lynn White, Jr. melihat bahwa kekristenan menanggung beban akan kesalahan yang begitu besar dari degradasi lingkungan karena pengajarannya yang mengajarkan bahwa umat manusia diberikan mandat oleh Tuhan untuk menjalankan dominasi atas seluruh ciptaan yang lain (“The Historical Roots of Our Ecological Crisis,” dalam The Care of Creation [ed. R. J. Berry; Downers Grove: InterVarsity, 2000] 40).
[3]H. Paul Santmire, “Healing The Protestant Mind: Beyond the Theology of Human Dominion” dalam After Nature’s Revolt (ed. Dieter T. Hessel; Minneapolis: Fortress, 1992) 57.
[4]Menurut Andalas, kredo dominasi dan kontrol absolut manusia terhadap ciptaan-ciptaan yang lain memberikan lisensi untuk eksploitasi ekologi. Alam menjadi the suffering other baru karena terus-menerus diperas secara rakus oleh manusia. Mengutip dari Sallie McFague dalam Life Abundant: Rethinking Theology and Economy for a Planet in Peril (2001), Andalas menulis bahwa berbagai krisis alam akhir-akhir ini memperkuat relasi intrinsik antara bencana alam dan perilaku eksploitatif manusia terhadap ekologi. Eksploitasi manusia sudah mencapai taraf melampaui batas kemampuan ekologi untuk menanggungnya. Menurut Sallie, perilaku destruktif manusia terhadap ekologi itu bersumber pada pandangan mengenai ciptaan yang ditata dalam relasi dualistik hierarkis. Paradigma superioritas-subordinasi ini opresif terhadap alam (“Pasca-‘Holocaust’” 6).
[5]J. Passmore, Man’s Responsibility for Nature (New York, 1987) dikutip dari Migliore, “Eschatology” 11. Migliore berkata bahwa orang-orang premilenium dispensasional memandang dunia ini dengan pesimis karena mereka begitu mengharapkan kedatangan Tuhan kedua kali yang akan didahului oleh masa tribulasi, peperangan dan kehancuran dunia. Masalah kerusakan ekologi menjadi salah satu masalah yang diperlukan sebagai bagian dari kehancuran menjelang kedatangan Tuhan. Segala bentuk dukungan untuk menyelesaikan masalah ini dianggap sebagai satu kesia-siaan dan bertentangan dengan penghakiman Allah yang akan datang (ibid. 18).
Thursday, October 18, 2007
KEKRISTENAN DI TENGAH PELIKNYA MASALAH EKOLOGI (1)
The Christian thinks only of himself and the salvation of his soul.
(Ludwig Aeuerbach)
PELIKNYA MASALAH EKOLOGI
Alarm bencana ekologi berdering keras di seluruh dunia. Tsunami, badai, banjir, tanah longsor, pemanasan global dan bencana ekologi lainnya membantu manusia untuk melihat holocaust ekologi yang menjadi monster menakutkan bagi manusia.[1] Semua bencana yang terjadi ini dipicu oleh ulah manusia yang diakui kedudukannya sebagai makhluk hidup yang tertinggi yang memiliki akal budi, kehendak dan perasaan dibandingkan seluruh ciptaan Tuhan yang lain. Kedudukan ini dimanfaatkan sedemikian rupa oleh manusia dengan menguasai dan mengeksploitasi ciptaan yang lain untuk kesejahteraan dirinya sendiri. Mulai dari pencemaran udara oleh asap-asap pabrik dan kendaraan bermotor, pencemaran air oleh limbah-limbah hasil produksi dan limbah rumah tangga, sampai kepada penebangan-penebangan liar di hutan dengan alasan perluasan area pemukiman dan industri. Disadari atau tidak, semua pencemaran ini membawa akibat yang fatal bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, misalnya masalah kekurangan air bersih yang sudah terasa di berbagai belahan dunia.[2] Cepat atau lambat, semua masalah ini akan membawa manusia kepada holocaust yang dahsyat—kematian seluruh umat manusia. Apakah selama ini kekristenan memberikan jawaban?
[1]Mutiara Andalas, “Pasca-‘Holocaust’ Ekologi,” Kompas (9 Januari 2006) 6.
Friday, October 5, 2007
BERKENANKAH IBADAHMU DI HADAPAN TUHAN?
7 bulan yang lalu ketika saya mulai masuk ke sebuah gereja Pantekosta, saya mulai beradaptasi dengan sebuah ibadah yang liturginya, gaya ibadahnya berbeda dengan yang selama ini saya jalani, karena latar belakang saya bukan Pantekosta. Sampai hari ini saya belajar banyak hal khususnya di dalam semangat dan dinamika pujian dan penyembahan. Beberapa teman saya yang mampir ke Bandung datang beribadah ke tempat ini dan semua menikmati ibadah di gereja kita. Bahkan ada teman saya yang berkata, “sudah lama saya tidak memuji Tuhan sampai menitikkan air mata, padahal itu lagu cepat/pujian.”
Di tempat ini, saya merenungkan bahwa setiap orang memiliki gaya penyembahan yang berbeda. Saya sendiri tidak biasa mengangkat tangan dalam memuji Tuhan, jadi biasanya saudara kalau memperhatikan saya menyanyi, saya memakai jurus semedi di tempat, tetapi tidak sampai jurus Gogon. Tetapi mungkin banyak dari kita yang mengangkat tangan dalam memuji Tuhan, bahkan tidak hanya satu tangan tetapi kedua tangan kita angkat tinggi2 untuk menyembah dan memuliakan Tuhan, atau mungkin ada orang-orang yang seperti Gembala Sidang kita yang tersungkur menyembah Tuhan.
Bagaimanapun cara kita memuji dan menyembah Tuhan (tentu yang berada di koridor firman Tuhan artinya membangun sesama dan tidak menimbulkan keresahan) kita harus memiliki satu cara yang firman Tuhan katakan berkenan di hati Tuhan. Nah ibadah seperti apa yang berkenan di hati Tuhan? Mari kita buka Ibrani 12:25-29! Ibadah yang berkenan adalah ibadah yang disertai dengan rasa hormat dan takut kepada Tuhan. Ini yang harus sama di setiap anak-anak Tuhan di gereja manapun atau denominasi/aliran apapun. Menyembah dan beribadah dengan hati yang penuh rasa hormat dan takut kepada Tuhan! Di Ibrani dikatakan, “Marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.” Tentu ibadah tidak hanya saat kita ke gereja tetapi sepanjang hari kita, kita bekerja, belajar, beraktivitas dengan penghormatan kepada Tuhan. Uang/berkat yang Tuhan berikan tidak kita pergunakan seenaknya demi kepentingan pribadi saja. Kita tidak bermegah ketika kita mendapatkan nilai yang baik di sekolah atau kampus, kita tidak bermegah ketika kita dapat melayani dengan kemampuan yang kita miliki, karena kemegahan kita hanya akan menodai kehormatan kita kepada Tuhan yang telah bermurah hati memberkati kita dengan keberhasilan. Roma 12:1 mengatakan bahwa ibadahmu yang sejati adalah mempersembahkan totalitas hidup bagi Tuhan. Mazmur 71:8, “Mulutku penuh dengan puji-pujian kepada-Mu, dengan penghormatan kepada-Mu sepanjang hari.”
Kata Hormat dan takut pada bagian ini menunjukkan sebuah pengagungan dan ketakjuban kepada Allah yang Mahakuasa, Mahaberdaulat, dan Maha-Maha lainnya. Allah yang disembah adalah Allah yang menguasai dunia ini, menguasai setiap peristiwa-peristiwa di dunia dan di setiap kehidupan saudara dan saya.
Ada seorang senator Amerika bernama Ernie Chambers dari negara bagian nebraska yang tidak tahu bagaimana menghormati Tuhan, bahkan koran menuliskan senator ini sudah gila. Senator ini mengajukan gugatan hukum kepada Tuhan atas segala bencana yang ia turunkan ke dunia. Dia mengatakan, “Tuhan telah menyebabkan banjir, badai, gempa, dan tornado yang mengerikan.” Senator ini meminta pengadilan mengambil keputusan permanen yang melarang Tuhan mengeluarkan ancaman teror. Gugatan Chambers menunjukkan bahwa Chambers berusaha menghadirkan Tuhan ke dunia. “Keluarlah di manapun Engkau berada!” mungkin begitu teriak Chambers. Hingga kini penggugat belum bisa dimintai komentar. Tuhan pun sampai saat ini belum menanggapi gugatan itu. Aya aya wae! Dunia sudah semakin stres dan semakin berani kepada Tuhan. Tetapi kita harus tetap memiliki rasa hormat dan takut kepada Tuhan bagaimanapun dan apapun keadaaan kita.
Pemahaman hormat dan takut pada Ibrani semakin unik sifatnya karena kata takut dalam bahasa aslinya hanya satu-satunya dipakai pada bagian ini. Takut yang bagaimana yang harus menyertai ibadah kita sehari-hari? Tentu bukan takut yang biasa-biasa saja, melainkan rasa takut yang terdiri dari 2 sisi seperti mata uang: (1) rasa takut kepada keperkasaan dan penghakiman yang akan didatangkan Tuhan Yesus ketika Ia datang kedua kalinya. (2) rasa takut sebagai ungkapan syukur atas kerajaan-Nya yang tidak tergoyahkan yang pada saatnya akan dimiliki kita.
SS, kedatangan Tuhan Yesus yang pertama kali di palungan yang hina adalah kedatangan yang membawa misi kasih Allah Bapa. Kedatangan Yesus ini sebenarnya sudah digambarkan di dalam Hagai 2:7-9, 22-23. Mari kita baca! Tuhan berjanji kepada Zerubabel dan Yozadak bahwa bait suci yang baru akan berdiri dan Tuhan akan mengguncangkan alam dan bangsa-bangsa agar semua emas dan perak mengalir ke dalam bait suci ini. Tuhan akan mengguncangkan semua raja-raja dan seluruh kekuatan manusia di bumi. Bukankah itu yang dikerjakan Yesus Kristus di dalam kedatangan-Nya ke dalam dunia. Herodes goncang melihat bintang yang terang itu sehingga dia bunuh semua anak laki-laki yang baru lahir. Orang-orang Yahudi goncang hatinya melihat yang datang bukan Allah yang perkasa melainkan bayi yang lemah. Murid-murid-Nya goncang imannya melihat gurunya/Tuhannya tidak bergeming kepada mereka yang membawanya seperti domba yang dibawa ke pembantaian. Dan bumi pun bergoncang ketika Yesus mati di atas kayu salib. Tuhan Yesus menggoncangkan seluruh keberadaan manusia dengan kehadiran-Nya. Dia menggoncangkan hati saudara dan saya yang keras hingga hati kita menjadi lembut dan menjadi bait suci yang baru di mana Kristus bertahta di dalamnya (Paulus katakan, “tubuhmu adalah bait sucimu”).
Tetapi penulis Ibrani berkata, sekali lagi Tuhan akan menggoncangkan tidak hanya bumi, melainkan langit juga ketika Ia datang kedua kalinya. Kedatangan-Nya sebagai Hakim yang Agung membawa misi penghakiman dengan menghakimi semua orang, baik yang percaya maupun tidak percaya! Kedatangan-Nya akan memisahkan domba milik-Nya dan yang bukan milik-Nya, “Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing, dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya. Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan (Mat. 25:31-34)” Domba yang bukan milik kepunyaan-Nya akan menerima penghukuman, “Juga tentang mereka Henokh, keturunan ketujuh dari Adam, telah bernubuat, katanya: "Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya, hendak menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik (orang-orang yang tidak percaya) karena semua perbuatan fasik, yang mereka lakukan dan karena semua kata-kata nista, yang diucapkan orang-orang berdosa yang fasik itu terhadap Tuhan (Yud 1:14-15)” Apa hukuman bagi kita yang percaya? Alkitab tidak mencatat! Namun saya percaya penghakiman itu sendiri sudah menjadi hukuman bagi kita! Bayangkan bagaimana jadinya dihakimi oleh Allah yang perkasa dan mulia itu, yang Matius gambarkan kedatangan-Nya membuat matahari menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya, bintang-bintang berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan goncang. Seluruh bangsa di bumi ditulis Matius, akan meratap (Mat. 24:29-30)! Karena itu, kita harus selalu peka dan berhati-hati dengan segala perbuatan kita di bumi karena akan diperhitungkan di dalam penghakiman nanti.
Tetapi satu hal positif yang kita dapatkan sebagai anak-anak-Nya ketika Kedatangan-Nya yang kedua kali yang menggoncangkan seluruh dunia ini yaitu Tuhan akan menggenapkan kerajaan-Nya yang kokoh dan tidak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun juga. Pada akhirnya hanya ada satu raja yang berkuasa atas segala sesuatunya yaitu Raja atas segala raja, Tuhan Yesus Kristus! Dan kita menyembah Allah yang demikian di dalam kerajaan yang tidak akan tergoyahkan itu!
Rasa takut kepada Tuhan yang menghakimi dan yang memberikan kepada kita kerajaan yang tidak tergoyahkan ini yang harus menyertai ibadah kita sehari-hari. Ada 2 sikap yang akan membantu kita meresapi rasa takut dan hormat kita ini:
1. Sikap yang merendahkan diri di hadapan Tuhan.
Kisah orang Farisi dan pemungut cukai di dalam Lukas 18:9-14 berada di dalam konteks kedatangan Tuhan Yesus kedua kali dan perumpamaan mengenai hakim. Pengakuan dosa dari pemungut cukai adalah karena ia menyadari siapa Pencipta dan siapa yang ciptaan, siapa yang terbatas dan siapa yang Tidak Terbatas, siapa yang Suci dan siapa yang rentan terhadap dosa.
Berapa seringkah saudara di dalam hidup saudara setiap hari merenungkan bahwa saudara adalah orang yang berdosa tetapi mendapatkan anugerah hidup yang kekal di dalam Tuhan? Coba renungkan setiap hari berita Injil ini! Saya percaya saudara akan menghargai setiap orang yang saudara jumpai/saudara tidak akan merasa diri lebih benar daripada orang lain, karena saudara menyadari bahwa saudara dan orang lain adalah mantan terpidana dosa. Paulus menyadari hal ini. Ia berkata, “Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: "Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa," dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal” (1 Timotius 1:15-16).
Ketika saudara merasa sebagai orang yang berdosa namun mendapatkan anugerah, maka hati saudara akan berkobar untuk meresponi kasih Tuhan ini dengan pergi mengajak orang lain untuk seperti saudara yang “beruntung” sudah ada di dalam Tuhan. Bahkan kalau saya perhatikan, orang-orang yang sangat merenungi dan meresapi dosanya dan kasihnya Tuhan ini, orang ini akan rela memberikan seluruh hidupnya bahkan mati bagi pelayanan Tuhan. Saya tidak sabar mendengarkan kesaksian dari ibu Rebecca yang saya percaya akan sangat menguatkan iman kita.
Seberapa sering saudara datang kepada Tuhan dan berdoa, “Ya, Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!”
2. Sikap yang selalu berjaga-jaga
Kisah 5 gadis bodoh dan 5 gadis bijaksana yang menantikan kedatangan mempelai pada Injil Matius menunjukkan ada orang-orang yang berjaga-jaga menantikan kedatangan Tuhan, namun ada juga orang-orang yang tidak berjaga-jaga. Orang-orang yang berjaga-jaga menantikan kedatangan Tuhan adalah orang yang selalu peka untuk melawan dosa di dalam hidupnya dan kemudian peka pula untuk selalu menjalankan kehendak/perintah Tuhan di dalam hidupnya. Orang-orang yang demikian biasanya akan serius di dalam merenungkan firman Tuhan, karena dirinya sadar bahwa tanpa tuntutan firman Tuhan maka hidupnya hanya akan mengecewakan hati Tuhan. Saya pernah melihat sebuah tulisan di Alkitab teman saya yang bertuliskan, “saudaraku, kalau kau tidak sedang mencintai firman, maka engkau sedang mencintai dosa.”
Sebaliknya, orang-orang yang tidak berjaga-jaga, mereka menjalankan hidupnya apa adanya/ala kadarnya, tanpa ada keinginan untuk bertumbuh. Biasanya orang-orang yang demikian cukup datang ke gereja saja tiap minggu, tidak perlu melayani Tuhan atau membaca Alkitab setiap hari. Yang penting saya sudah percaya Tuhan. Titik!
Saya mau katakan, setiap orang yang sungguh-sungguh bergumul dalam firman dan sungguh-sungguh mengikut Tuhan saja terkadang jungkir balik dan bergumul di dalam kedagingannya, apalagi yang tidak sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan di dalam firman-Nya?
Kalau kita sungguh-sungguh bergumul setiap hari dalam firman-Nya dan berjaga-jaga di dalam segala tindak tanduk kita, memang kita akan semakin mendapati betapa diri kita lemah dan rapuh, tetapi kelemahan kita berada di lengan Tuhan yang kekal dan perkasa. Sebaliknya, jika kita tidak sungguh-sungguh bergumul dalam firman-Nya dan tidak berjaga-jaga di dalam setiap perbuatan kita, kita akan semakin merasa diri kuat padahal iman kita berdiri di atas kaca yang tipis.
Kedua sikap inilah yang harus kita miliki sebagai bukti kita takut dan hormat kepada Allah kita. Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan dan berjaga-jagalah di dalam setiap langkahmu karena Raja segala raja itu berjanji kepada kita, “Ya, Aku datang segera!” Apakah saudara berani mengatakan, “Amin, datanglah Tuhan Yesus!”
Ambil Kesempatan!
Dan ia (kepala penjara) sangat bergembira, bahwa ia dan seisi rumahnya telah menjadi percaya kepada Allah (ay. 34b). Saya pun ikut gembira ketika membaca kisah ini. Pertama, karena Paulus dan Silas lebih memilih berdoa dan menyanyikan pujian daripada menggerutu atau tidur! Kedua, tentu saja saya bahagia seperti malaikat di surga karena Kerajaan Surga akan bertambah penghuninya. Ketiga, karena ternyata membawa orang percaya sampai dibaptis bisa hanya memerlukan beberapa jam saja, tidak perlu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (mirip kisah Lidia bukan?). Kegembiraan saya, kepala penjara dan tentu saja Paulus dan Silas (mungkin juga saudara) dapat terjadi semata-mata karena kuasa Allah di dalam firman-Nya/Injil-Nya. Apa maksudnya?
Kalau saudara baca di dalam Kisah Para Rasul 16:13-18, Paulus dan Silas bisa dipenjarakan karena pemberitaan Injil mereka merugikan penghasilan tukang tenung. Ketika mereka di dalam penjara, mereka berdoa dan bernyanyi, sebenarnya secara tidak langsung mereka sedang memberitakan firman karena dikatakan, “. . . dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka” (ay. 25b). Dan terakhir tentu saja dengan pemberitaan firman kepada kepala penjara, maka kepala penjara sekeluarga menjadi percaya kepada Tuhan. Bukankah ini berarti Injil Tuhan menggetarkan hati semua orang?
Yang perlu kita pelajari dan terapkan dalam kehidupan kita adalah ketika Paulus dan Silas tidak menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan sediakan bagi mereka. Mereka sadar betul bahwa kuasa Injil/firman Tuhan bekerja dengan dahsyat dalam segala keadaan. Bahkan kalau kita dengar kesaksian-kesaksian iman, justru di dalam keadaan sulit, kuasa firman lebih didengar seperti speaker daripada kerincingan.
Pertanyaannya sekarang, apakah saudara dan saya mau memanfaatkan setiap kesempatan yang Tuhan berikan untuk memberitakan firman, apapun keadaannya?
Kita hanya alat di dalam kesempatan dan kekuatan yang dari Tuhan.
Thursday, September 27, 2007
Beritakan Kristus Saja, Hai Orang Percaya!
Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita (Kol. 2:6). Siapakah Yesus Kristus? Saya percaya saat ini saudara sudah ancang-ancang menjawab pertanyaan di atas sebagai bukti bahwa saudara sungguh sudah menerima-Nya—atau takut malu, “masak orang Kristen tidak kenal Tuhannya?”
Pengetahuan dan pemahaman kita tentang Yesus Kristus sampai kita dapat menerima-Nya bukanlah sebuah usaha manusia. Paulus menunjukkan bahwa kita dapat mengenal-Nya sampai kepada menerima-Nya disebabkan oleh telah terbukanya rahasia ilahi yang tersembunyi berabad-abad lamanya (Kol. 1:26-27)—dengan kata lain, bayangan Kristus di PL terbuka sudah di PB (silahkan saudara membaca Injil Matius yang keseluruhan berita-Nya mengarah kepada Yesus sebagai penggenapan PL).
Allah perlu sekali untuk menyatakan rahasia ini agar manusia dapat diselamatkan. Tanpa Allah menyatakan diri-Nya, manusia tidak dapat mengenal Dia. Tanpa manusia mengenal-Nya maka manusia tidak dapat menerima-Nya. Masalahnya adalah bagaimana manusia dapat mengenal-Nya kalau tidak ada yang memberitakan-Nya (Rm. 10:14-15)? Problem inilah yang diusahakan Paulus dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa yang diberikan kepadanya sehingga dalam segala ajaran dan nasihatnya, Kristuslah yang selalu diberitakan (Kol. 1:28-29)—bukan diri Paulus, apalagi diri kita. Kita harus membawa semua orang kepada Kristus karena ia sempurna, sedangkan keangkuhan kita hanya akan menjerumuskan sesama kita.
Kita yang sudah mengenal Yesus dan menerima-Nya harus berlaku seperti Paulus yang memberitakan tentang Kristus. Bagaimana caranya? Dengan seluruh hidup kita—ajaran, perkataan, perbuatan, pikiran, dll. Paulus mengingatkan kita untuk mewaspadai diri kita dan ajaran kita (1Tim 4:16). Di hadapan siapa? Di hadapan anak, cucu, teman, karyawan, suami, istri, dan orang-orang lain di sekeliling kita.
“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu . . .”
Monday, September 17, 2007
John Stott—Kristus yang Tiada Tara (The Incomparable Christ)
Prinsip “Jesus Seminar” yang meragukan keotentisitasan perkataan Yesus di Injil sangat-sangat subjektif sifatnya. Demikian pula bagaimana sejarah membuktikan akan Gereja yang memaparkan Kristus (cth. Monastisisme, Mistisisme), telah menjadikan Yesus sebagai “Yesus yang lain” yang hanya dipakai sebagai pendukung konteks pergumulan gereja, atau dengan kata lain mendompleng Kemahaan Kristus. Meskipun pemaparan Gereja tidak sefatal “Jesus Seminar”—masih ada hal positif yang bisa didapat—tetap saja menjadikan Kristus tidak tiada taranya lagi.
John Stott dengan penuh hati-hati dan percaya diri mengungkapkan Kristus yang tiada taranya ini dengan mengawalinya dari pemahaman PB itu sendiri yang meninggikan dan mengagungkan Kristus. Pemaparannya yang sangat apik pada bab kedua karena meng-compact isi dari PB bukan sesuatu yang mudah, tetapi Stott telah berhasil melakukannya sehingga memberikan suatu worldview penafsiran yang bertanggung jawab. Pada bab keempat bukunya ini, Stott memilih kitab Wahyu untuk dipaparkan lebih banyak daripada lainnya. Mengapa demikian?
Pertama, kitab Wahyu adalah tulisan yang bersifat apokaliptis. Karena masuk ke dalam genre sastra yang khusus, maka perlu sekali kitab ini ditangani secara khusus pula.
Kedua, Kita ini berisi suatu galeri gambaran-gambaran tentang Tuhan Yesus Kristus. Untuk setiap kitab PB lainnya, kita bisa mengisolasi penekanan khususnya. Setiap kitab Injil dan setiap surat memiliki temanya yang khusus. Namun tidak demikian halnya dengan Kitab Wahyu, yang berisi berbagai gambaran tentang Kristus. Kitab ini memaparkan Dia sebagai Yang Awal dan Yang Akhir, Anak Domba dan Singa, pencuri pada waktu malam, Raja di atas segala raja, Hakim Ilahi, dan Mempelai Laki-laki Sorgawi. Metafora ini dan yang lain mengalir dari pemikiran Yohanes yang subur. Kita harus menilai dengan adil galeri gambaran-gambaran ini.
Ketiga, Kitab Wahyu merupakan klimaks dari PB. Tanpa memperdulikan waktu penulisan dokumen-dokumen PB, gereja sudah bertindak bijaksana dengan mengurutkan kanon PB sedemikian rupa sehingga dimulai dengan kisah tentang Yesus (keempat kitab Injil) dan kisah tentang gereja mula-mula (Kisah Para Rasul); berlanjut dengan 22 surat pengajaran rasuli tentang iman, kehidupan, dan pengharapan Kristen; dan berakhir dengan Kitab Wahyu yang membawa kekekalan mendekat.
Pada bab kesimpulan, Stott menyadari bahwa dirinya tidak layak sebenarnya untuk menyatakan kritik-kritik yang negatif kepada pemaparan gereja tentang Kristus; dengan beranggapan bahwa dirinyalah yang lebih baik. Dirinya dapat jatuh ke dalam kesombongan yang tak tertahankan jika saja bukan Allah yang dengan penuh kemurahan memberikan kepada kita dalam Kitab Suci suatu kriteria yang dengannya kita menilai semua gerakan dan tradisi manusia.
Karena itu, tidak heran di dalam akhir dari tulisannya, Stott memberikan sebuah kisah yang diambil dari almarhum Donald Coggan, mantan uskup agung Canterbury (sekalipun dia tidak bisa mengingat siapa penulisnya yang asli):
Ada seorang pemahat yang pernah, begitu kata mereka, memahat sebuah patung Tuhan kita. Dan orang banyak datang dari tempat-tempat yang jauh untuk melihatnya—Kristus dengan segala kekuatan dan kelemahlembutan-Nya. Mereka mau berjalan berkeliling patung tersebut, berusaha menangkap keindahannya, menatapnya di sini dan dari sudut ini, di sana dari sudut sana. Namun tetap keagungannya tidak tertangkap oleh mereka, sampai mereka mengonsultasikan kepada si pemahat sendiri. Dia akan tetap menjawab, “Hanya ada satu sudut yang darinya keindahan patung ini benar-benar bisa dinikmati. Anda harus berlutut.”
Penerbit Momentum—262 hlm.
Melihat Kristus dengan rendah hati
Disampaikan oleh almarhum Donald Coggan, mantan uskup agung Canterbury (sekalipun dia tidak bisa mengingat siapa penulisnya yang asli)—dikutip dari John Stott, Kristus yang Tiada Tara
Tantangan Zaman Anak Sekolah Minggu dan Komunikasi
Generasi masa sekarang adalah generasi Net Generation atau N-Geners. Generasi ini adalah generasi yang lahir pada periode 1977-1997. Berarti anak-anak SM yang kita layani termasuk di dalam N-Geners. Dari namanya saja kita sudah tahu bahwa generasi ini sangat akrab dengan komputer, namun tidak hanya sekadar komputer tetapi masuk ke dalam dunia maya/virtual seperti televisi, game, internet, dan kecanggihan teknologi lainnya. Adapun tantangan zaman yang membentuk karakteristik anak SM adalah:
1. Individual—komunitas—individual.
Pertama, anak berkarakteristik sangat individual sekali melalui dunia maya yang mereka mainkan. Mereka senang bermain sendirian tanpa diganggu oleh siapapun dan apapun. Tidak ada teman tidak apa-apa. Kalaupun mereka berkomunitas hanya sebatas pembicaraan dunia maya mereka atau sebagai ajang pamer kebolehan. Ujung-ujungnya berkomunitas adalah individual lagi.
- Game. Menurut para Psikolog, game dapat merusak konsentrasi belajar. Hiburan berganti menjadi keharusan. Emosi anak tidak stabil/impulsif, mis: kalau televisi dimatikan mereka bisa mengamuk. Cenderung malas bergaul dengan teman-temannya. Sering terlibat konflik dengan sekitarnya, cth kasus: Anak SMP pernah menusuk kawan sekelasnya untuk menyudahi pertengkaran yang ternyata anak SMP ini gemar bermain game peperangan. Karena itu anak-anak SM kita bisa tidak memiliki kerinduan akan Hikmat dan teguran seperti yang yang dirindukan firman Tuhan dalam kitab Amsal. Namun ada hal positif yang diduga berasal dari game yaitu anak-anak dilatih pikirannya menjadi imajinatif, kreatif dan inovatif. Kemudian anak akan memiliki rasa kepahlawanan untuk membela kebenaran. Ada seorang ibu yang bahkan menganggap game baik untuk anaknya karena dapat melatih anaknya memiliki tangan yang terampil ketika memencet tombol dengan harapan anak ini akan mahir ketika menjadi dokter bedah.
- Internet. Bahaya pada internet adalah pornografi. Anak-anak sekarang mengalami masa pubertas yang cepat. Mungkin pada usia 12-13 tahun sudah mengalami menstruasi atau mimpi basah. Sedangkan rata-rata orang yang menikah sekarang sekitar 27-30 tahun karena faktor karier atau trauma melihat perceraian atau kebutuhan ekonomi yang tinggi. Jadi ada jarak yang jauh sekitar 18 tahunan untuk anak-anak menahan gejolak seksnya sebelum masuk ke dalam pernikahan yang kudus. Jarak yang jauh ini sangat rentan untuk dipengaruhi oleh sarana-sarana dosa seperti internet atau 3G (pornografi). Karena itu anak-anak SM kita sangat rentan dengan pencobaan seksual. Sebenarnya bila digunakan dengan baik, internet sangat mendukung di dalam ilmu pengetahuan atau komunikasi.
- Televisi. Bahaya pada televisi adalah penekanan kepada penampilan lahiriah. Baik film atau iklan akan menawarkan kehidupan lahiriah yang sempurna sehingga anak-anak akan takut gemuk, takut bodoh, dan takut miskin (seringkali justru orangtua yang menjadikan anak-anak seperti demikian). Gemuk identik dengan tidak cantik dan tidak menarik. Cantik berarti langsing (jarang sekali iklan atau film memakai peran utamanya seseorang yang gemuk). Mereka juga takut bodoh sebab nilai-nilai di sekitar mereka mengondisikan untuk melombakan prestasi akademik mereka. Karena itu sejak kecil mereka diarahkan masuk ke sekolah favorit agar mereka dapat menjadi anak favorit. Kemudian anak-anak juga takut miskin karena kalau miskin berarti mereka tidak dapat membeli barang-barang mereka bermutu untuk dapat meningkatkan harga diri. Intinya adalah mereka selalu ingin menjadi pusat perhatian di manapun mereka berada. Semua harus fokus kepada dirinya dan menyanjung-nyanjung keberadaan dirinya—ini baru namanya hidup. Kalau hidupnya tidak serba wow sehingga tidak menjadi pusat perhatian maka hidup ini terasa bosan dan tidak ada lagi gunanya untuk hidup. Secara teologis ini dinamakan “tidak adanya perspektif eskatologi” bagi mereka. Kesuksesan adalah hari ini, kekekalan hanyalah imajinasi atau sesuatu yang jauh. Padahal Tuhan Yesus berkata di dalam Matius 6:19-21 berkata, "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”
Mengapa kehidupan maya/virtual menarik?
Kalau kita perhatikan baik game, TV, dan internet menawarkan gambar yang menarik perhatian anak-anak dari sejak mereka membukanya sampai mereka mengakhirinya. Mereka sangat menikmati warna-warna dan tantangan yang ada. Saya pernah ditest untuk teman saya yang ada di Psikologi. Saya diminta melihat di layar kaca 2 tombol berwarna merah dan hijau. Bila salah satu tombol menyala maka tangan saya pun harus memencet tombol sesuai warnanya. Itu mudah tetapi makin lama makin sulit karena di sekeliling layar kaca mulai dinyalakan lampu yang berwarna-warni. Ini menunjukkan betapa konsentrasi dapat buyar karena pengaruh warna. Makanya mengapa di Timezone/Gamezone mesin-mesin permainan di pasang banyak sekali lampu yang berwarna-warni karena bertujuan membuyarkan konsentrasi anak ketika bermain dan mereka akan kalah dan penasaran dan akan main lagi. Sekarang masalahnya adalah bagaimana ketika kita mengajar anak-anak kalau anak-anak sudah terbiasa dengan visualisasi yang menarik bagi mereka, sedangkan kita masih mengajar dengan gambar flanel yang tidak bergerak atau bahkan tidak menggunakan alat visual apapun dan hanya mengandalkan suara kita? Mengapa kita tidak mulai memikirkan mengajar dengan menggunakan sarana powerpoint/film untuk menarik perhatian mereka? Atau bukankah seharusnya kita mengkreatifkan diri kita dengan metode-metode cerita yang baru? Karena itu penting sekali pelayanan anak-anak SM memiliki team yang kuat, solid, serius mengikuti perkembangan zaman, kreatif dan peduli dengan pelayanan anak. Tidak harus anak-anak muda melainkan orang yang sudah tua dapat memberi batasan yang kuat agar tidak malah kebablasan tanpa saringan. Kalau kita tidak segera serius memperbaiki pelayanan kita maka kita akan kalah telak dari dunia.
2. Figur pembina rohani yang langka.
Anak-anak SM kekurangan figur idealisme baik di rumah, masyarakat, sekolah, maupun di gereja. Sebagian besar anak-anak sekarang tumbuh dengan orangtua yang penuh dengan pertengkaran, permusuhan, bahkan perceraian. Mereka harus hidup dengan orangtua tunggal sehingga ada banyak yang kehilangan figur ayah atau ibu. Masyarakat di sekitar hidup dengan kekerasan, korupsi dan ketidakadilan. Guru-guru di sekolah juga sudah jarang sekali mengajarkan nilai-nilai kebenaran, hanya sebatas kognitif saja. Sedangkan sudah jarang sekali hamba-hamba Tuhan dan guru-guru SM yang hidup di dalam kekudusan dan pengabdian sebagai pelayan-pelayan anak-anak ini. Karena itu, generasi Net menjadi skeptis dan pesimis ketika melihat keadaan orang-orang disekelilingnya yang tidak berusaha memahami kebutuhan maupun pergumulan anak-anak pada zaman ini. Seringkali anak-anak harus menerima perlakuan yang keras atau disiplin yang ketat dari pembina-pembina rohaninya yang justru akan menjadi bumerang dengan pemberontakan mereka.
Apa tindakan kita sebagai guru-guru SM? Komunikasi yang bagaimana yang seharusnya kita kerjakan?
Komunikasi biasanya memang identik dengan verbal atau kata-kata. Namun pada zaman sekarang kita tidak cukup dengan komunikasi kata, melainkan komunikasi pikiran, komunikasi hati, komunikasi perbuatan.
1. Komunikasi kata.
Jangan menggunakan kata-kata konfrontasi yang kasar dan memancing amarah ataupun dengan ucapan siapa yang berkuasa. Apabila kita mencecar anak-anak dengan peluru kata-kata maka ada 2 kemungkinan yang terjadi: ia akan lari ke tempat persembunyiannya dan melampiaskan amarahnya atau kemungkinan kedua, ia akan balas menyerang saudara.
- Selesaikan dulu urusan saudara sebelum saudara menyelesaikan urusan dengan anak-anak SM saudara. Biasanya kita yang dalam keadaan sibuk, capek dalam pelayanan mudah sekali untuk melampiaskan emosi kepada anak-anak karena merasa anak-anak tidak berani menantang atau membalas kita. Keluarkanlah dulu balok di mata kita, barulah kita mengeluarkan selumbar/serpihan kayu di mata anak-anak SM kita (Mat. 7:3-5).
- Setelah saudara mempersiapkan diri (berdoa terlebih dahulu), berbicaralah dengan anak SM saudara di tempat yang tepat dan waktu yang tepat (saya biasanya melakukannya ketika setelah belajar atau kerumahnya. Di remaja yang saya pernah alami atau sekali-sekali di tempat ini, saya sering menggunakan kesempatan bertemu di hari senggang untuk ngobrol, atau bisa juga saya ajak pergi makan dan di sanalah saya berbicara menanyakan perihal pergumulan di dalam dirinya). Jangan menegur mereka di tempat umum/di depan teman-temannya karena hal tersebut hanya akan membuat dirinya malu. Ambillah waktu khusus maka secara tidak langsung saudara hendak mengatakan, “Kamu sangat berarti bagi saya.” Memberikan hikmat kepada anak-anak bukan dengan cara memukul anak-anak dengan kata-kata melainkan Amsal 1:8-9 berkata, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu, sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu.” Seperti memberikan harta yang termahal baginya. Kita harus menghindarkan dari mencari tahu siapa yang benar atau siapa yang salah. Di dalam buku Masa Penuh Kesempatan yang ditulis oleh Paul David Tripp, dia mengemukakan tiga cara untuk menolong kita ketika kita menghadapi anak-anak (remaja) yang bersikap defensif:
a. Menjelaskan makna dari tindakan kita. Kita bisa katakan, “Jangan salah paham, om/tante tidak menuduhmu. Om/tante sangat mengasihimu dan karena kasih itu, om/tante ingin melakukan apa saja yang bisa om/tante lakukan untuk menolongmu. Kalau ada hal yang ingin kau sampaikan sama om/tante, kamu bisa tolong beritahukan dengan hormat kepada om/tante.”
b. Kita harus menolong mereka meneliti sikap defensif mereka sendiri. Menurut Tripp, anak-anak menderita kebutaan spiritual sehingga perlu untuk dibimbing melihat keadaan spiritual mereka sendiri. Kita dapat katakan, “Tahukah kamu ada banyak kegelisahan atau kekacauan di ruangan ini. Bukankah om/tante tidak membentakmu, menyakitimu, atau menuduhmu? Tetapi sepertinya kamu tidak suka dengan om/tante. Mengapa kamu marah atau tidak suka sama om/tante? Dapatkah kamu jelaskan kepada om/tante?”
c. Berusaha jujur dengan cara mengaku dosa-dosa yang telah kita lakukan kepada anak-anak kita. Kadang tanpa sadar kita sudah melukai hati mereka dengan kata-kata kita yang kasar, membentak, atau mungkin memukul. Kita harus akui kesalahan kita kepada anak-anak kita dan tunjukkan juga pengakuan itu kepada Tuhan agar anak-anak dapat menyadari dosa mereka juga di hadapan Tuhan dan kita.
2. Komunikasi pikiran.
Bawa mereka di dalam pengenalan akan diri mereka sendiri. Ajukan pertanyaan yang membutuhkan deskripsi, penjelasan, dan pengungkapan diri. Jangan puas hanya dengan jawaban ya atau tidak saja. Anak-anak biasanya suka bercerita (mulai berkurang pada zaman ini), jadi manfaatkan kebiasaan mereka ini dengan mendengarkan keluhan mereka. Pancing mereka mengungkapkan segala gundah gulana mereka. Mengapa? Karena biasanya anak-anak yang “bermasalah” di SM memiliki masalah pula di rumah. Jadi dengan mengetahui isi pikiran mereka, maka kita kira-kira dapat mengira bagaimana kehidupan keluarga mereka di rumah, bagaimana perlakuan yang mereka dapatkan dari orangtua mereka. Anak-anak memang akan sulit sekali mengungkapkan pemikiran mereka karena pikiran mereka masih abstrak dan belum tersusun rapi, terlebih lagi mereka sudah “malas” berpikir keras kalau hal itu tidak menantang mereka (seperti permainan game yang mereka mainkan).
3. Komunikasi hati.
Apakah kita pernah mengajak anak-anak didik kita masuk ke dalam pembicaraan yang dalam? Misalnya membicarakan tentang Tuhan Yesus secara pribadi kepada mereka? Biasanya pengajaran di kelas sangat menyulitkan kita untuk menembus hati setiap anak karena pengajaran yang kita ajarkan bersifat umum dan bisa saja ditanggapi dengan berbeda-beda oleh setiap anak. Penting sekali kita kembali mengajarkan secara pribadi kepada setiap anak agar kita dapat lebih memperkenalkan kepada anak-anak mengenai Yesus.
4. Komunikasi perbuatan.
Tunjukkan kasih kita dengan perbuatan! Saya menyarankan kita untuk melakukan perkunjungan agar anak-anak dapat merasa lebih dekat dan diperhatikan (imbasnya nanti juga ke orangtua yang melihat keseriusan kita dalam melayani anak-anak mereka). Anak-anak mungkin tidak dapat mengekspresikan sukacita mereka ketika melihat kita datang mengunjungi mereka atau dalam tingkah laku kita yang menunjukkan kasih kepada mereka, namun percayalah, setiap gerak gerik kita akan diamati oleh anak-anak kita, sadar atau tidak sadar. Anak-anak adalah mesin foto copy yang paling canggih di seluruh dunia. Di dalam zaman di mana mereka sudah kehilangan figur rohani yang ideal, maka penting sekali kita menumbuhkembangkan kembali figur yang ideal di dalam diri kita, agar mereka tidak mencari figur di luar kekristenan. Ajarkan mereka untuk melakukan firman Tuhan seperti kita!
Saya menutup Riung Mumpulung ini dengan puisi doa yang ditulis oleh Leslie Pinckney Hill yang melukiskan pergumulan rohani pembina kerohanian anak.
Guru
Tuhan, siapakah aku ini sehingga boleh mengajarkan jalan-Mu
hari lepas hari kepada anak-anak-Mu?
Bukankah aku pun rawan tersesat?
Aku mengajarkan mereka pengetahuan,
namun aku menyadari
betapa kecilnya cahaya lilin pengetahuanku.
Aku mengajarkan mereka kuasa,
untuk berkehendak dan berbuat
tetapi sekarang barulah aku melihat
kelemahan demi kelemahanku.
Aku mengajarkan mereka untuk mengasihi
semua manusia dan semua ciptaan Tuhan
namun aku menyadari
bahwa kasihku masih jauh dari cukup.
Tuhan, jika aku harus tetap menjadi
pemandu bagi mereka
Oh, biarlah anak-anak kecil itu melihat
bahwa guru mereka bersandar erat-erat kepada Engkau.
Riung Mumpulung Guru Sekolah Minggu, 29 Juli 2007
Friday, September 14, 2007
THE GLORY OF GOD
(Walter Rauschenbusch)
Khotbahkan Selalu Berita Injil Di dalam Hati Kita!
Apakah kita masih semangat mendengar berita Injil? Untuk hari ini mungkin iya, apalagi ketika kita selesai memperingati kematian Tuhan Yesus. Tetapi bagaimana untuk setahun ke depan atau seumur hidup kita, apakah berita Injil masih menjadi bagian terbesar yang akan sering kita khotbahkan di dalam hati kita? Ada banyak orang Kristen yang selama hidupnya merasa cukup mendengar berita Injil satu kali saja yaitu ketika pertama kali percaya kepada Tuhan Yesus. Namun setelah itu, berita Injil menjadi hambar rasanya, padahal berita Injil adalah dasar yang kokoh bagi iman kita.
Paulus sendiri tidak bosan-bosannya memproklamasikan berita Injil. Berita Injil di dalam pemberitaan Paulus adalah pendamaian manusia dengan Allah. Pendamaian ini dapat terjadi hanya karena Allah yang berinisiatif dan aktif mendamaikan diri-Nya dengan manusia yang berdosa melalui pengorbanan Anak-Nya, Yesus Kristus (ay. 18-19). Manusia tidak memiliki andil apa pun karena manusia telah kehilangan kemuliaan Allah, sehingga apa pun yang manusia inginkan hanyalah dosa. Tuhan Yesus yang mati di atas kayu salib telah meredakan, atau dengan kata lain, memuaskan murka Allah, sehingga manusia dapat dilayakkan hidup di hadirat Allah. Ketika Yesus dikatakan mendamaikan kita dengan Allah maka ada dua kondisi yang bersamaan terjadi di dalam diri kita:
1. Kita terbebas dari dosa (ay. 17). Semua dosa-dosa kita telah dihapuskan dengan darah Yesus yang teramat mahal. Namun tidak cukup di situ,
2. Kita dibenarkan di hadapan Allah (ay. 21). Kita seperti seorang penjahat yang siap dijatuhi hukuman mati oleh hakim, tetapi justru kita dibebaskan dari segala hukuman; luar biasanya lagi, kita diangkat menjadi anak-Nya.
Bukankah ini berita luar biasa ketika kita yang seharusnya binasa tetapi diselamatkan? Mari kita selalu khotbahkan berita Injil ini di dalam hati kita, sehingga kita dengan rendah hati selalu hidup di dalam kasih karunia-Nya. Sehingga pula bukan karena gagah dan perkasa kita hidup di dunia, melainkan semata-mata karena anugerah-Nya. Marilah kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri, melainkan untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk kita (ay. 15).
Jadikan berita Injil makananmu setiap hari!
Wednesday, September 5, 2007
Kerinduan hidup kudus
Di dalam kalimat “saya orang kudus,” ada dua pengertian yang berbeda di dalamnya, yaitu: (1) lahir di kota Kudus (Jawa Tengah), dan (2) hidup di dalam Tuhan. Namun, ada satu persamaan yang tidak dapat dihindari, yaitu menjadi orang kudus—baik lahir atau di dalam Tuhan—bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan yang harus dijalani. Seseorang tidak mungkin memilih untuk tidak dilahirkan di kota Kudus. Demikian pula, seseorang yang sudah hidup di dalam Tuhan, tidak dapat memilih untuk tetap di dalam dosa, melainkan harus memiliki kerinduan untuk hidup di dalam kekudusan, yaitu memisahkan diri dari dosa-dosa. Apakah saudara memiliki kerinduan untuk hidup di dalam kekudusan. Saudara dapat memeriksanya melalui tiga hal berikut:
Pertama, adanya pengakuan dosa (ay. 2). Bangsa Israel mengakui dosanya yang sudah melakukan perkawinan campur dengan bangsa lain. Perkawinan campur ini sangat dilarang Tuhan karena bangsa lain akan mempengaruhi bangsa Israel untuk hidup di dalam penyembahan berhala (lihat kisah raja Ahab dalam 1 Raja-Raja 16:29-33). Tahap awal untuk hidup dalam kekudusan adalah mengakui dosa kita di hadapan Tuhan.
Kedua, adanya dukungan terhadap sebuah tindakan (ay. 4). Bangsa Israel memberikan dukungan kepada nabi Ezra untuk bangkit, kuat, dan bertindak melakukan pemurnian. Ketiga kata kerja ini sulit dikerjakan tanpa ada dukungan yang nyata. Demikian pula, kita seringkali sulit untuk berjuang melawan dosa sendirian. Kita membutuhkan orang-orang di sekitar kita untuk menolong kita dan mendoakan kita. Mari kita bergandengan tangan sebagai tubuh Kristus, menopang satu dengan yang lainnya di dalam mengejar kekudusan.
Ketiga, adanya tekad untuk menuruti perintah Tuhan (ay. 3, 12-14). Seruan tekad bangsa Israel di hadapan Allah merupakan sebuah pembaharuan iman dan komitmen setelah berkali-kali mengecewakan hati Tuhan. Alangkah indahnya setiap kita yang berjanji di hadapan Tuhan untuk hidup kudus tidak sekedar mengucapkan janji-janji manis, melainkan melakukannya di dalam hidup kita.
Mari kita memeriksa diri kita di hadapan Tuhan! Kiranya anugerah Allah memampukan kita menjalani hidup yang kudus di hadapan-Nya.
Hidup dalam kekudusan adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.
Thursday, August 30, 2007
Sehati Sepikir Berlindung dalam Naungan Tuhan
Kontes Mamamia di Indosiar dapat menjadi contoh bagaimana seorang anak perempuan beserta ibunya sehati sepikir untuk mencapai puncak prestasi. Kontes ini semakin menjadi pusat perhatian ketika Fiersha, seorang kontestan yang mengalami kelemahan di matanya dapat terus melaju sampai empat besar (ayo maju terus Fiersha!). Fiersha memang memiliki suara yang sangat bagus, namun demikian ia sangat bergantung kepada mamanya yang senantiasa memperhatikan segala kebutuhannya.
Orang-orang Israel menyadari kelemahan mereka untuk dapat menghancurkan kota Yerikho. Mereka sehati sepikir berlindung dan bergantung kepada Allah yang perkasa. Coba anda bayangkan sejenak kalau ada seseorang atau sekelompok orang yang merasa bangga dengan senjatanya dan pasukannya, kemudian memilih tidak menyanyi namun melepas panah dan tombak ke arah Yerikho, mung-kin kisah runtuhnya tembok Yerikho ini akan berbeda. Atau kalau-pun akan tetap sama kisahnya, maka akan ada penambahan mengenai orang-orang bodoh yang tidak sehati sepikir mengandalkan Tuhan.
Orang-orang seperti ini ada di dalam kehidupan kita. Suami bangga dengan kemampuannya mencari uang sehingga muncul kali-mat, “Kalau bukan karena saya, kalian akan makan batu!” Istri tidak mau kalah. Dengan merawat anak dan menjaga rumah ia berkata, “Kalau bukan karena saya, anakmu akan menjadi maling!” Pemimpin-pemimpin gereja bangga dengan panggilan dan pelayanannya sehingga muncul kalimat, “Kalau bukan karena saya, gereja ini akan hancur!” Jemaat pun tidak mau kalah. Jemaat berkata, “Kalau bukan karena saya, gereja akan sepi!” Seorang siswa atau mahasiswa bangga dengan kepintarannya dan kerajinannya sehingga muncul kalimat, “Saya pantas lulus karena saya memang pintar dan rajin!” Demikian pula dengan pimpinan perusahaan dan karyawan yang saling menganggap diri penting.
Kalimat-kalimat yang sering kita dengar bukan, bahkan mungkin kita ucapkan sendiri? Sehati sepikirlah di dalam bergantung kepada tangan kuasa Tuhan. Kita harus mengakui bahwa tanpa Tuhan, yang tersisa dari kita adalah kehancuran. Bila ada yang tidak sehati sepikir, mari seperti Yosua yang mengajak dan membawa umat-Nya melihat sendiri kuasa Tuhan.
Kita bukan siapa-siapa! Jika kita menyadarinya, maka kita akan diperlihatkan siapa Tuhan kita.
Tuesday, August 28, 2007
Aku Hidup Untuk Menyatakan Dia
Ketika saya berada di sebuah gereja di Magelang untuk menjalankan praktek pelayanan, saya pernah dipercayakan membawakan firman dengan tema, “Apakah orang Kristen boleh mengharapkan kematian?” Tema ini sangat menarik karena juga dialami oleh banyak tokoh-tokoh Alkitab seperti Ayub, Elia, dan Pemazmur. Mereka memohon Tuhan mengambil nyawa mereka karena kesulitan dan pergumulan hidup yang mereka alami. Jadi, kalau ditanya kepada saya, apakah orang Kristen boleh mengharapkan kematian? Maka saya akan menjawab, “Boleh!” Mengapa? Karena permintaan ini sangat wajar secara psikologis yang menunjukkan pergumulan besar yang sedang dialami seorang manusia yang terbatas.
Tetapi yang perlu kita jajaki lebih lanjut adalah bagaimana kalau Tuhan tidak mengabulkan permintaan kita? Ketika kita sakit, usaha bangkrut, keluarga berantakan, atau masalah-masalah lainnya datang, kita memohon Tuhan membawa kita pulang ke Surga agar kita tidak menderita lagi, tetapi Tuhan masih ijinkan kita tetap ada di dalam dunia. Kita masih harus hidup menanggung segala pergumulan ini. Saya rindu kita mengubah permintaan kita dengan pertanyaan, “Tuhan, mengapa Kau masih ingin aku hidup di dalam dunia yang penuh dengan pergumulan ini?” Rasul Paulus di dalam Filipi 1:21-26 memiliki kerinduan juga untuk meninggalkan dunia ini untuk berjumpa dengan Kristus tetapi Paulus sadar bahwa ketika Tuhan masih mengijinkan dia hidup berarti baginya adalah bekerja memberikan buah sampai Tuhan benar-benar puas dan memanggilnya pulang.
Pemazmur dalam bagian yang kita baca menyadari bahwa kemurahan Tuhan yang menyelamatkannya dari marabahaya membuatnya harus bersyukur karena berarti ada kesempatan lagi untuk memuji, merasakan kasih Tuhan dan memberitakan kesetiaan-Nya (ay. 4, 8, 10). Bagi Pemazmur dan Paulus, hidup ini sangat berharga dan harus digunakan sebaik-baiknya selama Tuhan masih mempercayakan kehidupan. Toh, bukankah kalau kita dipanggil pulang, kita tidak perlu kuatir lagi karena kita sudah mendapatkan tempat di Sorga? Tuhan Yesus menyadari bahwa hidup-Nya adalah menjalankan misi Allah Bapa. Dia memberikan hidup-Nya sampai titik darah penghabisan. Maukah saudara mengikuti Kristus, bekerja memberikan buah selama dipercayakan hidup?
Aku hidup dan bekerja memberikan buah sampai Dia panggilku.
Tuesday, August 21, 2007
Kebangkitan di tengah penderitaan
Surat Rasul Petrus yang pertama dapat dikatakan surat penderitaan (bacalah seluruh isi surat ini). Jemaat Tuhan pada zaman itu mengalami begitu banyak tantangan atau cobaan, baik dari dalam (1Ptr. 4:3) maupun dari luar jemaat (1Ptr. 2:18). Yang menarik adalah, Petrus memulai surat penderitaan ini dengan berita kebangkitan Tuhan Yesus. Loh, apa hubungannya kebangkitan Yesus dengan penderitaan? Bukankah berita kebangkitan adalah berita kemenangan—bukan berita kesengsaraan?
Dari bagian firman Tuhan yang kita baca ini, saya menarik 2 kesimpulan, mengapa Petrus menghubungkan berita kebangkitan dengan penderitaan:
Pertama, Kebangkitan Yesus adalah harapan di tengah penderitaan. Setiap kita yang sudah diselamatkan dari dosa dan dilahirkan kembali melalui kebangkitan Yesus tidak berarti bebas dari penderitaan di dalam dunia yang berdosa ini. Sakit penyakit, kemiskinan, penutupan gereja, penganiayaan, dan penderitaan lainnya silih berganti datang menghampiri kita. Namun, kebangkitan Yesus membawa kita kepada kehidupan yang baru dan penuh pengharapan (ay. 3). Surga akan menjadi bagian kekal ketika kita meninggalkan dunia ini atau ketika Tuhan datang kedua kalinya (ay. 4). Saat ini, Tuhan yang sudah bangkit itu menjanjikan pemeliharaan. Bayangkan, dipelihara oleh kekuatan Allah—bukan kekuatan manusia! Petrus berkata, “Bergembiralah akan hal itu!” (ay. 6).
Kedua, penderitaan membuktikan kemurnian iman kita yang dibangkitkan di dalam Kristus. Terkadang sulit untuk melihat apakah seseorang sudah tinggal di dalam Tuhan atau belum. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah melalui ujian penderitaan. Setiap orang yang sudah tinggal di dalam Tuhan akan melihat penderitaan sebagai ujian bagi kemurnian imannya, bukan sebagai sesuatu yang harus disesali. Kita yang sudah mati dan dibangkitkan di dalam Kristus tidaklah boleh menjadi anak-anak gampang (Ibr. 12:5-8). Anak-anak gampang akan mudah meninggalkan Tuhan di tengah badai penderitaan.
Percayalah, Tuhan yang sudah bangkit itu saat ini sedang berjalan di samping kita dan membisik kepada kita, “ayo anak-Ku, bertahanlah, sedikit lagi.”
Kebangkitan-Nya, harapan di tengah penderitaan.